MOJOK.CO – Rasanya menyenangkan melihat Didi Kempot kini malah digemari anak-anak muda di Jakarta. Kota penentu selera.
Sejak zaman Arthur Kaunang masih gondrong dan Akhdiyat Duta Modjo masih berambut belah tengah, Jakarta selalu jadi tujuan kalau musisi mau sukses. Zaman pra internet, sukses artinya jual album puluhan atau ratusan ribu keping, lalu masuk televisi.
Coba kalian kulik kisah musisi-musisi besar yang berasal dari luar Jakarta, misal Dewa 19 atau Sheila On 7. Pasti ada kisah mereka datang ke Jakarta dengan susah payah untuk merintis karier.
Gimana nggak harus ke Jakarta? Semua yang diperlukan untuk jadi musisi terkenal ada di ibu kota semua. Label musik besar, stasiun tipi, begitu pula koran-koran dan majalah yang bisa menentukan karier sebuah band atau musisi.
Sebagai pusat pemerintahan dan pusat ekonomi sejak dulu, tak heran kalau perputaran uang dan kesuksesan berputar di sana-sana saja. Jadi, dulu selera musik kita itu didikte dari Jakarta. Band atau musik yang dulu pernah kita saksikan di televisi atau majalah, ya adalah produk bisnis Jakarta.
Sayangnya, seringkali ada efek samping dari Jakartasentris ini.
Publik Jakarta kerap menganggap sesuatu yang datang dari luar Jakarta dan tidak sesuai selera mereka itu jelek, bahkan norak, kampungan, dan layak diledek. Dan pola pikir ini menyebar ke banyak tempat. Saya, dan kemungkinan besar juga kalian, pasti pernah berada dalam fase pola pikir seperti itu.
Namun internet mengubah segalanya. Orang Jakarta yang dulu kayak ditutupi cangkang, baru sadar ada banyak musik keren yang tidak tertangkap radar televisi nasional atau media nasional. Dan untungnya pula, banyak yang mau berpikiran terbuka dan mengenalkan musik-musik itu ke panggung yang lebih besar di Jakarta. Tradisi yang bilang bahwa semua yang keren-keren itu berasal dari Jakarta, ambyar semua.
Kalau saya tak silap, penyelenggara Sychronize Fest adalah salah satu pihak yang bertanggung jawab mengenalkan musik-musik “ajaib” dari daerah ke anak-anak muda Jakarta.
Mereka pernah mengundang NDX, Rhoma Irama, dan Nasida Ria, misalkan. Bayangkan, kelompok penerbang—di Jawa Timur, musik hadrah seringkali disebut musik terbang, karenanya saya dan teman-teman sering menyebut personel kelompok musik hadrah ini sebagai pilot—manggung di sebuah festival musik yang juga menghadirkan kelompok sebuas Seringai dan seugal-ugalan Orkes Moral Pancaran Sinar Petromaks.
Menariknya, para penonton yang kebanyakan adalah anak muda, tergila-gila dengan yang musisi-musisi liyan itu.
Lalu lihat bagaimana orang-orang di Jakarta terpukau dengan musik dangdut koplo. Nella Kharisma jadi idola baru. Via Vallen diundang ke berbagai acara tipi. Tampil di Net TV dan meraup view ratusan juta di Youtube, bahkan menyanyikan lagu resmi Asian Games 2018. Atau ketika Kick Andy mengundang Sodiq Monata, King of Koplo.
Rasanya menyenangkan melihat rombongan pemusik yang mungkin dulu dicap “kampungan”, kini digemari anak-anak muda di Jakarta, kota yang dulu pernah berkuasa menentukan selera bagi ratusan juta orang, mana yang bagus dan mana yang buruk, mana yang oke dan mana yang norak.
Ternyata gelombang itu belum selesai.
Berawal dari video pemuda-pemuda nggrantes di Solo yang bernyanyi ramai-ramai di konser Didi Kempot, Agus Mulyadi lantas mencuit pemujaan terhadap sosok Didi Mulyadi, eh, Didi Kempot. Mendadak Pangeran Campursari ini jadi amat populer di dunia maya. Dan semuanya berlangsung seperti sekerjapan mata saja.
Cuitan Agus dicuit ulang oleh ribuan akun. Gofar “Pergi Jauh” Hilman bikin acara Ngobam di Solo bareng Didi Kempot dan ditonton lebih dari satu juta kali. Beberapa hari lalu Lord Didi Kempot juga datang ke Jakarta, dan berlokasi di kantor sebuah partai dia bersenandung tentang patah hati serta kesedihan di hadapan bocah-bocah yang berlumur nestapa.
Aksi Didi Kempot dan potensi viral dadakannya ini tentu jadi santapan empuk bagi banyak media, termasuk tempat saya bekerja.
Mendadak Didi Kempot ada di mana-mana: di berita online, media sosial, televisi, bahkan aplikasi streaming musik macam Spotify yang bikin playlist khusus berjudul This is Didi Kempot.
Diksi seperti nelongso, cidro, mblenjani janji, sliramu, banyu langit, hingga eluh berserakan di sudut-sudut percakapan. Mengingatkan malam-malam di bus antar kota yang rutin memutar trio campursari, koplo, dan Banyuwangian.
Namun di luar itu semua, menyampingkan soal Jakarta versus daerah, ada hal menarik lain yang asyik buat dicermati. Didi berhasil mengajak orang untuk merayakan patah hati. Gembeng is okay mai fren. Nangis perkara patah hati itu normal saja.
Karena pernah ada suatu masa—bahkan hingga sekarang—pria yang menangis itu dianggap sebagai aib. Cengeng. Apalagi kalau nangis karena patah hati. Dobel gembeng. Seharusnya gelar Bapak Air Mata Nasional atau Sultan Patah Hati Nasional diberikan ke Didi Kempot bukan ke saya.
Lagu-lagu patah hati pun sering diposisikan sebagai sesuatu yang membuat pria lemah. Bahkan Harmoko, sang bapak hari-hari omong kosong itu, sampai pernah melarang lagu-lagu sendu dan menyebut lagu macam itu bisa “melemahkan semangat bangsa.”
Di acara ulang tahun TVRI ke 26, pada 24 Agustus 1988, Harmoko yang kala itu menjabat sebagai Menteri Penerangan dengan tegas bilang: stop lagu-lagu semacam itu.
Dan di sinilah kita, ketika Didi Kempot berhasil melakukan apa yang tidak bisa dilakukan oleh Panbers, Betharia Sonatha, atau Obbie Messakh, sekaligus meruntuhkan tembok tinggi maskulinitas yang dulu dibangun oleh peradaban dan dibantu oleh Harmoko. Didi Kempot menjadikan tangisan dan patah hati sebagai sesuatu yang normal.
Sama seperti slogan “semua kesengsaraan itu ada lagu koplonya”, begitu pula yang dilakukan oleh Didi Kempot dan patah hati. Selalu ada satu lagu Didi untuk tiap jenis patah hati. Tidak percaya?
Bagi pria yang menangis di pantai gara-gara diklemprakno pasangannya, ada “Pantai Klayar” yang bikin ingin snorkeling di Pantai Selatan tengah malam.
Untuk pasangan baru menikah tapi langsung terpisah jarak Jakarta-Washington DC, ada “Layang Kangen” yang magis dan bikin pengen jual rumah buat beli tiket pulang.
Yang ditinggal ta’aruf oleh mantan, bisa mendengarkan “Dudu Jodone” sambil nangis nggerung-nggerung.
Yang bela-belain melakukan perjalanan antar kota demi ketemu pacar tapi akhirnya putus, silahkan mimbik-mimbik di dalam bus sambil dengar “Terminal Tirtonadi” seraya melempar tatapan kosong ke luar jendela.
Lengkap to?
Melihat sosok Didi Kempot yang mengalami kejayaan kedua, rasa-rasanya kita masih bisa menonton Didi di mana-mana dalam waktu yang lama.
Biarkanlah dia berkhotbah soal patah hati, menerima, dan bangkit kembali. Bangkit dari patah hati dan bangkit dari stigma musik kampungan. Lalu kita sebagai makmum akan mengikuti segala petuahnya sembari bernyanyi dan berteriak lantang, “Bersama Didi Kempot, saya kampungan, dan saya melawan!”