MOJOK.CO – Pelajaran pertama, jangan terlalu kampungan ketika kamu punya kesempatan naik Toyota Fortuner karena boleh jadi itu menjadi pengalaman terburuk.
Tak ada yang menyangkal betapa mewahnya Toyota Fortuner. Yah, paling tidak menurut ibu saya, yang teman-teman di kantornya banyak pakai mobil ini. Buat keluarga kami yang nggak ngerti otomotif dan nggak punya kendaraan roda empat juga, Fortuner selalu terlihat memukau karena kegagahannya. Termasuk saya.
Nggak heran sih. Fisiknya kekar, desainnya modern, dan interiornya futuristis. Semacam mobil yang bikin jutaan calon mertua bergetar hatinya. Dan sudah barang tentu, mobil ini dijual dengan harga yang nggak murah.
Sepanjang kemunculannya di Indonesia, Toyota Fortuner sendiri sudah mengalami beberapa facelift hingga memasuki model All New. Kenaikan harganya juga cukup signifikan. Toyota Fortuner generasi pertama untuk tipe tertingginya di jual dengan harga Rp351 juta. Seri terbaru di 2021 dengan varian yang sama, dibanderol dengan harga Rp675 juta.
Bagi saya yang pengendara roda dua dan lebih terbiasa menumpangi mobil sejuta umat macam Avanza dan kawan-kawannya tentu selalu menanti kesempatan untuk menumpangi Fortuner yang punya label SUV terpopuler. Ekspektasi itu tak lepas dari kesan maupun pengalaman orang-orang yang pernah memiliki, maupun dari para die hard Toyota Fortuner sendiri dari.
Kesempatan yang telah saya nanti-nanti itu datang juga. Berawal dari ngopi di Lembang bersama beberapa kawan dari zaman ngampus setelah menghadiri pernikahan salah satu teman kuliah. Salah seorang kawan saya mengajak beberapa teman dari daerahnya untuk ikut ngopi.
Selain pengin jalan-jalan mencicipi kuliner Bandung, rupanya mereka juga berencana untuk nge-camp di suatu tempat. Dan yang paling penting, salah satu dari mereka mengendarai Toyota Fortuner keluaran 2012 bermesin diesel!
Jiwa kampungan saya pun seketika terpanggil. Tanpa tedeng aling-aling, saya langsung masuk ke mobil dan memutuskan duduk di bangku baris ketiga. Namun entah bagaimana ceritanya. Impresi yang saya rasakan ketika masuk kabin mobil tidak sesuai dengan harapan.
Yang langsung terasa adalah sesaknya kabin mobil ini. Tadinya saya berpikiran bahwa mobil seri SUV macam Toyota Fortuner mempunyai kabin yang luas. Nyatanya, kabin Fortuner itu luasnya hampir tidak jauh berbeda dengan Toyota Avanza. Belum lagi, karena mobil ini adalah sebuah SUV, posisi duduk di bangku baris ketiga terbilang tinggi.
Postur badan saya cuma 168 sentimeter, yang sebetulnya nggak tinggi-tinggi amat. Namun, posisi duduk saya masih terasa rada jongkok. Kawan saya pun langsung berinisiatif memajukan kursi baris kedua guna menambah kelegaan ruang kaki di baris ketiga.
Makasih, lho, tapi ya hampir nggak menambah ruang buat kaki saya. Akhirnya setelah saya hitung-hitung, jarak antara lutut dengan bangku baris kedua hanya sekitar 4 jari saja. Artinya, nyaris tidak ada bedanya sebelum bangku dimajukan.
Sejujurnya, saya langsung merasa nelangsa sendiri ketika dihadapkan pada kenyataan yang tidak sesuai harapan. Maksud saya, bagaimana bisa mobil di kelas SUV ini punya luas kabin yang tidak beda jauh dengan kelas di bawahnya. Bahkan kalau boleh jujur, lebih lega naik Suzuki APV atau Kijang Kapsul LGX.
Saya pikir permasalahan hanya sebatas kelegaan ruang kaki di baris ketiga. Hal berikut yang kemudian saya rasakan yaitu masalah visibilitas dari bangku ketiga yang pas-pasan. Setelah mobil melaju, kabin langsung terasa begitu sempit setelah saya melihat ke luar dari kaca baris ketiga yang luasnya termakan oleh tebalnya bagian pilar C dan membuat saya tiba-tiba merasa klaustrofobia di dalam mobil sebesar itu.
Posisi duduk di bangku baris ketiga yang tinggi memaksa saya harus menundukkan kepala jika ingin melihat ke bagian depan mobil. Dan tentu saja itu membuat leher saya makin pegal ketika saya harus mengobrol dengan orang-orang yang berada di baris tengah dan yang paling depan. Karena aneh juga kalau saya harus ngobrol tanpa menghadap ke posisi di mana kawan saya duduk.
Ketidaknyamanan itu semakin menjadi-jadi ketika mobil melibas jalanan bergelombang dan berlubang. Bantingan suspensinya bikin badan sakit. Saya tidak menyangka bahwa Toyota Fortuner ini punya karakter suspensi yang keras dan bikin punggung saya sakit. Bahkan tidak jarang sampai mengocok perut dan bikin kepala saya kejeduk. Bukannya lebay, saya sampai beberapa kali merasa kesemutan dan keram duduk di dalam mobil itu. Serius.
Pahitnya pengalaman menumpangi mobil mewah hari itu membawa pelajaran penting buat saya. Pelajaran pertama, jangan terlalu kampungan ketika kamu punya kesempatan menaiki mobil mewah karena boleh jadi itu menjadi pengalaman terburuk di hidup kamu.
Kedua, kalau kamu belum pernah naik mobil mewah, jangan terlalu berharap bahwa setiap mobil itu sempurna karena masing-masing mobil punya kelebihan dan kekurangan. Ketiga, kalau kamu punya kesempatan untuk duduk di posisi yang lebih lega, jangan sesekali menempati bangku yang paling sempit.
Mobil mewah buat jiwa kampungan saya nyatanya gagal memberikan kenyamanan. Kabin sempit, gampang limbung, bikin mual, mahal lagi. Kadang saya mikir, kenapa ya masih ada yang beli Fortuner kalau bisa dapat kenyamanan dari Avanza atau Innova?
BACA JUGA Debat Toyota Fortuner vs Mitsubishi Pajero di Rute Situbondo-Jember dan pengalaman menyebalkan bersama kendaraan lainnya di rubrik OTOMOJOK.