Bid’ah pun Punya Motif Politik

Hikayat-2019 - Mojok.co

MOJOK.CO – Bid’ah tidak selalu bernuansa agama, bisa juga motifnya bersifat politik atau bahkan disengaja oleh sekelompok orang sebagai nada protes.

Hukum kanonik gereja mendefinisikan bid’ah sebagai “kesesatan ajaran yang kukuh dianut seseorang berdasarkan kehendak bebasnya selama rentang waktu tertentu, yang bertentangan dengan kebenaran yang dinyatakan Gereja.”

Adanya bid’ah menimbulkan kebutuhan akan sarana pemberangusannya, baik secara teoritis maupun praktis. Tak kurang-kurang justifikasi yang dipakai untuk membenarkan penganiayaan terhadap sekte manapun yang tidak bersedia mengakui otoritas gereja.

Namun yang menjadi masalah zaman itu adalah begitu beragamnya gerakan bid’ah yang ada, sehingga mustahil mengetahui motif-motif sebenarnya dari tiap-tiap kelompok yang dianggap sesat.

Dalam bukunya, Penghancuran Buku dari Masa ke Masa (2017), Fernando Báez dengan cerkas membayangkan, bahwa pada 1259 muncul kaum bid’ah bernama kaum Flagelan, yang mengabarkan keselamatan kepada mereka yang mencambuk diri sendiri selama tiga puluh tiga hari.

Ada kaum Adamiah yang mencanangkan kembali ke ketelanjangan asali; sekte Bogomili mengagungkan cinta bebas; kaum Kathar menyerukan ajakan untuk kembali ke Maniisme dan menyangkal sakramen; Stadinger membela kebebasan seks secara total; dan kaum Euchite tak mau menolak setan karena setan juga anak Tuhan.

Paus Inosensius III memerintahkan perang suci melawan kaum Kathar. Pasukan gereja tidak hanya membunuh anggota sekte, tapi juga membakar tulisan-tulisan mereka.

Menurut Caesarius dari Heisterbach, di Paris telah diputuskan larangan bahkan untuk membaca buku-buku fisika sekalipun, dan salinan karya-karya David de Dinant serta apa yang disebut kitab-kitab Galia dibakar.

Khotbah-khotbah Imam Arnaud de Bresse dibakar tahun 1155. Karya-karya Amaury de Chartres, pendiri sekte Almaricus, yang berpandangan bahwa Tuhan dan segenap makhluk hanyalah strategi dari kemanunggalan Tuhan sebagai segala dan segalanya sebagai Tuhan, dibakar pada 1215 setelah dia dikecam oleh Paus Inosensius III.

Begitu pula L’évangile éternel, sebuah naskah yang disebut-sebut ditulis oleh Joachim dari Fiore dan para pengikutnya, dimusnahkan pada sekitar 1256.

Marguerite Porete dijatuhi hukuman mati pada 31 Mei 1310 atas tuduhan, salah satunya, menolak kedudukannya sebagai perempuan. Keesokan harinya, ia dibakar di tiang pancang bersama buku-bukunya mengenai cinta mistika.

Salah satu buku itulah khususnya yang menyebabkan ia dihukum mati. Le Miroir des âmes simples et anéanties: et qui seulement demeurent en vouloir et désir d’Amour (Cermin Jiwa-jiwa Sederhana yang Dimusnahkan dan Menyisa hanya dalam Tekad dan Hasrat Cinta). Tahun 1322 Lolar Walter juga dibakar bersama buku-buku yang dia tulis.

Dalam kasus kaum Waldens, para sejarawan mencatat bahwa minimnya dokumen yang tersisa mengenai mereka merupakan akibat dari penghancurannya yang sistematis.

Diinspirasi oleh seorang pastor asketik bernama Peter Waldo, kaum ini (sebelumnya dikenal dengan nama “Orang Miskin dari Lyons”) memerangi kemunafikan Katolik dan kembali menjalani hidup yang serba miskin a la gereja primitif.

Dimulai pada 1160, kaum Waldens mempertanyakan otoritas gereja dan membaktikan hidup mereka untuk mengajarkan Alkitab secara terbuka. Kaum bid’ah ini menulis dalam dialek Provençal dan mengembangkan tafsir-tafsir anyar atas Mazmur serta kedua kitab Perjanjian.

Para pengikutnya diekskomunikasi oleh Gereja dan ditindas dengan durkarsa antara abad ke-13 hingga ke-16. Perlawanan mereka luar biasa, namun berakhir dalam pembantaian.

Titimangsa 5 Juni 1561, San Sixto, sebuah desa dengan 6.000 penduduk diserang dan tulisan-tulisan mereka dibakar. Mereka yang ditangkap disula di tiang pancang dan dibakar tak ubahnya obor.

Bid’ah tidak selalu bernuansa agama, bisa juga politik atau bahkan disengaja. Pada 1328, contohnya, Paus Yohanes XXII memerintahkan pembakaran sebuah buku yang meragukan kuasa gerejawinya:

“Pada waktu itu, dua orang dikutuk oleh paus karena telah menyusun sebuah karya sepanjang delapan jilid yang pudat dengan kesalahan. Mereka berusaha membuktikan bahwa kaisar dapat mengoreksi, menambahkan, dan membuang apa yang dirasanya tepat, dan dengan demikian kitab-kitab gereja berada lebih rendah kedudukannya di bawah kuasa kaisar.”

Sebuah kronik peninggalan Gabriel Peignot, bertanggal 16 Agustus 1463, melukiskan pembakaran sebuah buku ihwal sihir. Setelah mengkaji isinya di Dijon, Jehan Bonvarlet—didampingi imam dan tokoh-tokoh setempat—mengambil keputusan yang tidak bisa diganggu-gugat, sebagaimana tercatat dalam kronik itu: “dan buku ini pun dilempar ke api”.

Si penulis kronik, dengan rasa kimput dan takzim, namun bukan tanpa ironi, menulis bahwa pembakaran buku itu menimbulkan banyak kebingungan di kalangan hadirin.

Pada 23 Mei 1473, sebuah penjara didirikan di luar pintu masuk Gereja Santa Maria di Alcalá de Henares, Spanyol. Tidak lama kemudian De Confessione karya Pablo Martinez de Osma dibakar di situ.

Pedro Martinez de Osma adalah guru besar teologi di Universitas Salamanca, tapi bukunya diarak keliling kota, diludahi, dan lantas dibakar, sesudah penulisnya sendiri diekskomunikasi.


Sepanjang Ramadan MOJOK.CO akan menampilkan kolom khusus soal hikayat dan sejarah peradaban Islam dari sejarahwan Muhammad Iqbal.

Exit mobile version