MOJOK.CO – Ternyata bahan stereotip nggak ada habisnya. Kirain cuma suku, agama, ras aja yang ada stereotipnya. Ternyata plat juga bisa distereotipin.
Kalau kamu tinggal di Jogja, pasti ada satu momen dalam hidupmu di mana kamu mendengar atau melihat orang memaki kendaraan dengan plat B di jalanan. Entah karena mereka berdasar dari ibu kota yang punya stereotip arogan atau karena mereka ugal-ugalan.
Saya juga pernah melihat orang mengeluhkan kelakuan pengendara berplat AD dan AA. Mereka dianggap tidak bisa berkendara dengan benar sehingga hasilnya antara bikin macet atau bikin mangkel. Lalu banyak juga yang bilang kalau pengendara dari plat H itu sama ugal-ugalannya dengan pengendara plat B.
Masih banyak stereotip lain buat pengendara dari macam-macam daerah, seakan-akan Tuhan memberi tiap bayi yang lahir di Indonesia buku manual berkendara sesuai daerah dia dilahirkan.
Kalau kalian nggak tahu keluhan orang tentang stereotip pengendara, saya kasih tahu beberapa contoh stereotip. Plat B itu adalah plat kendaraan daerah Bekasi, Depok, Tangerang, dan Jakarta. Pengendara plat B punya stereotip ugal-ugalan, ngebut, dan tidak sabaran di jalan. Plat AD itu adalah plat kendaraan daerah eks-Karesidenan Surakarta seperti Wonogiri, Klaten, Sukoharjo, Solo, Sragen, Karanganyar, dan Boyolali. Plat AD punya stereotip pelan, tidak punya beban hidup, dan suka nutup jalan.
Plat H adalah plat untuk daerah Semarang, Salatiga, Kendal, dan Demak. Stereotipe pengendara plat H mirip dengan plat B. Plat K adalah plat untuk kendaraan daerah Kudus, Pati, Jepara, Rembang, dan Grobogan. Bagi orang Semarang, stereotip plat K adalah mereka punya gaya berkendara yang aneh dan ngawur.
Stereotip itu ada benarnya dikit, tapi kalau dipakai menggeneralisir orang juga nggak betul. Di Jakarta, memang umum melihat orang melanggar lampu lalu lintas atau menunggu lampu merah di depan zebra cross. Kalau di Purwokerto tentu lain lagi, hampir haram hukumnya mengklakson di lampu merah cuma karena dari detik di layar sebentar lagi lampu mau hijau.
Sementara di Jogja, umumnya memang pengendara kendaraan bermotor akan pekewuh sama sepeda dan memberikan mereka ruang di depan. Tapi bukan berarti kasus sepeda mau diserempet gara-gara ada motor atau mobil plat AB yang ugal-ugalan tidak ada sama sekali.
Menghadapi stereotip yang menempel di plat kita, kita bisa memilih untuk tidak ikut-ikutan melakukan kesalahan yang dianggap identik itu. Kamu juga jangan suka kebablasan bacotnya dengan ngatain orang ugal-ugalan sebagai imbas dari identitas platnya. Lah bayangin, kalau kamu sudah berkendara secara baik dan benar, mengenakan helm atau sabuk pengaman, tidak melanggar lalu lintas, lalu ketika membuka medsos melihat ujaran “plat XX itu pada dapet SIM dari Superindo apa ya” kan tetep sakit hati.
Saya tidak percaya dengan penghakiman yang dilekatkan tanpa melihat latar belakang daerah dan dinamika sosialnya. Kita tidak bisa berharap tingkat kesabaran di jalan orang Jakarta dan Solo itu sama karena dua kota itu saja sudah berbeda dari segi geografis dan dinamika sosialnya. Ujungnya ya bineka tunggal ika itu cuma lip service, diminta mengaplikasikan ya prei kenceng.
Jika terus-terusan menghakimi orang lewat stereotip yang ada, ujungnya hanyalah menyulut konflik yang tidak berfaedah dan berkesudahan. Lagian aneh juga kamu paitan sengit sama orang hanya karena dia berasal dari daerah tertentu. Lha kabeh-kabeh disengiti, emange kowe Abu Jahal?
BACA JUGA Merindukan Motor Manual di Tengah Lautan Motor Matik dan artikel menarik lainnya di OTOMOJOK.