Honda, Bisakah Kamu Jualan Brio Aja?

Nasib Honda di pasar roda empat terbilang mengenaskan. Berbagai data mendukung klaim tersebut.

Honda, Bisakah Kamu Jualan Brio Aja? MOJOK.CO

Ilustrasi Honda Brio. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COIntinya, produk Honda selain Brio nggak menawarkan nilai lebih meskipun dijual dengan harga lebih mahal, kecuali Honda Brio yang lumayan.

Di pasar otomotif roda dua tanah air, Honda adalah penguasa. Produknya ada di setiap rentang harga dan segmen pasar, catatan penjualannya selalu mengesankan, inovasinya selalu menjadi yang terdepan, dan pelayanan purna-jualnya ada di mana-mana.

Untuk membuktikan klaim kalimat pertama pada paragraf di atas, kita tak perlu melongok data penjualan tahunan sepeda motor. Cukup mendatangi fasilitas publik dan menghitung motor Honda yang terparkir di sana. Kita akan tahu bahwa klaim saya tak mengada-ada.

Yamaha memang rajin menebar ancaman, tapi memang hanya itu yang bisa mereka lakukan. Penjualan Yamaha NMAX cukup pantas untuk kita kalungi medali. Jauh melampaui seteru abadinya yang dipusingkan oleh cacat desain yang membikin blok mesinnya rawan pecah kala tak sengaja menghantam polisi tidur. Namun, cuma sampai di situ saja ancaman dari Yamaha. Segmen pasar lainnya masih dikangkangi Honda, yang membuat N-Max tampak seperti senjata yang benar-benar payah dalam upayanya merebut kursi penguasa.

Pendeknya, keperkasaan Honda di pasar otomotif roda dua memang layak untuk diganjar penghargaan tertinggi: metonimia. Tak ada penghargaan yang lebih tinggi dan lebih tulus ketimbang itu.

Namun, nasib Honda di pasar otomotif roda empat tak semanis itu. Bahkan, bila kita mencermati data-data penjualan tahunan kendaraan roda empat yang rutin dikeluarkan Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), Honda sesungguhnya sedang mengalami kesulitan. Sudah beberapa tahun belakangan ini Honda selalu terlempar dari posisi tiga besar. Puncaknya pada 2021 kemarin, ketika ia berada di posisi kelima, keok bahkan dari Mitsubishi dan Suzuki.

Capaian penjualan seperti itu sebenarnya adalah fenomena yang aneh bagi Honda. Pasalnya, sepanjang tahun lalu, Honda berhasil menjadi juara di segmen pasar LCGC 5 penumpang dan city car. Honda Brio Satya berhasil menekuk duo Ayla-Agya dengan total penjualan 30.254 unit, sedangkan Brio RS sukses menggulung Ignis dengan selisih penjualan sekitar tiga belas ribuan unit.

Lantas, kenapa total penjualan Honda di tahun tersebut gagal menempatkan mereka di peringkat tiga besar? Apa yang membuat Honda juara di segmen tertentu, tapi babak-belur di segmen lain? Apa yang sebenarnya terjadi dengan Honda sehingga capaian penjualannya bahkan bisa disalip oleh Suzuki?

Secara ringkas: Kamu sedang punya masalah apa, sih, Honda?

#1 Kualitas rancang-bangun mobil Honda yang buruk

Tunggu, dengar dulu penjelasan saya! Sejak dulu hingga sekitar tahun 2010, mobil-mobil Honda memang terkenal pelit fitur. Tapi, mereka punya mesin yang jauh lebih gahar ketimbang mobil pabrikan Jepang lain. Kualitas rancang-bangun mobil Honda pernah menjadi bahan bakar yang tak habis-habis bagi konsumen untuk mengolok-olok mutu rancang-bangun mobil rivalnya.

Tapi, itu dulu. Sekarang, atau sejak periode kelam yang bermula pada sekitar tahun 2010 itu, Honda semakin mirip divisi roda dua Suzuki: tim risetnya diisi oleh teknisi mesin yang sanggup menciptakan mesin terbaik di kelasnya, tapi menutup mata untuk sektor lain. Hasilnya adalah mobil dengan mesin jempolan yang terkubur oleh kualitas rancang-bangun sektor lain yang mengharukan.

Kualitas rancang-bangun yang jelek bisa Anda temui pada hampir semua produk Honda yang dirakit di dalam negeri. Brio, Mobilio, dan B-RV bisa Anda jadikan contoh. Sekalipun menggendong mesin paling gahar di kelasnya, ketiga mobil tersebut seolah dibikin dari “kaleng susu kental manis”. Tipis banget, ringkih pula. Sudah begitu, pengecatannya juga berantakan, terutama di bagian dalam kap mesin.

Kekedapan kabin ketiga mobil tersebut juga lebih buruk ketimbang rival-rivalnya, dan itu disebabkan oleh keputusan Honda untuk menyunat bagian-bagian penting yang berfungsi meredam bunyi. Kalau Anda kebetulan punya salah satu dari ketiga mobil tersebut, perhatikanlah karet di daun pintu. Cuma sepotong kecil, nggak sampai mengelilingi daun pintu sebagaimana mobil pada umumnya. Bahan peredam yang membalut kabin juga tipis banget, yang membuat suara hujan yang menimpa atap kabin terdengar seperti berondongan peluru.

Kita belum ngomongin dasbor yang oblak dan sambungan antarpanel bodi yang kerap nggak presisi, jok dengan headrest tersambung model pocong untuk mobil di harga dua ratusan juta, atau kualitas joknya yang maha-tipis sampai-sampai menyiksa bokong. Kalau dipikir-pikir lagi, kita nggak perlu ngomongin semua kekurangan itu karena angka penjualan Honda sudah bisa menggambarkan masalah apa yang mendera produk-produk mereka.

Barangkali Anda bakal menggerutu dalam hati, “Yaelah, Mbak, urusan receh gitu aja digedein.” Jawaban saya: tentu aja harus digedein. Kita sedang membahas barang seharga ratusan juta, lho. Masa iya kualitas pengerjaannya serampangan? Pabrikan lain bisa memperhatikan urusan receh semacam itu pada produk di rentang harga yang sama, kenapa pula Honda gagal?

Brio masih tertolong oleh desain dan mesinnya yang lebih baik ketimbang rival-rivalnya di kelas LCGC dan city car. Tapi, di kelas LMPV dan LSUV, kelas paling panas di jagat permobilan tanah air, Mobilio dan B-RV jelas tak bisa berbuat banyak untuk melawan Avanza-Xenia, Xpander, Ertiga, Rush-Terios, Livina, dan bahkan Cortez. Semua rivalnya punya kualitas rancang-bangun yang lebih baik walaupun dibekali mesin yang sedikit lebih inferior ketimbang kepunyaan Honda.

Mobil, bagaimanapun, bukan sekadar urusan mesin.

#2 Hengkangnya Jazz dan Ketiadaan Pengganti yang Sepadan

Setelah meniup lilin ulang tahunnya yang ke-20, Jazz akhirnya tamat, setidaknya di pasar Asia Tenggara. Keputusan Honda untuk tidak menjual Jazz lagi memang patut disayangkan, padahal mobil tersebut, selama ini, menjadi salah satu amunisi andalan Honda untuk mendongkrak penjualan di tanah air.

Jazz GK5 yang diluncurkan pada 2014 memang punya banyak cela dibandingkan Jazz GE8 generasi sebelumnya. Desain serba-bulat khas Jazz diganti serba-runcing, dan rem belakangnya entah kenapa malah diganti tromol. Seteru abadinya, Yaris, dengan pintar mencomot cakram yang dibuang Honda dan memasangnya ke roda belakang. Hasilnya, pada beberapa periode sepanjang 2014-2021, Yaris sempat mengangkangi penjualan Jazz, sesuatu yang mustahil terjadi pada era Jazz sebelumnya.

Alasan Honda menyetop penjualan Jazz di sini mungkin karena pertumbuhan pasar SUV dan LSUV yang terus menggerus pasar mobil hatchback. Namun, saya pikir alasan tersebut nggak bisa dijadikan dalih. Penjualan Baleno Hatchback malah tumbuh setiap tahun, dan Mazda dengan gagah berani memasukkan generasi baru Mazda 3 ke tanah air justru ketika pasar hatchback sedang lesu.

Lagipula, kalau memang itu alasannya, ngapain juga Honda memasukkan City Hatchback? Kenapa nggak memasukkan Jazz generasi keempat aja? Aneh banget.

City Hatchback adalah mobil yang keren luar-dalam. Tapi, konsumen Jazz adalah jenis konsumen yang tersegmentasi. Mereka rata-rata membeli Jazz karena menggandrungi mobil tersebut. Peduli setan sama kelebihan mobil lain. City Hatchback, sebagus apapun, bukanlah Jazz, sehingga susah mengharapkan para fans militan Jazz untuk berpindah tunggangan ke situ.

Kemudian yang terjadi adalah blunder: konsumen Jazz lari ke pabrikan lain, dan City Hatchback gagal memenuhi target.

#3 Harga mobil Honda tidak kompetitif

Sederhananya, harga mobil Honda lebih mahal ketimbang lawan-lawannya. Brio dibanderol sekitar 20-30 juta lebih mahal ketimbang mobil LCGC dan city car lain. Selisih harga antara All New B-RV dan New Xpander mencapai Rp40 juta.

All New H-RV varian tertinggi udah bisa buat beli Pajero Sport trim terbawah. Harga City Hatchback setara dengan gabungan harga Yaris plus Ninja dua silinder. Cuma Mobilio yang paling murah, tapi itu pun karena kompetitornya sudah menelurkan generasi baru yang lebih canggih sehingga terpaksa dibanderol lebih mahal.

Selisih harga 20-30 juta bukanlah persoalan bagi konsumen Brio. Di kelas LCGC, Brio Satya menang dalam urusan mesin ketimbang duo Astra. Sedangkan di kelas city car, desain Ignis benar-benar menjadi ganjalan besar dalam menggaet hati konsumen. Nggak apa-apalah keluar duit ekstra sampai segitu, asal kita dapat mobil yang lebih powerfull dan cakep.

Namun, di kelas lain, ceritanya berbeda. Misalnya, apa-apa yang membikin All New B-RV dibanderol sampai Rp340-an juta juga dimiliki mobil lain. Sensor keselematan? All New Veloz juga punya. Ground clearance tinggi? Xpander dan Rush jelas jemawa. Mesin 1,5 liter yang memuntahkan ratusan tenaga kuda? Yaelah, Wuling Almaz malah udah pakai turbo di harga segitu.

Intinya, produk Honda selain Brio nggak menawarkan nilai lebih meskipun dijual dengan harga lebih mahal. Kecuali ia adalah pecinta Honda, konsumen mana pun jelas mikir dua kali buat memboyong mobil Honda ke garasi rumahnya. Ya iyalah, udah bayar lebih mahal, dapatnya sama aja kayak mobil lain.

Jadi, Honda, udah paling benar kamu jualan Brio aja.

BACA JUGA Menunggu Ledakan Harga Mobil Bekas Honda Jazz dan analisis menarik lainnya di rubrik OTOMOJOK.

Penulis: Mita Idhatul Khumaidah

Editor: Yamadipati Seno

Exit mobile version