Lebaran telah usai, tapi pesta baru akan dimulai. Sebab, bulan Syawal adalah bulannya orang punya gawe. Gawe prosesi lamaran dan pernikahan.
Mari kita mulai hal yang paling banyak dikutip oleh para penceramah nan bijak dalam upacara pernikahan: menikah bukan hanya jalinan resmi dan sah antara dua mempelai, melainkan juga dua keluarga yang bisa jadi berbeda kultur dan karakter.
Tapi, biasanya sang penceramah akan berhenti di situ. Padahal tahap yang penting, pening, dan genting justru ada di pokok bahasan setelah itu.
Apa itu?
Mertua.
Seandainya para penceramah diundang berceramah tidak dalam kondisi pernikahan sedang berlangsung, niscaya mereka akan memberi nasihat yang sangat penting: kamu memang harus berhati-hati memilih pasangan hidup, tapi tidak cukup itu.
Kamu juga harus ekstra-hati-hati memilih calon mertua.
Ada berapa banyak pernikahan kandas karena mertua. Sebaliknya, ada banyak pernikahan langgeng juga karena sikap dan perilaku mertua.
Di sebuah sidang perceraian, kerap para hakim tidak habis pikir begitu mendapati saksi pihak penggugat adalah orang tuanya sendiri. Lebih tidak habis pikir karena ketika digali kesaksiannya, justru yang muncul adalah masalah dia (baca: si mertua) dengan menantunya.
Wajar jika hakim bertanya, “Ini kayaknya yang punya masalah Ibu, tapi kok yang disuruh cerai anak Ibu? Apa nggak kasihan sama anak Anda, Bu?”
Oleh karena itu, biasanya para penceramah yang tidak sungkan dengan pihak yang punya hajat sering berpesan, “Tidak ada rumah tangga yang tidak ada perselisihan. Jika perselisihan itu terjadi, jangan pergi ke rumah orang tua atau mertua. Datanglah ke orang bijak dan orang alim. Sebab, kalau kalian datang ke orang tua atau mertua, masalah bukannya selesai, malah tambah runyam.”
Karena faktor mertua demikian penting, berikut ini adalah panduan memilih mertua bagi Anda yang serius hendak menikah.
Mertua Kaya
Mertua jenis ini sering dijadikan guyonan: alangkah enaknya punya mertua kaya, apalagi kalau sudah sangat tua. Yang berkata demikian artinya mengharap mertuanya cepat mati.
Bukan itu pokok soalnya. Mati urusan Tuhan, dan mengharap mertua mati supaya cepat dapat warisan hanya ada di kepala orang-orang yang ingin hidup enak tanpa mau susah.
Punya mertua kaya mungkin ada enaknya, tapi hati-hati dengan tidak enaknya. Perasaan superior, apa-apa bisa dibeli, anaknya tidak boleh terlihat susah, dan perhatian kepada cucu yang berlebihan adalah sekian hal yang bisa sangat mengganggu rumah tangga Anda.
Sebab, bagi banyak orang, hidup ini perjuangan. Lebih enak makan tempe asal hasil keringat sendiri daripada makan rendang pemberian orang.
Jangan termakan mitos tentang enaknya punya mertua kaya. Bisa jadi Anda akan menderita, tidak dihargai, dan ada dalam bayang-bayang nama, kuasa, dan harta mertua. Belum lagi nanti kalau harus ribut dengan saudara sendiri karena warisan.
Mertua Mantan Pejabat
Jika Anda punya bakal mertua jenis ini, sebaiknya berhati-hati. Sindrom pascaberkuasa (post power syndrome) adalah salah satu sindrom paling menjengkelkan dan mengerikan.
Dulu, ketika dia masih punya jabatan, entah di birokrasi pemerintahan atau perusahaan, dia sering dihormati dan bahkan dijilat para bawahan. Hal tersebut sering kali terbawa sampai pensiun.
Ketika pensiun, sindrom itu sering menjangkiti mereka sehingga acap yang kena korban adalah para calon menantu atau menantu mereka. Cara memandang menantu dianggap sama seperti memandang bawahan. Menantu yang tidak tepat dalam berkomunikasi dengannya dianggap sebagai orang yang tidak sopan dan tidak menghargai.
Ada kasus perceraian bahkan hanya karena si menantu tidak pintar ngobrol dengan mertua. Celakalah menantu yang memang pembawaannya pendiam.
Mertua seperti itu lebih mementingkan seremonial dan basa-basi ketimbang substansi.
Mertua Sederhana
Mertua seperti ini paling enak. Egaliter. Memandang semua orang sebagaimana memandang dirinya sendiri: manusia yang punya kelemahan dan kekurangan. Jika ada masalah menimpa rumah tangga anaknya, dia juga berpikir simpel: semua orang punya masalah dan masalah ada untuk diselesaikan, bukan diperbesar.
Biasanya mertua seperti ini adalah pegawai level menengah ke bawah. Atau mungkin petani maupun pedagang. Pengalaman sehari-hari mempengaruhi sikap dan cara pikirnya.
Mertua seperti ini akan menyikapi masalah yang terjadi di rumah tangga anaknya dengan mendorong terwujudnya rekonsiliasi, bukan memperparah kondisi.
Mertua Lugu
Mirip mertua sederhana, mertua lugu memandang hidup lebih simpel, lebih enak, lebih nyaman. Baginya, hidup ini sudah susah, jangan dibikin lebih susah.
Mertua seperti ini bahkan bisa menjadi teman. Relasi mertua-menantu nyaris lenyap. Mereka bisa memasak bersama, main catur, berbagi rokok, pergi ronda, atau mancing bareng. Kadang bahkan minum bareng. Minum sopi. Eh kopi, maksud saya.
Mertua model ini biasanya juga punya gaya berhubungan yang rileks dengan anaknya. Karena dengan si anak rileks, dengan calon atau sudah jadi menantu juga enak. Nyaman dan hangat.
Namun, kadang ada sedikit tidak enaknya. Sebut saja tokoh bernama Agus Mulyadi. Suatu saat Agus berniat mengenalkan pacarnya, sebut saja namanya Kalis Mardiasih, kepada orang tuanya.
Kalis segera akrab dengan keluarga Agus. Ketika Agus dan Kalis pamitan, bapak Agus menarik tangannya ketika hendak dicium oleh Kalis. “Jangan dicium, Mbak. Kayak menantu sama mertua saja …,” ucap bapak Agus.
Mendengar itu Agus langsung bermanuver, “Itu memang calon menantu Bapak kok.”
“Ya nggak mungkin. Si Mbak ini mau berteman sama kamu saja sudah terlalu baik. Sudahlah, Gus, nggak usah mimpi. Pacar-pacarmu saja dulu nggak ada yang mau kamu nikahi ….”
“Masak, Pak?” Kalis langsung memotong.
“O iya, Mbak! Agus itu dulu pacaran empat kali. Eh, lima kali, ding! Kelimanya sudah pernah dikenalkan sama saya. Diajak ke rumah ini ….” Bapak Agus bercerita dengan semangat, menceritakan antologi kisah cinta Agus yang gagal. Saking asyiknya sampai bapak Agus duduk lagi, dan Kalis juga ikut duduk, mendengarkan dengan khusyuk ….
Begitu pulang, di boncengan sepeda motor Kalis mencubiti pinggang Agus. “O jadi gitu ya! Dulu ngomong nggak punya pacar! Kamu bilang aku cinta pertamamu! Kamu bilang aku perempuan bukan muhrimmu yang pertama kali kamu perkenalkan ke orang tuamu!”
Agus cuma bisa lenggat-lenggot sambil menjerit lirih setiap kali pinggangnya dicubit Kalis. Dalam hati dia merutuki bapaknya dan membatin, “Awas kamu, Pak. Nanti ikat pinggang dan sandalmu akan kusembunyikan di atas genteng!”