MOJOK.CO – Perpaduan produk sesuai visi perusahaan dan kesesuaian citra adalah kunci Kawasaki bangkit dari keterpurukan. Dua hal itu bisa dicontoh Suzuki
Saya masih berada di masa magang kala itu, ketika Seto si mekanik menghampiri saya sembari membawa beberapa lembar brosur. Demi membunuh kejenuhan yang kerap menjangkiti karyawan dealer Suzuki mana saja, siang itu, Seto mengajak saya bermain semacam kuis.
Dia menyodorkan brosur Kawasaki, menyuruh saya mengamati foto Ninja 250 yang ada di halaman muka, lalu meminta saya menyebutkan kata apa saja yang terlintas di benak ketika mengamati motor tersebut.
Tidak perlu waktu 10 detik bagi saya untuk menyebutkan kata-kata seperti “cepat”, “gahar”, “kompetitif”, “buas”, “mahal”, dan “berkelas”. Bagi saya kala itu, Kawasaki Ninja 250 adalah sebaik-baiknya motor sport fairing, puncak invensi para ahli mesin yang berkolaborasi apik dengan desainer jempolan dan tenaga pemasaran berkompeten.
Hanya bersama Kawasaki Ninja 250, seseorang bisa ngebut dan pecicilan di jalan sembari mengundang decak kagum orang-orang.
Sampai sekarang, impresi saya terhadap merek Kawasaki selalu positif. Ia adalah salah satu dari sangat sedikit pabrikan otomotif Jepang yang berani bertempur di segmen pasar yang spesifik dan berhasil.
Walaupun kini Kawasaki mulai merambah segmen pasar lain, seperti penggila off-road, citra “berkelas” tak lantas hilang. Bagi saya, penunggang KLX masih lebih keren ketimbang pengendara motor dari pabrikan lain di kelas yang sama.
Namun, citra Kawasaki yang semacam itu tak terbangun dalam semalam. Bahkan, pada suatu masa, Kawasaki pernah punya citra yang tidak lebih berkilau ketimbang pabrikan Suzuki hari ini: orang-orang menggandrungi sebagian produknya sembari menyapukan pandangan kepada sebagian sisanya yang lain dengan ekspresi terenyuh yang tak dibuat-buat.
Itu terjadi di era sebelum motor matik mengaspal di Indonesia. Kawasaki saat itu belum mengabdikan dirinya di jalur sport sehingga merasa biasa-biasa saja ketika menelurkan motor-motor bebeknya ke pasaran. Dan sejujurnya, motor-motor bebek Kawasaki punya keunggulan yang tak main-main.
Kawasaki Binter Joy, contohnya. Bebek yang diluncurkan pada 1983 ini sudah memakai pengapian CDI dan transmisi empat percepatan, sesuatu yang kelewat visioner di saat pengapian platina dan transmisi tiga percepatan menjadi norma.
Contoh lain Kawasaki Kaze, motor bebek bermesin 112cc yang diluncurkan ketika mesin 100cc sudah mampu memuaskan orang-orang. ZX-130, si bebek super itu, bahkan punya fitur yang membuat Anda tak perlu turun dari jok kala mengisi bensin dan punya luas bagasi yang bisa membuat motor matik hari ini merasa minder.
Intinya, Kawasaki pernah meramaikan pasar otomotif tanah air dengan produk-produk yang di atas kertas mampu membuat pabrikan lain merasa ketar-ketir.
Namun, entah kenapa, catatan penjualannya tak sesuai prediksi. Kecuali Kaze dan Blitz, motor bebek racikan Kawasaki lebih sering menghuni gudang produksi ketimbang garasi rumah konsumen, hal yang sejujurnya pantas mereka peroleh bila desain Kawasaki Athlete kita gunakan sebagai parameter.
Keberadaan Kawasaki di Indonesia kian terancam ketika dua badai menghantamnya bergiliran. Di era ketika Ibu Megawati berkuasa, selera konsumen kendaraan roda dua beralih dari motor bebek ke motor matik.
Ini jelas badai yang tak bisa Kawasaki tangani karena, yah, bahkan sampai hari ini mereka tidak punya satu saja motor matik. Lalu, standar emisi yang baru membuat penggunaan mesin 2-tak seolah-olah sama tak beradabnya dengan melakukan pembalakan liar atau membuang sampah di selokan tetangga. Padahal, kita tahu, mesin 2-tak adalah nyawa Kawasaki kala itu. Membayangkan motor Ninja 150R tanpa oli samping sama susahnya dengan membayangkan Ibu Megawati tanpa PDI-P.
Ringkasnya, Kawasaki sedang menghadapi kuldesak, yang berakibat pada penutupan beruntun sejumlah dealer miliknya. Tanpa dealer, tak ada motor yang terjual. Tanpa penjualan motor, tak ada pendapatan yang masuk. Tanpa pendapatan yang masuk, tak ada ongkos untuk mendanai perubahan apa pun yang sedang mereka rencanakan.
Siapa pun CEO Kawasaki di masa sulit itu, kita mesti mengalunginya dengan medali. Selain mampu memperoleh pendanaan yang amat mereka perlukan, dia juga berhasil merombak total arah bisnis Kawasaki. Dengan spidol permanen, dicoretnya produk-produk underbone Kawasaki seperti Blitz dan Athlete, dan dengan dengan spidol yang sama dibuatnya tanda silang yang sangat besar pada proposal rencana produksi motor matik.
Dia membawa Kawasaki menuju segmen pasar yang tak pernah digarap secara serius oleh pabrikan Jepang sebelumnya, dan dikerahkannya sekompi tenaga pemasaran yang bertugas meyakinkan konsumen bahwa Kawasaki bersinonim dengan kata-kata tertentu, kata-kata yang membuat Anda hari ini memilih Ninja dan bukannya CBR 250R.
Langkah bisnis yang mampu menyelamatkan Kawasaki itulah yang saya pikir bisa ditiru oleh Suzuki untuk bangkit kembali di Indonesia.
Secara umum, situasi yang dialami Suzuki saat ini mirip dengan apa yang dihadapi oleh Kawasaki di masa suramnya: ada lebih banyak dealer yang tutup ketimbang yang dibangun, dan produk-produk motor Suzuki secara pasti dan meyakinkan selalu konsisten menghuni dasar klasemen penjualan. Terlalu banyak produk yang kalah saing di pasaran, dan lebih buruknya lagi, Suzuki seperti tak punya visi yang jelas mengenai produk dan arah bisnisnya.
Contoh ketiadaan visi dan kegagalan menentukan arah bisnis ini tampak dari respons Suzuki terhadap permintaan pasar. Segmen matik retro sedang di puncak popularitasnya akhir-akhir ini, dan tengaranya sudah bisa dilihat oleh siapa pun bertahun-tahun silam ketika pabrikan Piaggio kembali ke Indonesia dan berhasil menjual banyak Vespa seharga 10 kali lipat UMR Jakarta. Honda menelurkan Scoopy untuk merespons keinginan konsumen tersebut, langkah yang diikuti Yamaha dengan merilis Fino dan Fazzio beberapa waktu silam.
Suzuki sebenarnya punya Saluto untuk memenangkan hati konsumen. Namun, alih-alih memboyongnya ke Indonesia, Suzuki terus saja menjual Nex meski pasar tak meresponsnya dengan baik selama ini. Suzuki malah mendatangkan sepeda motor yang tak pernah diminta, yang menjadikannya bulan-bulanan netizen iseng di segala media sosial: Gixxer SF 250.
Oleh sebab itu, saya pikir, Suzuki sebaiknya meniru langkah Kawasaki dengan menarik diri dari pasar konvensional untuk menyasar pasar yang lebih spesifik.
Hal pertama yang perlu dilakukan oleh CEO Suzuki, siapa pun dia, adalah menjawab pertanyaan berikut ini: kesan apa yang ingin dimunculkan dari merek Suzuki?
Kawasaki identik dengan kesan kencang dan berkelas, dan saya pikir Suzuki bisa mencomot kata “kencang” dan menambahinya dengan “durabilitas” di sana.
Itu kesan yang mudah dimunculkan ketika kita menengok jajaran produk motor Suzuki di kelas 150cc. Tidak ada motor lain yang memiliki mesin 150cc segahar Suzuki. Lihatlah mesin Satria injeksi, GSX 150 series, dan Bandit 150, dan perhatikan detail-detail mengenai mesin tersebut: ketiganya menganut sistem 4 katup DOHC, overbore, enam percepatan.
Di atas kertas, tidak ada mesin 150cc pabrikan lain yang sepadan dengannya. Honda memang punya mesin DOHC pada motor Sonic dan CB150R miliknya, tetapi tipe mesin overstroke membuat napasnya di putaran atas tak sepanjang mesin Suzuki.
Sedangkan Yamaha, yah, lupakan saja. Kalau Anda pernah menggeber motor bermesin 150cc dari kedua pabrikan tersebut, Anda akan tahu perbedaan tak terjembatani di antara keduanya.
Maka saya pikir akan sangat elok kalau Suzuki mengambil spidol untuk mencoret motor-motor matik kepunyaannya dari daftar jual, lalu memfokuskan dirinya pada segmen sport entry level saja. Mereka sudah punya modal yang berharga berupa mesin paling ciamik di kelasnya, dan sudah sepantasnya mereka memanfaatkan mesin tersebut untuk menciptakan produk di segmen lain. Segmen adventure touring bike, misalnya. Masa iya kita tega ngeliat CB150X sendirian di segmen itu?
Jika visi dan rencana bisnis baru sudah dibentuk, hal kedua yang perlu dilakukan Suzuki adalah menyewa jasa tenaga pemasaran berkompeten.
Ini penting karena, saya pikir, tenaga pemasaran yang dimiliki Suzuki saat ini punya kualitas setara murid magang. Apa pun narasi yang coba mereka bangun melalui media sosial dan pariwara malah mengingatkan saya pada segala iklan di era ’90-an.
Tidak jelas segmen pasar mana yang mereka tuju. Tidak jelas pula citra macam apa yang ingin mereka munculkan di benak orang-orang selain kesan kuno dan irrelevan.
Perpaduan antara produk yang sesuai dengan visi perusahaan dan kesesuaian citra adalah kunci Kawasaki bangkit dari keterpurukan. Dua hal itu saya kira bisa dicontoh oleh Suzuki demi mengeluarkan dirinya dari situasi pelik yang merundungnya selama ini. Hanya, semua bergantung pada keinginan para direksi Suzuki sendiri. Yah, siapa tahu mereka ternyata penganut masokisme garis keras.
BACA JUGA Kenapa Penjualan Suzuki di Indonesia Nyungsep dan Sulit Bangkit Lagi? Dan analisis menarik lainnya di rubrik OTOMOJOK.
Penulis: Mita Idhatul Khumaidah
Editor: Yamadipati Seno