MOJOK.CO – Argentina bakal kalahkan Nigeria, menempati posisi kedua di Grup D, lolos ke babak 16 besar dan mengalahkan semua lawan. Namun, kenyataan sering berkhianat.
Saya fans berat Argentina. Tentu saja, sebagaimana fans lain di seluruh dunia, saya sering dikecewakan kesebelasan ini. Sejak dulu, Albiceleste punya stok puluhan pemain berkelas dalam setiap laga Piala Dunia, tapi selalu tak bisa memilih seorang pelatih yang tepat.
Tampaknya kekecewaan terbesar para fans Argentina ada pada perhelatan akbar Piala Dunia 2018. Bayangkan, setelah melalui dua pertandingan, Messi dkk., hanya mengemas satu poin. Sekali bermain seri, dan sekali kalah.
Apakah karena kurang beruntung? Tidak. Jika kita tonton ulang ketika melawan Islandia, permainan Argentina tidak bagus. Miskin kreasi. Mampu mengurung Islandia, tapi tak banyak melakukan manuver berarti. Saat bermain melawan Kroasia, bukan hanya kehilangan kreativitas saja, namun memang tampil buruk. Saya kira, kalah tiga gol melawan Kroasia memang layak ditelan oleh tim ini.
Meski mendapatkan hasil menyedihkan ini, semua fans Argentina tetap menyimpan harapan lolos ke babak 16 besar. Dan jika para fans berpikir jernih, dengan menonton kesebelasan negara lain bermain, tentu saja semua menyadari bahwa Argentina memang sedang turun kasta. Suka atau tidak suka.
Saya sebetulnya tak tahu persis juga kenapa suka Argentina. Saya masih berusia sembilan tahun ketika semua orang mengelu-elukan Maradona. Kaos bernomor punggung 10 dengan tulisan “Maradona” dipakai di mana-mana. Dan saya akhirnya punya setelah berhari-hari merengek kepada Bapak saya. Kelak ketika sudah besar, saya baru tahu kenapa Bapak dulu agak menahan untuk membelikan kaos yang harganya tak sampai lima ribu rupiah itu. Ternyata dia fans berat Brasil. Walhasil, ketika beranjak remaja, saat Piala Dunia berlangsung, saya “bermusuhan” dengan Bapak. Saya tak pernah suka kesebelasan Brasil.
Saya makin jatuh hati karena pemain sepak bola yang paling saya sukai, Gabriel Omar Batistuta, berasal dari negeri ini. Ketika Batistuta bermain untuk Fiorentina, saya jadi fans Fiorentina. Ketika Batistuta pindah ke AS Roma, saya jadi fans Roma. Ketika Batistuta hengkang dari Roma, saya tetap jadi fans AS Roma. Batistuta adalah perekat emosi saya dengan Giallorossi.
Hal lain, tampaknya tak ada urusannya dengan sepak bola. Che Guevara, tokoh revolusioner yang juga saya kagumi, berasal dari Argentina. Sudah. Itu saja.
Saya sebetulnya juga suka Lionel Messi. Tapi karena dia main di Barcelona, sikap saya jadi biasa saja. Saya tak suka kesebelasan besar. Saya tak suka Real Madrid, Barca, Manchester United, Juventus, dan lain-lain. Saya tak butuh kesebelasan besar untuk mengekspresikan kesukaan saya menonton sepak bola.
Mendukung klub besar, sering hanya sebagai modus eksistensi untuk menutupi yang tidak dicukupi dalam pribadi seseorang. Kebesaran, gempita, gigantik, piala, penghargaan, juara, atas apa yang dicapai klub-klub besar itu “melengkapi” yang dirasa penting bagi seseorang. Saya tidak butuh itu. Itulah kenapa saya memilih klub medioker macam Fiorentiana dan AS Roma. Pernah sih ada masa singkat saya suka Liverpool. Tapi itu masa yang sangat saya sesali. Untung hanya singkat sekali karena kadang nonton Liga Inggris masak gak punya jagoan, kan gak seru…
Kita balik ke urusan Piala Dunia dan Argentina lagi. Justru karena terseok-seok inilah, mendapat cibiran besar dari fans dan publik bola dunia, entah kenapa justru menjadi pintu pagar yang akan membuat Argentina meraih juara.
Tekanan berat, cemoohan, permainan yang buruk, pelatih yang setahap lagi pantas dibilang bego, menjadi pijakan untuk bangkit.
Argentina akan menang melawan Nigeria, lalu akan menempati posisi kedua, dan selanjutnya akan mengalahkan kesebelasan lain di babak-babak selanjutnya.
Syaratnya tentu saja pelatih Argentina, si Jorge Sampaoli, mau menyadari kegoblokannya, dan sedikit rendah hati. Keputusannya tidak membawa Mauro Icardi, memang tak bisa diperbaiki lagi. Tapi selalu mencadangkan Paulo Dybala adalah ketololan yang sulit dipahami.
Dari sisi penjaga gawang, Argentina memang tak punya banyak pilihan. Ketiga kiper yang dibawanya ke Piala Dunia kali ini, bukan kategori kiper bagus. Untuk tidak mengatakan busuk. Di lini belakang, stok pemain Argentina juga tak bagus amat. Tapi setidaknya masih ada Nicholas Otamendi, Marcos Rojo, Federico Fazio, Christian Andaldi, dan tentu saja: Acuna.
Untuk lini tengah, banyak stok pemain bagus. Tapi tidak ada salahnya untuk tidak memainkan Javier Mascherano. Pedul setan dia punya pengalaman banyak. Tapi skuat lain yang hebat pada Piala Dunia kali ini sebagian besar diisi darah segar.
Dan yang paling penting, kenapa harus memainkan Messi? Kenapa? Sudah terlalu banyak analisis yang menyatakan bahwa Messi secara psikologis terbebani, dan membebani timnya. Dia hebat. Tapi orang hebat dalam sebuah tim bisa menjadi beban. Atau kalaupun toh memainkan Messi, jangan manjakan atau sebaliknya memberi beban yang berlebihan. Dari mukanya saja sejak laga awal, kelihatan kalau tertekan.
Namun yang jelas, mainkan Dybala. Dia bisa diduetkan dengan Gonzalo Higuain. Dybala sudah terbiasa bermain dengan Higuain di Juventus. Atau kalau performa Higuain sedang tidak bagus, tandemkan dengan Sergio Aguero. Cocok juga itu.
Keberanian merombak tim, kemauan untuk berendah hati, si Sampaoli ini, bisa membuat Argentina berbeda. Tim-tim yang berhasil memenangi piala, bukan karena bertabur bintang, juga bukan karena punya megabintang seperti Messi. Argentina akan meraih juara dunia, kalau Sampaoli tidak mudah kena ilusi.
Apakah benar Argentina akan lolos ke babak selanjutnya dan akan menjunjung piala? Ya. Itu keyakinan saya.
Tapi kadang keyakinan saya dikhianati oleh kenyataan.