Cuma Indro Warkop yang Bisa Bawa Harley Davidson dan Tetap Lucu

Harley Davidson lewat, matik-matik lucu minggir dulu.

Cuma Indro Warkop yang Bisa Bawa Harley Davidson dan Tetap Lucu MOJOK.CO

Cuma Indro Warkop yang Bisa Bawa Harley Davidson dan Tetap Lucu MOJOK.CO

MOJOK.COHarley Davidson yang ruwet betul ini dapat memberi pengaruh percaya diri kepada penunggangnya secara instan.

Tahun 1997, saya diserang asam lambung. Penyakit khas Nusantara. Sakitnya sangat menyiksa, bahkan saya yang perokok saja bisa muntah justru ketika mencium asap rokok. Alangkah betapanya!

Semua masakan hambar dan bau, kecuali bubur beras yang dikasih sedikit garam. Tidak pakai apa-apa lagi. Rasa sakit baru berkurang setelah 21 hari saya terlentang, dilanjutkan dua atau entah tiga bulan berikutnya makan nasi tim. Tak ada sedikit pun sisa ingatan yang dapat dipanggil ulang jika saya harus merekonstruksi sensasinya secara detail, hueeek banget pokoknya.

Selama 24 tahun berjalan, penyakit tersebut tidak pernah kumat meskipun saya minum kopi setiap bangun tidur (kecuali hanya beberapa kali saja). Biasanya, nyeri datang perlahan lalu menciptakan rasa pedih di sekitar dada, seperti diiris-iris padahal saya bukan bawang merah. Kondisi ini, biasanya, muncul kalau saya mengalami ketegangan luar biasa, seperti naik mobil dalam kondisi sangat ngebut dan ada tekanan; menghadapi situasi yang sulit dan menegangkan, seperti seorang gitaris yang harus memainkan solo-nya John Petrucci dalam situasi baru putus dengan pasangan.

Pengalaman terbaru seputar sensasi nyeri yang datang menyerang itu adalah ketika beberapa hari yang lalu saja menjajal Harley Davidson Heritage Softail untuk pertama kalinya.

Kok bisa? Saking tegangnya tentu!

Jadi, artikel ini, maaf, bukan tentang asam lambung, tapi tentang faktor “Kebo Amrik” yang tertuduh sebagai salah satu pemicu asam lambung naik. Jangankan pas berjalan. Baru mau belok dari parkiran saja sudah bikin emosi. Ya berat, ya repot, dan lain-lain pokoknya.

Intinya, kendaraan ini, saya kok rasanya malas sekali mau menyebutnya sebagai (sepeda) motor, karena kayaknya memang bukan sepeda motor, tapi, apa ya?  Ya, HD atau Harley Davidson. Gitu saja.

Kebo Amerika ini memang serba merepotkan dalam segala sisinya. Repot kalau mau mundur (karena tidak seperti VIAR atau TOSSA yang pakai tuas ((r)etret), repot kalau ada kemacetan karena tidak ada radiator jadi mesin pasti panas dan bisa overhead & overheat, repot kalau mau ganti suku cadang karena harus inden dan konon sangat muwahal.

Nyoba Harley Davidson kali pertama, saya cuman mengitari jalan kolektor di sekitar rumah. Karena ini pengalaman pertama, yang artinya merupakan perkenalan, maka saya memilih jalan yang gampang, sekiranya hanya belok kiri saja.

Saya menghindari jalan yang memotong atau belok kanan karena akan jadi masalah tersendiri jika jalanan tidak sedang lengang. Berhenti dengan beban nyaris 3 kuintal akan jadi masalah krusial dan sialan bagi tubuh pengemudi ringan macam saya, yang setakar dengan 23 gantang beras saja.

Sembari melajukan Harley Davidson, saya coba pencet-pencet klaksonnya, dan sungguh mubazir. Buat apa klakson jika bunyi knalpotnya sudah ngalkson terus-menerus. Jika kita menghadapi tikungan atau perempatan jalan, berisiknya sudah sampai duluan ketika kita masih 100 meter di belakang.

Ketika menaikinya, kostum yang saya gunakan bukan jaket kulit, bukan celana jeans, bukan pula sepatu boots, melainkan sarung, baju hem lengan panjang, peci rotan, dan sandal Lily model jadul. Dengan kostum seperti itu, saya membayangkan diri ini kayak Lorenzo Lamas yang sedang dalam perjalanan menuju musala untuk belajar Iqro’.

Eh, baru jalan tiga kilometer, sensasi pedas sudah mulai menjalari betis saya yang posisinya diapit oleh dua knalpot dengan diameter mirip knalpot Hino RG.

“Kalau sampai jalan 10 kilometer dengan kecepatan hanya di bawah 50 kilometer per jam, bisa jadi singkong panggang nih betis,” kata saya dalam hati.

Dengan mesin Harley Davidson seukuran dua buah nangka, rasanya saya sedang naik mobil roda dua. Derumnya sangat musikal, mirip birama 7/8 yang singkup. Pada kondisi idle, bunyi dut-dut-dut-nya malah mirip ketukan drum-nya Neil Peart saat memainkan lagu “Tom Sawyer”, lalu berubah seperti mesin bajak sawah pada percepatan kedua, dan suara berubah lagi laksana tembakan senapan bren pada percepatan ketiga. Tapi, pada percepatan keempat, yang berdegup giliran jantung saya. Nggak jadi, percepatan diturunkan lagi ketiga.

Ketika menjajal Harley Davidson untuk yang ketiga kalinya, saya sudah mulai paham. Jadi tidak sembarangan berhenti, melainkan tolah-toleh dulu, mencari kerumunan orang.

Buat apa? Untuk dimintai tolong mendorong saat mau putar-balik di atas badan jalan kolektor desa yang sempit. Sebab, kalau disurung dengan kekuatan yang bertumpu pada kaki, saya tidak mampu. Kalau ternyata bisa, itu hanya mungkin dilakukan di jalan beraspal mulus dan rata. Itu saja harus menghabiskan kalori setara setengah piring nasi padang.

Nah, dari sini saya berpikir, Harley Davidson, khususnya versi yang saya coba ini, sepertinya memang sengaja dibuat untuk menyiksa pemakainya. Sudah berat nggak kepalang tanggung, tanpa pendingin radiator, yang artinya harus jalan ngebut melulu dan pasti overheat kalau jalannya macet lama, dan akan sangat repot jika pecah bannya. Ia aneh, unik, antik, dan istimewa dalam segalanya, segala hal yang merepotkan.

Terus, kalau mau bawa ini Harley Davidson Heritage Softail, masih ada syarat tambahan:

Si penunggang harus berbodi bongsor, sebab tinggi saja tidak cukup karena ia tidak dirancang untuk orang kerempeng. Jika dipaksakan, sungguh, secara visual pasti akan mengganggu pemandangan. Dengan sadel depan yang cekung dan sadel belakang yang rata tapi hanya seukuran satu jengkal dua jari (sudah saya ukur pakai tangan sendiri), Harley Davidson ini akan makin tidak estetis jika diboncengi pasangan yang kecil dan imut, sementara kita besar dan berjaket kulit. Bayangkan! Si pasangan hanya akan tampak seperti gambar bordiran di jaket kulitnya.

Dulu saya berkhayal, stang stirnya yang mirip leher burung unta itu pasti bakal bikin pegel, eh, ternyata justru sebaliknya. Tapi, stang itu ternyata harus dipegang oleh kedua tangan si pengemudi terus-terusan. Jangan sampai hanya pakai satu tangan kanan karena tangan satunya sambil telepon-teleponan. Sangat berbahaya, dan tidak perlu dicoba-coba.

Mencoba di atas trek lurus tiga kilometeran, saya hanya berhasil menghabiskan sajian tiga percepatan saja, tidak bisa habis sampai lima demi kesempurnaan top speed.

Ibarat hidangan di Rumah Makan Pangek Situjuah, saya baru melahap nasi, rendang, dan daun singkongnya, belum pula sempat makan pisang dan mimik susunya. Tapi, tiga itu sudah intinya, sudah bisa blar-blar-blar dan hati gembira.

Tapi, tunggu dulu, saya harus juga sampaikan sisi buruk lainnya: Harley Davidson ini dapat memberi pengaruh percaya diri kepada penunggangnya secara instan.

Sadarlah saya bahwa Harley Davidson bukan sekadar berfungsi sebagai wahana transportasi (bahkan fungsi bagian ini justru tampak tidak begitu penting). Ia mirip fungsi eksternal sebuah fashion, seperti fungsi seragam satpam yang fungsi dasarnya sama dengan pakaian keseharian kita.

Tapi, apakah pakaian seragam satpam akan berfungsi jika dipakai seorang penyabit rumput? Tidak berfungsi apa-apa. Pakaian tersebut tidak membaca wibawa apa-apa di hadapan kambing. Ia akan menemukan maknanya jika dipakai orang dan berdiri di pintu kantor atau bank, bukan di tengah tegalan.

Nah, begitu pula si Harley Davidson ini. Saat saya berpapasan dengan Honda Beat atau apalah itu motor otomatis yang imut-imut namanya Scoopy, rasanya bikin mereka auto-minggir. Mereka menyisi sendiri karena tahu diri. Saya kira ini tidak dibuat-buat dan bukan soal determinasi atau pertentangan superior-inferior dalam sudut pandang stereofikasi, melainkan memang hukum alamnya, eh, hukum transportasinya yang seolah bekerja begitu. Saya yang sok lucu-lucu jadi mendadak kaku. Yang bisa tetap lucu saat naik Harley mungkin cuman Indro Warkop.

Walhasil, setelah saya turun dari sadel Harley Davidson lalu duduk ke sadel Astrea Prima 1990 untuk mengajar di madrasah aliyah, sensasinya sekonyong-konyong berubah. Waktu tangan saya memegang stang stir nan kecil si bebek empat tak itu sungguh berasa Sinjay sekali.

Maka, saya buat kesimpulan: bagi yang masih mau mengeluh soal kerepotan berkendara, kesulitan saat memarkir, ke-kere-an saat mau belanja suku cadang, gagalkan saja cita-cita membeli kendaraan bongsor ini, lebih-lebih bagi dia yang harus selalu siap minyak kayu putih setiap kali kena angin jalanan.

Namun, bagi cowok yang tidak berkumis, tidak bercambang, tidak berbulu betis, tak perlu membeli minyak Firdaus Oil si penumbuh rambut untuk menunjukkan identitas ke-laki-an, cukup beli ini: Harley Davidson.

BACA JUGA Menyiksa Honda Brio Satya dengan Membawa Beban Setengah Ton di Tol Trans-Jawa dan pengalaman seru lainnya bersama kendaraan di rubrik OTOMOJOK.

Exit mobile version