Woody di Toy Story Itu Hiperbolis: Lebih Susah Jadi Anak-Anak!

MOJOK.CO Menurutku, Woody di film Toy Story itu terlalu hiperbolis, seolah-olah dia saja yang paling menderita di dunia ini. Memang, dia pernah jadi anak-anak?

Beberapa hari lalu, aku menonton film Toy Story 4 bersama Bunda. Saat film diputar, aku berbisik pada Bunda, “Bun, jadi mainan ternyata susah, ya?”

Bunda cuma tersenyum. Malahan, ia seperti tidak mendengarkanku. Waktu aku lihat, eh ternyata Bunda sibuk membersihkan matanya yang kebanjiran. Pssst, ternyata Bunda bisa nangis juga  lagi nonton film.

Aku mengira jadi mainan itu gampang. Mainan itu benda mati, pakai baju bagus, diberi bungkus yang cantik, dipajang di rak-rak, ruangannya ber-AC (tidak semua, sih!), disukai anak-anak, dibawa pulang, dimainkan, dan disayangi. Tapi, ketika menonton semua film Toy Story, aku jadi memikirkan hal yang berbeda: Jika jadi mainan saja sudah begitu menyusahkan, apalagi jadi anak-anak?

Woody di Film Toy Story yang Agak Lebay

Aku rasa semua orang sudah kenal Woody. Ya, Woody tokoh utama dalam semua film Toy Story. Ia mainan koboi yang bisa bersuara jika tali di punggungnya ditarik.

Woody mainan milik Andy. Andy jadi dewasa dan Woody terpaksa dihadiahkan kepada Bonnie. Saat jadi mainan milik Andy, Woody begitu disayangi dan diistimewakan. Tapi, nasib Woody berubah ketika bersama Bonnie. Aku tidak begitu yakin apakah ini terjadi karena Woody mainan koboi dan Bonnie anak perempuan (Jika iya, mereka gender sekali! Tapi namanya film, ya, suka-suka yang bikin. Oggy saja jatuh dari tangga tidak apa-apa—apalagi Woody, mainan kesayangan semua orang di dunia!) .

Woody sedih karena merasa tidak diperhatikan dan disayangi lagi. Tapi menurutku, Woody itu terlalu hiperbolis, seolah-olah dia saja yang paling menderita di dunia ini! Karena stres tidak diperhatikan, Woody mulai melakukan ini dan itu.

Bayangkan, Woody rela menyusahkan dirinya sendiri dan melakukan hal-hal berbahaya. Ia mau bersusah payah masuk ke tas sekolah Bonnie biar tahu Bonnie gembira di hari pertamanya sekolah. Woody juga bersusah payah menjaga Forky, mainan jelek dari sendok garpu plastik yang disayangi Bonnie, supaya tidak kabur ke tong sampah.

Menurutmu, apakah Woody benar-benar tidak cemburu dan melakukannya dengan senang hati? Kalau menurutku, Woody sudah tidak jujur sebagai mainan. Yang lebih mengerikan lagi, Woody rela menukar kotak suaranya hanya untuk menyelamatkan Forky, mainan sendok yang bodohnya minta ampun itu. Aku benar-benar bingung!

Setelah menonton film itu, aku berpikir bahwa menjadi mainan adalah pekerjaan paling sulit di dunia. Tidak ada tandingannya. Mainan harus melakukan banyak hal agar tetap disayangi anak-anak. Mereka harus berusaha keras agar tidak dibuang atau disumbangkan.

Jika ada anak-anak yang nakal dan menyakiti mereka, mereka harus sabar saja. Bahkan ada juga mainan yang mencelakai mainan lainnya hanya untuk menarik perhatian. Sepertinya, jadi mainan itu tidak hanya harus cantik dan bagus, tapi juga harus kuat, banyak akal, dan tidak menyerah.

Yang Lebih Menyedihkan daripada Mainan di Film Toy Story

Tapi, ketika melihat adik sepupuku, aku jadi memikirkan hal lain lagi. Nama adik sepupuku itu Malikha. Umurnya baru empat tahun. Aku memanggilnya bayi-nakal-yang-takut-air-dan-suka-menangis.

Malikha itu tidak suka makan. Maksudku, dia tidak suka makan nasi. Ketika waktunya makan, ayah dan ibunya terpaksa memarahinya. Kadang Malikha sampai muntah. Aku tidak tahu apakah dia muntah karena dipaksa makan atau hanya berpura-pura saja biar tidak disuruh makan.

Waktu ayahnya mau berangkat kerja, Malikha akan menangis sekencang-kencangnya. Ya, sekencang-kencangnya, sampai-sampai telingamu rasanya mau pecah dan kamu mau menutup mulutnya dengan selimut! Dia menangis karena mau ikut ayahnya. Tapi, tentu saja dia tidak boleh ikut. Anak-anak tidak boleh seenaknya ikut semua kegiatan orang tua mereka.

Muka Malikha akan merah karena menangis. Kadang-kadang, sampai muntah. Aku pikir Malikha hanya menyiksa dan menyakiti dirinya sendiri. Tapi Malikha-kan tidak tahu jika dilakukannya itu tidak baik. Dia hanya ingin dekat dengan ayahnya. Sayangnya, orang-orang dewasa harus memarahi anak-anak karena itu. Uh, susah juga, ya?

Jika begitu, sudah pasti jadi mainan seperti Woody belum ada apa-apanya: Jadi anak-anak jauh lebih sulit daripada jadi mainan. Lagi pula, mainan, kan, tidak benar-benar hidup di dunia nyata. Itu hanya terjadi di film, sementara anak-anak hidup tiap harinya. Anak-anak menghadapinya sendirian. Sementara itu, Woody? Ada sutradara, tukang gambar, pengisi suara, dan peran-peran lainnya yang akan membantu.

Maaf saja jika orang dewasa tersinggung, tapi mereka harus mengetahui kenyataan ini: Jadi anak-anak itu tidak selalu mengenakkan dan menyenangkan, apalagi jika orang dewasa sudah menyuruh anak melakukan ini, melakukan itu, menjadi begini, menjadi begitu. Orang dewasa mau agar anak-anak jadi anak yang baik, anak yang patuh, anak yang mendengarkan semua perkataan dan permintaan mereka.

Duh, memangnya anak-anak itu adonan donat?

Menjadi anak-anak itu hal yang paling berat untuk dilakukan. Ya, pasti tidak semua orang akan menerima pendapat ini—maksudku, para orang dewasa. Mereka pasti akan menolaknya. Orang dewasa itu tidak mau dikritik, tidak mau disalahkan, apalagi oleh anak-anak. Orang dewasa itu adalah orang yang selalu benar dan sudah pasti benar di atas dunia ini.

Anak-anak dipaksa bangun pagi-pagi sekali. Kata mereka, agar tidak terlambat ke sekolah. Tapi, mengapa anak-anak harus berangkat ke sekolah? Mengapa ke sekolah harus pagi-pagi sekali?

Mereka akan menjawab, biar kalian pintar. Memangnya mereka tidak bisa mengajar kami di rumah saja sehingga kami tidak perlu bangun pagi-pagi sekali? Mereka bilang, biar kamu tidak terlambat. Memangnya kenapa, sih, jika kami terlambat sampai di sekolah?

Jawabannya, mereka akan malu. Malu dipanggil guru atau kepala sekolah karena kami nakal dan suka terlambat. Tapi apakah mereka tahu jika bangun pagi-pagi sekali itu sangat menyiksa? Mengapa mereka tidak membiarkan saja kami tidur, paling tidak sampai pukul enam atau setengah tujuh dan sekolah dimulai pukul delapan? Apakah ada yang salah dengan jam tangan mereka?

Di sekolah, kami harus belajar banyak hal: Bahasa, Matematika, Olahraga, Kesenian, dan hal-hal lain yang aku pikir tidak perlu. Mengapa kami harus belajar sebanyak itu? Setelah itu, kami juga harus mengerjakan PR. Kami harus les. Lalu, kapan kami bisa bermain dan melakukan hal yang seru?

Mengapa kami tidak boleh belajar apa yang benar-benar kami sukai? Mengapa guru atau orang dewasa tidak pernah menanyakan pada anak-anak soal pelajaran apa yang paling disukai dan mengizinkan kami belajar itu saja? Kami malah disuruh belajar semuanya.

Kami tidak boleh protes. Anak-anak hanya boleh ikut saja. Lalu dapat nilai bagus. Lalu jadi juara kelas. Lalu orang dewasa akan membanggakannya. Apakah orang dewasa tahu jika kami tidak benar-benar menyukai dan menginginkannya?

“Menjadi Anak-Anak” Seharusnya adalah Pekerjaan Terberat Kedua Puluh

Anak-anak harus belajar. Kami harus membaca buku yang banyak. Kami dibelikan banyak buku. Tapi orang-orang dewasa tak banyak yang suka membaca dan belajar. Mereka malah asik bermain handphone, membuka Facebook dan Instagram.

Kata mereka, anak-anak harus jadi pintar. Tapi mereka sendiri lebih suka menjadi tolol dan bodoh. Giliran anak-anak protes dan mau bicara, orang dewasa bilang jika anak-anak itu tidak tahu sopan santun. Menyebalkan sekali!

Anak-anak juga ingin berdiskusi dan mengkritik orang dewasa. Tetapi itu tidak dibolehkan. Akhirnya, anak-anak jadi ikutan tidak peduli pada kesalahan-kesalahan yang dilakukan orang dewasa. Padahal kesalahan itu banyak sekali!

Orang dewasa merasa diri mereka yang terbaik dan tahu segala hal tentang anak-anak. Mereka sering bilang jika anak-anak itu seperti sebuah kertas kosong dan harus diisi. Padahal harusnya, orang dewasa itu tidak seenaknya mencoret-coret kertas kosong itu. Harusnya, mereka mengisinya bersama dengan anak-anak. Tapi orang dewasa pasti tidak akan mengijinkan.

Anak-anak dianggap tidak tahu apa-apa. Padahal, jika anak-anak tidak tahu apa-apa, yang salah adalah orang dewasa. Bukankah mereka selama ini yang bertugas mencoret-coret kertas itu?

Tapi, ingat, anak-anak tidak boleh protes. Jika di Toy Story mainan bisa hidup seperti manusia, di sini anak-anak justru seperti mainan. Diam saja. Tidak boleh mengeluh diapa-apakan orang dewasa. Semua terserah orang dewasa.

Jadi anak-anak itu memang pekerjaan terberat di dunia. Tidak ada tandingannya. Tapi, aku tidak ingin “menjadi anak-anak” benar-benar menjadi pekerjaan terberat di dunia. Aku ingin anak-anak menjadi urutan kedua puluh saja di dalam daftar pekerjaan terberat di dunia.

Apakah boleh?

Exit mobile version