Banjir di Jakarta belum surut ketika sebuah kabar duka datang bagi pecinta musik Indonesia. Tentu ini bukan sabotase—seperti kata Ahok, ini beneran kabar duka. Rinto Harahap meninggal dunia.
Sebagai anak dari Mamak Batak yang besar di era 70-an, sudah jelas bahwa saya termasuk kalangan balita yang dengan murni dan konsekuen mendengarkan lagu-lagu Opung Rinto Harahap, di sela-sela Bondan yang mengejar lumba-lumba dan Agnes Monica yang asyik ber-tralala-trilili. Sembari asyik membungkus es mambo supaya dapat tambahan uang jajan, saya dengan tekun mendengarkan Bila Kau Seorang Diri, Gelas-Gelas Kaca, dan lagu-lagu lain yang diputar oleh Mamak via tape butut yang baru bisa menyala sesudah kabelnya diisolasi.
Bagaimanapun saya masih bersyukur bahwa kontaminasi lagu di masa silam tidak sepelik sekarang, ketika selimut tetangga menjadi aspek krusial yang harus dicerna dalam sebuah lagu. Memang, pemuda masa kini yang terlalu banyak bergoyang dumang mungkin sudah tidak mengerti siapa itu Rinto Harahap. Mereka hanya tahu jargon ‘Muka Rambo, Hati Rinto’ untuk menyebut lelaki bermuka keras dengan hati lembut (kayak saya).
Entah bagaimana, nama Rinto kemudian begitu melekat dengan keadaan mellow. Dan entah bagaimana juga, beberapa Mamak yang sepantaran Mamak saya memberi nama Rinto kepada anaknya. Nama Rinto memang terlanjur identik dengan mellow dan galau. Tapi bagi saya, Rinto Harahap sukses membuat mellownya tampak menjadi galau nan berkelas—dengan lirik-lirik yang merona. Karya Opung Rinto macam gelas kaca di hotel berbintang, benar-benar tampak mewah.
Bercita-cita jadi dokter, disuruh menjadi pendeta, Opung Rinto jelas menjelma sebuah contoh nyata bahwa cita-cita, arahan orangtua, dan lantas jalan hidup tidak bisa selalu sejalan. Begitu banyak orangtua meminta anaknya yang jomblo untuk menjadi PNS, meskipun anaknya adalah seorang penulis berbakat yang sering masuk Mojok dot co (kayak saya lagi).
Opung Rinto sukses memaknai jalur hidupnya sendiri, via musik. Adapun Sang Ayah yang tadinya menyuruh menjadi pendeta, diabadikan ke dalam sebuah lagu legenda berjudul Ayah. Yah, walaupun pemuda kekinian mungkin lebih paham lagu Ayah yang dinyanyikan oleh Ariel Noah sebelum ketemu Sophia Latjuba. Semua orang secara sadar maupun tidak pasti mengakui bahwa lagu itu adalah masterpiece, tapi sedikit sekali yang tahu bahwa Opung Rinto penciptanya.
Lagu-lagu Opung Rinto mengalun di bus ALS (Antar Lintas Sumatera), di travel ke Sibolga, di tempat-tempat DVD bajakan—yang ironisnya dimiliki oleh sesama Halak Hita (Orang Batak), hingga di tempat karaoke terkemuka. Orang-orang mendengarkan lagu Opung Rinto tanpa tahu bahwa dia kena stroke, lebih dari 10 tahun yang lalu. Mereka tetap meng-copy file mp3 lagu Benci Tapi Rindu tanpa tahu bahwa otak yang dulu berjasa membuat lagu itu sedang serapuh gelas-gelas kaca keadaannya.
Opung Rinto juga produser yang berhasil. Beliau yang mengorbitkan nama Nia Daniati dan Christine Panjaitan. Kalau saja Nia Daniati tidak pernah dipoles Opung Rinto, boleh jadi kita tidak akan pernah mengenal Farhat Abbas begitu dalam.
Opung Rinto jelas adalah kebanggaan bagi Halak Hita. Menurut supir angkot asli Batak di Bandung, masihlah lebih bangga mendengar lagu galau milik Halak Hita, daripada mendengar orang yang semarga ditangkap KPK. Kalau saja Opung Rinto sempat membaca Mojok, mungkin dia akan senyum-senyum sendiri membaca tulisan tentang rokok di sini. Dalam buku Gelas-Gelas Kaca, Opung Rinto sendiri bilang bahwa larangan merokok bukanlah hal yang menyiksa, karena toh sedari lama sudah dia kurangi, paling ngebulnya hanya pada saat nongkrong saja.
Sebagai cucu pemilik pakter tuak pertama di kota Padang Sidempuan, yang sudah kenal tuak dan sering disuruh beli rokok ke warung saat masih balita, saya sangat memahami konsen dari Opung Rinto perihal rokok untuk pergaulan itu.
Selamat jalan, Opung. Mauliate! Titip salam buat Opung saya, ya…