MOJOK.CO – Aura sombong dan pongah mendadak muncul ketika duduk di kursi pengemudi Toyota Fortuner. Ini memang bukan mobil sembarangan.
Sekitar 2013, saya menyandang status sopir wisata yang masih culun. Saat itu, saya kagum sekali melihat sopir senior mengantar tamu dengan membawa mobil-mobil keren. Misalnya seperti Toyota Alphard, Camry, Grand Innova Captain Seat (sebelum era Innova Reborn), Honda Accord, hingga Toyota Fortuner.
Maklum, setahun awal berstatus sopir wisata, saya cuma membawa 2 jenis mobil, yaitu Toyota Avanza atau Daihatsu Luxio. Saat itu, kantor tempat saya bekerja hanya menggunakan 2 tipe mobil itu untuk paket wisata yang mereka tawarkan.
Baru kemudian di awal 2015, setelah memutuskan untuk bekerja sendiri, saya bebas menggunakan mobil apa saja. Tentu mobil-mobil itu bukan milik pribadi. Saya hanya kebetulan memiliki jejaring rental mobil dengan banyak varian. Dari situ, saya akhirnya berani membuat macam-macam paket. Mulai dari wisata, pernikahan, tur rombongan kecil hingga wisuda, dan Toyota Fortuner ada di salah satu pilihan paket itu. Yah, walaupun saya belum pernah mengendarai mobil itu seumur hidup saya.
Hingga pada suatu hari ada seorang tamu dari Jakarta. Beliau adalah seorang manajer operasional penyewaan helikopter di Jakarta. Kurang lebih itu yang saya dengar ketika dia, istrinya, dan kedua anaknya ada di dalam mobil bersama saya.
Dia orang yang terbilang well prepared. Setelah menerima itinerary yang saya kirimkan 1 minggu sebelum mereka tiba di Jogja, dia menelepon saya, berkenalan, basa-basi. Dia lalu menjelaskan secara rinci rencana liburan 3 hari di Jogja, tepat di libur Natal 2015.
Setelah pembicaraan selama beberapa menit itu kami sepakat menggunakan Toyota Fortuner selama mereka di Jogja. Medan yang akan kami lewati, jarak tempuh, dan bawaan yang menjadi alasannya.
Saya menerima permintaan itu sekaligus panik. Bawa Fortuner? Pertama kali? Dan ini mobil “besar” ketiga saya setelah pernah membawa Volkswagen Caravelle, KIA Travello, dan Isuzu ELF Medium.
Dari pengalaman membawa 3 tipe mobil tadi, saya memang masih kesulitan kalau membawa kendaraan yang agak panjang atau lebar. Memang, kita tidak bisa menyamakan Toyota Fortuner dengan 3 jenis mobil tadi, tapi tetap saja bagi saya mobil ini terlihat “besar”.
Pengalaman pertama bersama Toyota Fortuner
Saya kemudian meminta kepada pemilik rental agar saya bisa mengambil Toyota Fortuner lebih awal, malam sebelum tamu saya tiba. Pemilik rental bisa mengerti karena saya menjelaskan ini pertama kalinya. Kebetulan, hari itu, mobil sudah standby di garasi sejak siang.
Setelah kunci di tangan, saya langsung tancap gas dari garasi di daerah Jalan Perumnas, Sleman, menuju Jalan Solo sekitar pukul 8 malam. Setelah itu, saya lalu mencoba rute awal saya besok pagi, yaitu Bandara Adisucipto-Hotel Jayakarta-Jalan Solo hingga ke arah Godean, lalu mencoba masuk ke beberapa jalan kecil di sekitar Nologaten-Papringan. Sebuah uji coba untuk membangun kepercayaan diri dan melatih intuisi bersama Toyota Fortuner.
Toyota Fortuner yang saya kendarai saat itu adalah mobil produksi 2014, FORTUNER TRD menggunakan Variable Geometry Turbocharger atau kadang disebut VNT, dengan mesin Diesel 2.500cc. Transmisinya matik, plus sudah Tiptronic.
Apa lagi yang kurang? Sudah matik, diesel, tenaga besar pula. Makanya, saya nggak heran kalau ada pengendara yang merasa jemawa. Ya pantas saja sering ada kecelakaan, yang bukan salah mobilnya, tapi pengemudinya mungkin lupa daratan ketemu mobil yang sebenarnya sangat enak dikendarai.
Selain mempelajari karakter berkendara, saya juga belajar fitur-fitur di dalam mobil ini. Yah, sekadar untuk tahu bagaimana mengatur AC, menghidupkan head unit yang dilengkapi CD, Radio, Bluetooth sampai menyetel kursi. Saya mau terlihat sebagai supir yang sudah pernah membawa Toyota Fortuner. Dan ini kali pertama seumur hidup saya harus belajar mobil dulu sebelum bekerja mengantarkan tamu.
Baca halaman selanjutnya: Ketika sebuah mobil membuat pengendara lupa diri.
Mobil yang (sedikit) membuat saya lupa diri
Keesokan paginya, sekitar pukul 7, saya berangkat dari daerah Condong Catur menuju Bandara Adisucipto. Sekali lagi Ringroad saya buat sebagai sirkuit pemanasan untuk membangun percaya diri mengendarai Toyota Fortuner.
Dari bandara kami langsung tancap gas menuju Candi Borobudur, Gereja Ayam, lalu kembali ke arah Prambanan melalui jalur alternatif Jalan Kaliurang-Cangkringan. Masih terasa sisa-sisa rasa kagok, kikuk memegang kendali mobil ini tiap berbelok. Belum bisa selembut saat saya berbelok menggunakan mobil seperti Avanza.
Saat kami istirahat di Tebing Breksi, yang menjadi tujuan akhir di hari pertama, tamu saya komplain supaya tidak perlu terlalu ngebut. Kalau memang harus extend 1 hari, tidak jadi persoalan.
Saya berpikir, lalu tersadar. Perjalanan dari Bandara menuju Borobudur hanya kami tempuh 30-40 menit, membelah Ringroad dan jalan Magelang seperti sedang berjalan bersama patwal.
Pijakan gas mobil ini mirip kendaraan diesel besar. Pedal gasnya terasa berat, tapi pendek, sehingga menginjaknya beberapa milimeter saja tahu-tahu sudah di kecepatan 80 km/jam. Bodi besar Toyota Fortuner membuat kami tidak terasa sedang berjalan dengan kecepatan tinggi.
Seingat saya, ada bagian-bagian jalan sepanjang perjalanan Jogja-Borobudur yang saya lalui dengan kecepatan 100-120 km/jam di jalanan lurus. Gila. Saya nyaris lepas kendali. Di dalam mobil rasanya saya hanya berjalan dengan kecepatan 60 km/jam, sementara jarum speedometer menunjukkan angka 80. Ringan, kendali enak, dan stabil.
Setelah 3 hari, kami menyelesaikan semua tujuan wisata permintaan tamu, tanpa kendala selama perjalanan. Mobil kembali ke garasi dalam keadaan baik dan bodi mulus.
Tamu saya ini kelak menjadi salah satu langganan saya, tapi dia tidak mau naik Fortuner lagi. Kalau sedang ada acara kantor di sekitar Jogja, dia meminta Innova Captain Seat. Kalau acara keluarga, dia memilih Alphard atau Venturer.
Masih jadi misteri, apakah dia takut saya membawa Toyota Fortuner karena pengalaman pertama bersama saya? Atau memang lebih nyaman dengan mobil lain?
Penasaran merasakan turbo
“Kami penggemar turbo.”
Atau mirip seperti itu, tulisan di stiker atau kaos yang sering saya lihat di sekitar tahun 2018an. Entah karena mobil mereka punya turbo atau cuma buat gaya-gayaan saja. Tulisan itu pula yang membuat saya penasaran, apa sih rasanya pakai turbo?
Mesin lebih galak kah? Atau top speed makin menjadi-jadi seperti tiap kali saya melihat Toyota Fortuner, Land Cruiser, atau Mitsubishi Pajero menyalip saya di jalan tol dengan sepele, padahal saya sendiri sudah berkendara dengan kecepatan 120-140 menggunakan Avanza dan kadang Innova?
Rasa penasaran saya terjawab. Sekitar 2018, salah seorang saudara datang ke Jogja. Kami janjian bertemu di Ayam Goreng Suharti Gedong Kuning untuk makan malam.
Selesai dari sana, kami akan menuju rumahnya di Pakem. Tapi, sebelumnya, kami harus ke Pakualaman sebentar untuk mengantar sesuatu.
Begitu melewati pintu depan Ayam Goreng Suharti, tiba-tiba saudara saya, Bram, menyodorkan kunci Toyota Fortuner. “Nih, kamu yang bawa, sekalian nyoba,” katanya. Tentu saja saya senang, apalagi kalau ada turbo di dalamnya.
Beberapa detik setelah duduk di kokpit, saya mulai memperhatikan sekitar. Mengingat-ingat bagaimana dulu saya pernah membawa Toyota Fortuner. Fiturnya tidak banyak berubah.
Kalau tidak salah, Fortuner yang saya bawa malam itu buatan 2017 atau 2018, dengan sensor parkir dan beberapa fitur baru. Lebih gilanya, mobil yang saya bawa malam itu adalah varian 4×2 SRZ, matik dengan kapasitas mesin 2.700cc. Ya, walaupun tidak bermesin diesel, tetap saja sinting. 2.700cc! Pantas tiang listrik digasak.
Kami berempat malam itu, Bram bersama saudara perempuan dan ibunya. Saya berkendara santai dari Gedong Kuning menuju Pakualaman. Jalan-jalan kecil di sekitar Pakualaman tidak berarti apa-apa. Keramaian jalan juga saya anggap biasa saja tanpa takut serempetan.
Bukan mobil sembarangan
Aura sombong dan pongah mendadak muncul ketika duduk di kursi pengemudi. Selesai dari sana, saya kembali menyusuri Kotabaru, Jalan Kaliurang, hingga Pakem. Jika ada situasi jalanan yang pas, saya sedikit menambah kecepatan. Namun sayang, daripada dianggap Fortuner arogan, saya hanya mampu menginjak gas hingga mobil melaju 80 km/jam selepas kampus UII.
Sedikit lagi sampai di tempat tujuan kami di Pakem, saya masih melirik, memindai kokpit untuk mencari tulisan turbo, yang tak kunjung ketemu. Rasa penasaran dengan tulisan “Kami suka turbo” belum terjawab.
Saya hanya sempat merasakan kalau mengendarai Toyota Fortuner dengan mesin 2.700 cc itu seperti sedang melayang saja. Tiap berbelok badan hanya miring sedikit sekali tanpa terasa banting kiri-kanan seperti ketika berkendara dengan Luxio, Avanza atau Gran Max.
Malam itu, kami sampai di rumah tanpa saya sempat mencoba fitur turbo atau kondisi jalan lain yang lebih menantang. Gimana ya, tikungan dan tanjakan ekstrem di Kalibiru seperti tidak ada apa-apanya bagi mobil 2.500cc, apalagi yang 2.700 cc.
Mungkin saya berani menjamin bahwa Jogja-Jakarta bisa saya tempuh hanya dalam waktu 6 jam di kecepatan 140-160 km/jam. Lagi-lagi, rasa sombong muncul di kepala beberapa saat setelah saya turun dari mobil.
Saran saya, kalau sudah kaya, mampu beli Toyota Fortuner, ada baiknya mempertimbangkan jam terbang berkendara. Pengalaman serta mental berkendara sebelum memiliki Fortuner itu penting banget. Ini bukan mobil sembarangan, tapi kadang dibawa orang sembarangan, jadinya ya begitu, selalu saja bikin masalah di jalan.
Penulis: Khoirul Fajri Siregar
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Toyota Fortuner Membuat Saya Kesulitan Menahan Hawa Nafsu di Jalan Raya dan pengalaman menarik lainnya di rubrik OTOMOJOK.