MOJOK.CO – Di antara sekian alasan membeli Honda Scoopy, salah satunya karena kepengin Vespa tapi tak sanggup dengan keribetannya.
Mei 2010 saya lulus SMP di Yogyakarta. Baru lulus secara de facto karena baru cap 3 jari, belum lulus secara de jure karena belum melakoni seremonial wisuda dan penyerahan ijazah. Sebagai hadiah kelulusan SMP, orangtua saya yang telah bernazar mengalokasikan sejumlah uang mereka untuk membelikan saya sebuah motor, apa pun merek dan jenisnya. Bahasa gampangnya, saya tinggal pilih motor yang saya mau, orangtua yang bayar.
Bagi anak kebanyakan, sudah pasti akan senang bukan main. Di tengah banyaknya cerita anak mengancam mogok sekolah kalau tidak dibelikan motor baru, ini malah dikasih cuma-cuma. Tapi, saya justru tidak terlalu tertarik.
Alasannya? Pertama, saat itu saya masih berusia 15 tahun. Saya memegang teguh (((idealisme))) bahwa mengendarai sepeda motor itu harus di usia 17 tahun. Meskipun idealisme itu akhirnya runtuh juga pada umur 16 tahun dengan alasan mengendarai motor perlu latihan dan pembiasaan. Selama saya SMP, saya bepergian dengan sepeda kayuh atau naik bus. Rasanya sayang untuk meninggalkan sepeda saya yang sudah saya besarkan sejak kelas 3 SD. Dibesarkan di sini maksudnya di-upgrade, mulai dari gear shifter, FD dan RD (pemindah gear depan dan belakang), sprocket atau gigi belakang sepeda, hingga ban sepeda. Semuanya menggunakan uang tabungan sendiri dan belinya satu per satu.
Alasan kedua, desain motor yang ada saat itu terlalu biasa dan hanya cocok untuk kegiatan harian. Saat itu keluarga saya punya Honda Supra Fit keluaran 2006 dan Yamaha Alfa keluaran 1990-an. Yamaha Alfa dipakai kakak sepupu saya untuk kuliah dan Honda Supra Fit dipakai ibu untuk pergi ke kantor. Tidak ada sesuatu yang sangat spesial dari kedua motor itu selain cerita di belakangnya. Yamaha Alfa adalah motor pertama yang dibeli oleh orang tua saya setelah hijrah dari Magelang ke Yogyakarta, itu pun beli miliknya teman bapak, sementara Supra Fit dipakai untuk mengungsi ke rumah famili di Magelang saat peristiwa gempa Yogyakarta tahun 2006.
Mungkin Anda bertanya-tanya, kenapa saya nggak minta beli Suzuki Satria FU atau Kawasaki Ninja saja, seperti kebanyakan anak muda seusia saya? Nggak karena desain kedua motor ini “nanggung” menurut saya.
Sungguh insan yang banyak maunya.
Di mata saya, desain Suzuki Satria FU kalau disandingkan dengan motor bebek kebanyakan terlalu sporty, tapi kalau dibilang motor sport, sasisnya sendiri underbone alias sasis motor bebek. Kalau Ninja, khususnya yang 150 RR, motor bebek jelas bukan. Tapi, kalau disandingkan dengan motor sport sejenis Vixion dan Tiger, bodinya kurang gagah dan terkesan ringkih.
Selain itu kedua motor tersebut telanjur dapat stereotip jelek: motornya bad boy yang gemar membolos sekolah, nongkrong di jalan, dan tawuran. Stereotip itu ada benarnya, karena teman SMP saya yang punya motor Satria atau Ninja kelakuannya tidak jauh-jauh dari yang namanya bolos, nongkrong, atau tawuran.
Sebuah statement yang rentan mendapat balasan keras, hahaha.
Pernah saat saya dan teman-teman latihan baris-berbaris di lapangan sekolah, ada gerombolan siswa sekolah lain yang menggeber-geber gas di depan sekolah. Sudah bisa ditebak, yang nggeber-geber gas pasti pakai Satria dan Ninja. Emang dari sononya suara knalpot kedua motor itu sudah cetar membahana, apalagi kalau knalpotnya dimodifikasi. Coba Anda nggeber-geber gas pakai Supra Fit, palingan ditanyain orang, “Mas, motornya nggak bisa jalan ya?”
Saya punya teman main di RT sebelah bernama Ilham, tapi bukan dari dia datangnya ilham di diri saya untuk punya vespa. Entah kenapa tahu-tahu saya terpikir, bakalan kece badai nih naik skuter ’70-an, jadi pusat perhatian, terus cewek-cewek pada ngantre minta dibonceng gantian. Imajinasi yang belakangan terbukti kelewatan. Tapi, kalau dirunut, dulu bapak dan ibu saya pacaran naik Vespa. Mungkinkah ini yang disebut air cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan?
Akhirnya saya ungkapkan ke orangtua keinginan untuk memiliki Vespa. Yang terjadi, Bapak justru jadi orang pertama yang menentang.
“Lho, gimana sih, Pak? Katanya bebas milih, sekarang malah nggak boleh punya motor yang saya mau.”
Ini alasan dia, dan saya tidak bisa membantah lagi.
Bapak adalah rider Vespa semasa kuliah di tahun 1980-an. Saat itu bapak menggunakan Vespa Sprint 150 atau biasa disebut Vespa endhog. Anda yang sudah pernah berinteraksi dengan Vespa keluaran lama pasti tahu suka dukanya Vespa. Salah satunya, kalau ban Vespa sudah kena masalah, entah kempes, bocor, atau lainnya, dengan sangat terpaksa Vespa itu harus ditinggal. Belum lagi kalau lupa nyampur bensin dengan oli samping, siap-siap mogok deh (Vespa generasi yang lebih muda seperti Excel sudah punya tangki oli samping sendiri sehingga tidak perlu repot-repot mencampur isi tangki bensin). Juga penyakit kambuhan motor tua seperti busi kotor dan susah dihidupkan atau mutar kunci yang susahnya minta ampun. Intinya, kata Bapak, Vespa sama sekali tidak cocok untuk anak kemarin sore yang baru kenal motor dan tahunya baru starter lalu jalan.
Di tengah kegalauan saya, tiba-tiba muncul iklan Honda Scoopy di TV. Iklan yang dibintangi oleh grup band Vierra tersebut membuat saya tidak berkedip melihatnya. Kebetulan esok harinya ada iklan di koran bahwa Honda Scoopy akan melakukan test ride di pelataran Hotel Ambarrukmo. Saya langsung meminta orang tua saya untuk datang.
Begitu saya lihat sendiri si Honda Scoopy… saya langsung cinta pada pandangan pertama! Sudah, langsung bungkus!
Setelah inden dua bulan, Honda Scoopy yang saya idam-idamkan datang juga ke rumah. Warna violet putih. Saya jadi ngerasa sama kecenya dengan Kevin Aprilio di iklan Scoopy, hehehe~
Jauh sebelum adanya teknologi Honda yang bernama answer back system, Scoopy ini sudah sangat mudah ditemukan walau berada di belantara parkiran motor. Tinggal cari motor yang lampu depan dan belakangnya mblendhuk dan spionnya bulat, sudah pasti itu dia. Bahkan, entah dicatat dalam sejarah SMA saya atau tidak, pada 2010-2011, hanya ada dua Scoopy di seluruh area parkiran SMA. Satu milik saya, satu lagi milik teman seangkatan saya. Setelah Scoopy mengeluarkan varian warna baru, yaitu biru dan merah, pemilik Scoopy di SMA pun bertambah. Tapi tetap saja, Anda masih bisa menghitung pemilik Scoopy dengan jari-jari tangan Anda.
Sekian lama berkendara dengan Scoopy, baru saya sadari kalau Scoopy 2010 memiliki DNA yang sama dengan Honda Beat keluaran pertama. Dari kubikasi alias isi silinder mesin hingga rangka. Dengan kata lain, bisa dibilang Honda Scoopy adalah Honda Beat yang “ganti baju”!
Yang paling menyebalkan adalah bagasinya. Bagasinya terlalu luas, sampai ibarat kata, diisi buku servis, BPKB, dan kit servis darurat (itu lho, kantong yang isinya obeng, kunci 14, dan kunci busi) saja langsung penuh. Untuk memasukkan mantel, entah yang model ponco maupun baju celana, butuh strategi yang matang. Salah melipat, siap-siap saja jok tidak bisa ditutup. Kalaupun bisa ditutup paksa seperti Hotel Alexis, tunggu saja ketika lewat aspal gronjal, tanpa disuruh joknya akan buka sendiri.
Dalam hal konsumsi bensin, boleh dibilang okelah untuk motor matic berkarburator. Tidak sangat hedonis kok, per satu liter bisa dipakai untuk 40 kilo. Urusan perawatan dia juga tidak banyak menguras uang, kecuali untuk satu hal: ban belakang!
Serius, ban belakang motor saya sering banget sowan ke tukang tambal ban. Yang lebih parah, dalam satu tahun ia sudah tiga kali ganti ban dalam. Ada yang nggak beres ini. Padahal ban depan belakang masih ban asli pabrikan semua. Akhirnya, saya putuskan untuk mengganti ban belakang dengan ban tubeless merek Pirelli seharga 330 ribu. Cukup menguras kantong sih, namun sejak memasang ban tersebut di Januari 2016 hingga saat Anda membaca tulisan ini, alhamdulillah ban belakang saya tidak pernah sowan tukang tambal ban lagi. Mentok hanya sowan ke tukang ban nitrogen di SPBU setiap 6 minggu dan hanya keluar uang enam ribu rupiah buat tambah nitrogen.
Ini mungkin yang ditunggu-tunggu para pembaca Mojok sekalian yang berbahagia, apakah motor Scoopy termasuk kencan-able?
Lumayan~
Selama delapan tahun punya Scoopy, saya dua kali punya pacar. Kalau boncengin cewek sih sering. Mulai dari Ibu, saudara, sampai pacar orang yang notabene masih teman sendiri. Selama itu pula belum pernah ada komplain tentang motor saya. Nah, kedua mantan pacar saya tersebut—satu semasa SMA, satu semasa kuliah—telah teruji kesetiaannya untuk tidak berpaling pada lelaki yang naik Ninja atau Satria.
Jadi, bisa saya asumsikan mereka cukup nyaman dengan kendaraan yang saya bawa. Bahwasanya keduanya kemudian menjadi “mantan”, saya bisa tegaskan itu karena sebab-sebab yang tidak terkait dengan si Scoopy.
*Lie down*
*Try not to cry*
*Cry a lot*