Dari Sambilegi, nyaris di tepi timur Jogja, saya memancal Wimcycle Milan saya (demikian saya menamai sepeda pancal ala BMX warna merah kekanak-kanakan saya), menyusup di antara mobil-mobil dan bus-bus besar yang berimpitan di antara dua lampu merah paling macet di seantero kota (lampu merah bandara di timur dan lampu merah Ringroad Timur di barat). Dengan sepeda itu, saya membelah Jln. Solo, menuju daerah Baciro, tempat sebuah kantor penerbit besar Jogja berada. Hari itu novel pertama saya turun cetak dan saya adalah seorang bapak yang terburu ingin melihat wajah anak yang telah sangat lama dinantikannya.
Saya baru saja keluar dari status karyawan, dan memulai hidup sebagai pengangguran dengan tabungan lumayan, dan Sambilegi adalah kampung yang “hanya lima menit dari bandara”. Artinya, sebenarnya bisa saja saya memanggil ojek untuk menjemput novel pertama saya dengan lebih cepat. Tapi itu bukan opsi yang menarik.
Saya tak sabar menatap langsung novel yang saya taruhi harta dan takhta—sejujurnya juga wanita—selama enam tahun pengerjaannya. Tapi saya lebih ingin mengenang setiap kayuhan yang saya ambil untuk menjemputnya, seperti saya mengingat setiap kata, setiap kalimat, setiap bagian, yang saya temukan dan membangunnya sebata demi sebata.
Saya tahu saya akan sedikit dikecewakan. (Saya sudah dikirimi perwajahan novel itu, dan saya sudah menyampaikan keberatan-keberatan saya kepada pihak penerbit, dan saya tahu keluhan saya tak mengubah apa pun.) Dan saya memang kecewa ketika akhirnya menatapnya: warna kuningnya, font yang mengekori sebuah novel motivasional yang sedang laris, gambar perempuan berkerudungnya yang memilukan, ukurannya, dan terutama label “berdasar kisah nyata”-nya. Tapi saya merasa sedang melewati fase istimewa dalam perjalanan kepenulisan saya. Saya tak tahu bagaimana seorang penulis merayakan novel pertamanya: saya ini hanya minum kopi dan teh tubruk dan tidak lainnya, tak banyak punya teman, serta membenci nyaris segala jenis pesta. Maka, anggap saja, menjemputnya dengan sepeda kekanak-kanakan setinggi lutut (lengkap dengan helm sepatu rodanya) adalah gestur istimewa saya untuknya.
Ketika keluar dari kantor penerbitan, wajah saya mungkin tak sesangsai perempuan tak dikenal di kulit muka novel pertama saya, tapi saya merasakan berat di dada. Juga di punggung, sebenarnya. Novel itu per eksemplarnya nyaris berbobot sekilo: 400 halaman, ukuran 15 x 23 (layaknya buku 7 Habit Steven Covey), dengan kertas HVS putih 70 gram. Ketika 25 eksemplar novel baru itu saya masukkan ke tas pungggung, saya merasakan bobot seorang kanak-kanak menggelayuti pundak, dan saya mesti membawanya di atas sepeda, menembus kemacetan Jln. Timoho di siang saat bubaran sekolah.
Saya mampir di kos seorang teman di Sapen, melepas lelah dan mencoba berbagi kebahagiaan dengannya—meski sebuah foto di Facebook yang diunggah teman tersebut hampir 11 tahun lalu menunjukkan bahwa saya memang tak sebahagia seseorang yang menggendong novel pertamanya di punggungnya. Saya meninggalkan satu eksemplar untuknya, dan menuntut: “Kamu harus meresensinya!” (Teman itu, seorang penerjemah Foucault yang tak bangga, penulis lumayan yang malas-malasan, akhirnya menulis resensi yang saya tuntut, dan ia satu-satunya orang yang menulis resensi novel itu hingga bertahun-tahun kemudian.)
Bertahun-tahun setelahnya, saya harus akui bahwa saya memang tak berbahagia atas lahirnya buku tersebut. Terlalu banyak saya mengumbar cerita tentangnya, dan nyaris tak ada cerita yang saya sampaikan dengan nada berbinar; semuanya getir dan bergetar—termasuk dalam tulisan ini. Kengototan saya untuk menerbitkannya ulang, bahkan dengan judul yang diubah, juga menunjukkan betapa terganggunya saya dengan apa yang saya lihat padanya. Tapi, oleh karena itu juga, saya punya rasa melindungi lebih terhadap novel ini dibanding novel dan buku-buku saya lainnya. Bagi saya, ia adalah si sulung yang malang, yang rentan, yang akan selalu dengan garang saya bela. Dan saya kira, ia istimewa karena apa yang telah dilewatinya.
Ia bahkan terus terasa sebagai buku pertama saya, meskipun bukan.
***
Bagi saya, buku-buku baru punya cara dikenang yang berbeda-beda. Dan itu membuat satu dengan yang lainnya tak bisa dikacaukan. Semua istimewa pada masing-masing tempatnya.
Sebelum novel pertama itu terbit, saya menulis tak kurang dari selusin buku. Terdiri atas beberapa buku ajar dari beberapa mata pelajaran, tiga cergam, dan beberapa buku proyek. Ya, beberapa dari buku-buku itu memang ingin saya lupakan, tak ingin saya ungkit dan ceritakan, tapi sebagiannya lagi selalu saya syukuri karena saya pernah mengerjakannya.
Menulis sebuah buku ajar dengan membayangkan kepala-kepala kecil dengan mata berbinar yang jadi sasaran pembacanya, memilih kata termudah sekaligus yang paling kuat, tak boleh lebih dari enam kata di setiap kalimat, adalah sekolah menulis yang pasti diimpikan semua pengarang. Membongkar cara penulisan sejarah yang penuh petuah moral, membuang semua kemungkinan untuk membuatnya dihapal, menempatkan semua nama dan peristiwa dan tanggal-tahun seakan sebuah dongengan, yang sepertinya bukan opsi yang dipilih oleh mereka yang menganggap Sejarah sebagai ilmu kurang penting, adalah pengalaman menulis yang mahal.
Semua itu tak akan membuatmu memperoleh perhatian dari Komite Buku, tapi itulah yang saya kerjakan di siang hari ketika di malam harinya saya mengupayakan diri tetap menjadi seorang novelis. Dan saya tetap meyakini, sampai sekarang, apa yang saya kerjakan di siang hari itu, di bawah tatapan mata atasan, punya hubungan erat dengan proses personal dan sendirian ketika saya mengerjakan naskah-naskah awal novel saya di tengah malam. Dan, bisa dibilang, dibanding novel pertama saya, buku-buku ajar pertama saya sampulnya lebih cantik.
Begitu novel pertama terbit, saya sudah mencanangkan untuk membuat buku sepakbola saya. Bukan Ensiklopedia Piala Dunia sebagaimana yang pernah saya impikan saat masih bekerja, cukup sebuah buku berisi sekumpulan anekdot enteng-entengan saja. Dalam dua bulan jadilah dua naskah. Satu naskah saya serahkan kepada seorang bekas rekan sekantor yang memulai usaha penerbitannya, sementara satu naskah saya sorongkan kepada teman lain yang jadi editor di sebuah penerbitan besar di Bandung dan ternyata diterima. Dua buku itu terbit sebelum Piala Dunia 2010, dengan nama orang yang tidak pernah ada di sampul depannya. Buku-buku itu tak memberikan uang sebagaimana yang saya harapkan, tapi setahun kemudian ia memberi saya Belakang Gawang, sebuah wadah yang saya pikir membuat saya berkembang khususnya sebagai penulis sepakbola, namun juga penulis dalam arti keseluruhan. Dan sepuluh tahun kemudian, dua buku enteng-entengan yang tak memuaskan itu memberi dua buku sepakbola yang saya banggakan, yang punya tampilan jauh lebih menyenangkan.
Novel kedua saya, terbit lima tahun setelah novel pertama, juga sebenarnya tak cukup memuaskan untuk saya secara tampilan, meski beberapa pembaca sangat menyukai gambar botol susunya dan saya mesti menghormati itu. Tapi, yang paling saya rayakan melebihi banyak hal, novel ini pada akhirnya terbit—setelah sembilan tahun diperjuangkan untuk ditulis dan satu setengah tahun tertahan di penerbitan. Bahwa ia dilabeli pemenang sebuah sayembara novel di sampulnya, merupakan novel saya yang paling banyak dibaca, dan membuat saya merasa lebih nyaman ketika nama saya dilabeli atribut pengarang, adalah tambahan kecil saja bagi saya.
Buku kumpulan cerpen bergambar kambing berlumut dan bermata kosong—“yang lebih mirip serigala,” kata seorang teman—lagi-lagi tak saya rayakan karena tampilannya, yang sepertinya berubah di detik-detik terakhir. Ia adalah rekaman dan rekapan sebuah proses yang pernah saya lewati, baik sebagai penulis maupun sebagai manusia yang menulis. Ia tak pernah saya banggakan karena saya pernah menulisnya, melainkan karena saya pernah menulisnya dan setelah itu masih terus menulis.
Buku yang betul-betul mendatangkan kebahagiaan ketika menatap kulit mukanya adalah dua buku tentang film India. Saya menulis dengan menggebu tentang betapa saya menyukainya di halaman judul buku kedua. Dan saya punya alasan kuat atas itu. Pertama, buku itu tak pernah terpikirkan untuk dilahirkan: ia berasal dari tulisan-tulisan terserah di sebuah blog film yang hanya mendapat sedikit pembaca; dari gambar wajah, ilustrasi isi, saya terlibat sangat dalam, dan ini adalah privelese yang sangat jarang saya dapatkan.
Sampul buku yang proses penggarapannya tak banyak melibatkan saya, namun berakhir dengan kejutan yang menyenangkan tentu saja adalah novel ketiga saya. Kuat secara dekoratif, tapi terutama secara semiotis. Lagi pula, siapa yang tak bahagia namanya tercetak di sampul novel keren itu?
***
Baru-baru ini saya menerbitkan buku baru. Itu buku baru yang sebenarnya tak baru-baru amat. Ia berisi tulisan-tulisan tentang proses kreatif yang telah saya cicil sejak enam tahun sebelum buku itu terbit. Tulisan itu, sebagian dikondisikan oleh acara seminar atau diskusi, tak pernah direncanakan menjadi sebuah buku sampai kemudian saya mendapati bahwa ada delapan tulisan serupa yang telah saya kerjakan hingga tahun kemarin. Seorang teman mengusulkan untuk menghimpunnya menjadi buku.
Buku bersampul putih itu menyenangkan karena sederhana, tak pretensius, sekaligus berbeda. Ukurannya mungil, dengan tata letak dan bentuk font yang enak dibaca. Dan untuk sebuah buku yang dicetak hanya dalam angka ratusan, sambutannya sungguh menyenangkan.
Namun, tahukah hal yang paling menyenangkan dari kehadiran buku baru saya kali ini? Di antara orang-orang yang memesan secara online, sebagian di antaranya adalah teman-teman lama saya—orang-orang yang saya kenal dan sedikit banyak terlibat dalam kehidupan saya dua puluhan tahun lalu. Punya buku baru dan teman-teman datang memesan bukan hal pertama yang saya alami, tapi kali ini terasa berbeda. Semua orang terasa punya waktu lebih; semua orang terasa lebih mudah dijangkau dibanding masa-masa sebelumnya. Jelas untuk sebagiannya saya bisa merasakan afeksi dan kesan “ikut berbahagia” dibanding ketertarikan yang alami atas buku saya—meskipun itu juga bukan sesuatu yang tabu sebagai alasan membeli buku. Namun, lebih dari itu, saya juga melihat keinginan dari banyak orang untuk memperpendek jembatan jarak dan waktu.
Media sosial dan kecanggihan teknologi komunikasi membuat kita semua bisa terus terkoneksi. Namun, selama ini, hal itu cukup diwujudkan dalam tanda jempol dan tanda hati di status orang lain. Hari-hari ini orang sepertinya ingin lebih jauh menyapa, lebih dalam bercakap, dan lebih banyak menunjukkan rasa peduli. Pandemi dan keharusan orang lebih banyak di rumah dan lebih sedikit di tempat kerja tampaknya menjadi wahananya. Dan buku baru saya, dengan caranya sendiri, melengkapinya.
Begitulah. Seperti yang sudah saya katakan, buku baru selalu memiliki caranya sendiri untuk dikenang. Dan buku saya menemukan caranya sendiri untuk dirayakan kemunculannya.
BACA JUGA Terlambat dan esai Mahfud Ikhwan lainnya di kolom REBAHAN.