Catatan Pendakian Gunung Argopuro: Teror Lolongan Serigala, Geraman Kawanan Genderuwo, dan Malam-malam yang Dramatis

Catatan Pendakian Gunung Argopuro: Teror Lolongan Serigala, Geraman Kawanan Genderuwo, dan Malam-malam yang Dramatis MOJOK.CO

MOJOK.CO – Gue mendaki Gunung Argopuro pada April 2016. Walaupun sudah lama, gue rasa nggak ada salahnya berbagi cerita perjalanan sebelum, selama, dan sesudah pendakian.

Buat kalian yang belum tahu, Gunung Argopuro letaknya di Jawa Timur dengan ketingian 3088 MDPL. Puncak tertingginya adalah Puncak Argopuro. Nggak setinggi Semeru apalagi Rinjani di Lombok. Tapi jangan salah, waktu yang kalian butuhkan untuk mendaki ketiga gunung ini kurang lebih sama. Gunung Argopuro ini punya trek terjauh di Pulau Jawa, yaitu 63 kilometer. Kata orang, sih, mininya Leuser.

Gue dan Iyan membutuhkan waktu enam hari dan lima malam untuk mendaki Gunung Argopuro, yaitu dari tanggal 1 sampai 6 April 2016. Kami hanya berdua saja meski dianjurkan mendaki dalam rombongan minimal lima orang. Saat itu, kami hanya berbekal peta topografi.

Naik Gunung Argopuro via Baderan atau Bremi?

Ada dua jalur yang bisa kalian gunakan untuk mendaki Gunung Argopuro, yaitu jalur Bremi atau jalur Baderan. Biasanya, para pendaki nggak bakal melalui jalur yang sama untuk pergi dan pulang. Apalagi kalau kalian mau ngerasain dua “bonus” yang ditawarin di Gunung Argopuro, yaitu Taman hidup dan Cikasur.

Menurut cerita yang gue baca di Google dan buku, jalur Baderan direkomendasikan sebagai jalur naik, lalu turun di Bremi. Jalur dari Bremi terlalu curam, apalagi jalan menuju puncak setelah melewati hutan lumut. Beh, nggak kuat gue ngebayanginnya kalau naik dari Bremi. Menurut beberapa sumber yang gue baca, jalurnya mirip jalur Linggarjati Gunung Ciremai. Gue dan Iyan sepakat naik lewat Baderan.

Transportasi menuju basecamp Baderan

Kita sepakat buat berangkat bareng dari Stasiun Pasar Senen naik Kertajaya tujuan Surabaya Pasar Turi. Tidak ada persiapan khusus. Pokoknya yakin aja.

Berangkat dari Jakarta sekitar pukul 15.00. Sampai Surabaya Pasar Turi pukul 02.00 dini hari, langsung lanjut ke Terminal Bungurasih naik taksi. Dari Terminal Bungurasih pukul 03.00, menempuh perjalanan dua jam menuju Probolinggo. Kalau lagi nunggu bus di Bungurasih, lebih aman nunggu di gapura Jalan Raya Waru.

Lanjut naik bus ekonomi bumel non AC tujuan Banyuwangi via Situbondo. Nanti kalian bilang turun di Besuki. Supirnya udah paham bakal nurunin kalian di mana. Ya biasanya turun di Alun-Alun Besuki.

Kami sampai di alun-alun Besuki sekitar pukul 07.00. Perjalanan ke Baderan naik ojek dengan ongkos Rp30 ribu. Sekitar pukul 09.00, kami sampai di Basecamp Pendakian Argopuro dan bertemu Bapak Samhaji.

Di basecamp ada peta topografi Gunung Argopuro yang gue foto untuk bekal perjalanan. Kami membawa perbekalan makanan untuk 10 hari. Untuk air bisa kami dapatkan dengan mudah di mata air yang banyak terdapat di Gunung Argopuro.

Hari 1: Awal perjalanan

Kami memulai perjalanan pukul 11.00 siang naik ojek sampai pintu masuk hutan. Target kami langsung sampai padang savana Alun-Alun Kecil. Awal jalur pendakian Gunung Argopuro tidak terlalu berat karena masih bisa dilalui motor hinga Cikasur.

Kami sepakat menghindari perjalanan malam. Udah bukan rahasia lagi kalau Gunung Argopuro menyimpan banyak hal menyeramkan. Mulai dari yang nyata sampai yang entah. Kalian bisa saja diterkam macan, atau hewan buas lainnya, dan bisa juga kalian bertemu dengan yang… itu.

Pukul 13.00 siang, kami sampai di Pos Mata Air 1. Kami istirahat dan makan siang, kemudian mengambil air untuk bekal minum.            Pukul 15.00, sampai di Pos Mata Air 2. Kami rebahan sebentar. Pukul 15.45, kami jalan lagi menuju savana Alun-Alun Kecil.

Pukul 16.50, kami sampai di savana Alun-Alun Kecil dan mencari lokasi untuk mendirikan tenda. Tidak lama, kami mendengar suara manusia dari kejauhan. Ternyata mereka rombongan yang tengah berburu burung. Yang saya bingung adalah cara berjalan mereka cepat sekali. Cerita-cerita seram di Gunung Argopuro mulai terbayang. Namun, gue mencoba untuk tidak terlalu memikirkannya. Masa bodoh, gue mau istirahat.

Selesai mengisi air untuk perbekalan, gelap mulai turun. Suara-suara aneh mulai terdengar. Salah satunya suara auman macan. Gue berinisiatif untuk mendengarkan lagu dari hape untuk mengalihkan suara-suara yang memang agak mengganggu. Setelah itu kami langsung tidur biar nggak banyak pikiran.

Hari 2: Menuju Cikasur!

Sekitar pukul 9 pagi, kami menuju Sungai Kalbu, lalu makan siang di Cikasur. Walaupun udah berbekal GPS, tetap saja yang namanya hutan dan savana yang luas membuat kami bingung. Jalan setapak saja rasanya kayak buka jalan setapak. Kami sempat tersasar beberapa kali. Semua jalan rasanya jadi benar. Memang aneh benar.

Singkat kata, kami tiba di savana Alun-Alun besar, salah satu tempat terindah di Gunung Argopuro selain Cikasur. Patokan kami cuma jalan setapak sebagai penanda jalur.

Jalan setapak jalur Gunung Argopuro.
Jalan setapak jalur Gunung Argopuro.

Setelah menuruni bukit, kami disambut dataran luas penuh ilalang. Yang bikin kami terkejut adalah adanya kotoran hewan. Artinya, daerah ini merupakan daerah “hunian” macan di Gunung Argopuro. Kami, sih, ngiranya gitu. Rasanya makin deg-degan.

Ketika sampai Sungai Cikasur, gue meliat aktivitas penduduk lokal yang sedang memuat selada air. Gue mikir kok bisa motor sampai sini, padahal pas di jalan kami nggak ketemu mereka.

Penduduk sedang memanen selada air. Gimana ya caranya mereka bisa sampai ke sini.

Gue sampai bingung, kemudian make sure warga. Ternyata mereka lewat jalur yang sama. Kenapa kami sampai tidak mendengar suara motor mereka. Warga yang mendengar keheranan gue cuma tersenyum. Aduh, ya sudah, skip saja daripada kami jadi berpikiran buruk.

Di Cikasur terdapat bangunan yang bisa kalian tempati untuk sementara. Namun, kayaknya lebih baik mendirikan tenda saja di dekat bekas benteng atau bandara yang sekarang jadi pos. Ketika kami sampai di sana, tempatnya sudah tidak terawat.

Bangunan di mana noni Belanda setengah kuda pernah menampakkan diri.

Konon, di bangunan ini sering terlihat hantu noni Belanda dan noni setengah kuda. Sudah jelas, kami nggak mungkin istirahat di dalam bangunan. Seram.

Kami mendirikan tenda agak menjauhi bangunan. Malamnya, Iyan kebelet pipis. Karena terlalu takut untuk mencari tempat tertutup, Iyan pipis di depan tenda. Malam itu, suara-suara aneh kembali terdengar. Yang sering kami dengar adalah suara auman macan dan lolongan serigala.

Serigala? Iya. Kami nggak tahu itu serigala betulan atau… ah sudah. Sebelum tidur lagi, gue nyuruh Iyan untuk menutup kuping pakai tisu supaya tidak terganggu suara-suara hewan.

Hari 3: Savana Cikasur milik kami berdua

Pukul 06.00 pagi, gue bangun untuk melihat keluar tenda. Masya Allah indah banget. Saat bersantai, tiba-tiba kami mendengar suara teriakan orang. Wah ada yang naik Gunung Argopuro. Kami sudah senang karena berharap bisa ikut rombongan.

Setelah memeriksa, ternyata anggota TNI lagi dalam masa pendidikan. Gue bergegas pergi ke atas ke savana untuk ngobrol dengan salah satu tentara. Ternyata mereka berangkat dari Bali, berenang menyeberangi Selat Bali, lalu jalan kaki hingga Surabaya melewati Gunung Argopuro. Keren banget! Mereka Cuma dua hari satu malam di Gunung Argopuro. Target mereka istirahat di Cisentor.

Rombongan anggota TNI sedang pelatihan di Gunung Argopuro.

Malam harinya, kami sudah menyiapkan tisu untuk menyumpal telinga. Maklum, malam di Gunung Argopuro kembali terasa mencekam. Suara hewan terdengar bersautan. Satu kejadian yang bikin makin mencekam adalah suara lolongan serigala kembali terdengar.

Selama baca-baca soal Gunung Argopuro, gue nggak pernah dapat info soal serigala. Yah, kami berdua cuma bisa berdoa dan pasrah. Tisu kami sumpalkan ke telinga dan tidur adalah pilihan paling benar.

Namun, mencekamnya malam semakin menjadi ketika kami mendengar suara tangisan perempuan. Padahal telinga sudah kami sumpal pakai tisu dan lagu dari hape kami putar sepanjang malam. Suara tangisan itu kayak nempel di telinga. Pokoknya kami berdua berusaha sekuat tenaga untuk tidur dan nggak mikirin gangguan ini.

Hari 4: Keluar dari zona nyaman

Pukul 05.30, gue terbangun dan langsung menyiapkan sarapan. Hari ke-4 mendaki Gunung Argopuro, kami akan menuju padang savana Lonceng. Kami sepakat untuk nge-camp di sana karena udah dekat puncak Gunung Argopuro.

Jujur, meski Cikasur ini menyeramkan banget kalau malam, gue merasa nyaman dan betah. Alamnya indah, suasananya tenang.

Setelah packing selesai Pukul 09.00, kami bergegas menuju Pos Cisentor. Setelah menanjak bukit, kami kembali dibuat takjub oleh keindahan Cikasur. Landasan pacu bekas Belanda masih terlihat garis lurusnya.

Perjajalanan menuju Cisentor diwarnai pepohonan yang lebih rapat. Di sini, banyak kawanan monyet hitam bergelantungan seperti menyambut kami. Untungnya saja jaraknya agak jauh. Kami juga sering ketemu tanaman jancukan. Kalau kulit tergores daun itu, rasanya sangat panas.

Nah, di jalur ini, kami kembali bertemu rombongan pemburu burung. Kami sempat ngobrol dengan mereka. Gue tanya-tanya kok mereka bisa sampai sini, berangkat kapan dan darimana.

Mereka bilang dari Baderan. Terus gue berpikir lagi. Kapan mereka lewat Cikasur. Padahal, kalau lewat jalur Cikasur, harusnya kami ketemu. Gue dan Iyan makin merasa aneh sama mereka. Oleh sebab itu, kami nggak mau lama-lama di sana. Kami segera menuju Cisentor.

Rombongan pemburu burung. Ada yang aneh, tapi gimana ya….

Sampai di Cisentor, kami disambut mata air yang melimpah. Sungainya jernih banget. Pas sampai di sungai ini, gue dan Iyan kembali dengar suara lolongan serigala. Karena udah beberapa kali mendengarnya, kami jadi “agak kebal”. Pikir gue, ah mungkin bener, di Gunung Argopuro ada serigala.

Pukul 15.00, kami lanjut lagi menuju Lonceng untuk nge-camp. Setelah melewati Cisentor, kami mulai mendaki menuju Rawa Embik. Jalurnya menanjak, tapi nggak terlalu curam.

Pukul 16.00, kami tiba di Rawa Embik. Di sini gue mengisi air sebanyak-banyaknya karena akan bermalam di Lonceng.

Pukul 16.30, kami menuju Lonceng dan sampai sebelum Maghrib.

Pukul 17.00 lebih, tenda sudah berdiri. Di sini banyak angin dan lebih dingin. Setelah Maghrib, gue langsung menyalakan lagu lagi.

Baru Maghrib saja suasananya sudah mencekam. Jadi, selama mendaki Gunung Argopuro, kami sama sekali nggak pernah mendengar suara azan. Kamu tahu, yang kami dengar adalah suara auman macan, lolongan serigala… dan kini suara hajatan. Kayak acara dangdutan begitu. Untungnya, malam itu, kami terlelap dengat cepat karena sudah kelelahan.

Hari 5: Berharap bertemu pendaki lain dan malam yang dramatis

Pukul 05.30 pagi kamiu sudah bangun dan siap summit attack ke Puncak Rengganis. Kita menyiapkan daypack berisi barang-barang penting serta makanan dan minuman. Tenda ditinggal di Lonceng. Kami berjalan menuju timur, yaitu ke arah bukit sebelah kiri. Aroma belerang mulai tercium.

Puncak Rengganis. Di sini, pemandangannya indah banget.

Pukul 06.00 pagi, kami sudah sampai di Puncak Rengganis. Saya sempat kaget melihat sesajen di plang Puncak Rengganis. Iyan sendiri dikagetkan oleh suara auman macan. Suara yang akrab di telinga kami selama pendakian Gunung Argopuro. Masih pagi saja sudah banyak kejadian aneh.

Untung saja, pagi itu, semua lelah terbayar oleh keindahan pemandangan dari Puncak Rengganis. Kami agak lupa dengan semua gangguan suara selama pendakian.

Pemandangan dari Puncak Rengganis.

Dari Puncak Rengganis, terlihat Pegunungan Ijen dan Gunung Raung. Puncak Rengganis adalah puncak terindah di Gunung Argopuro. Selesai berfoto, kami kembali ke Lonceng untuk menuju Puncak Gunung Argopuro yang berada di sebelah barat. Jalur ke Puncak Gunung Argopuro ini cukup curam dan sempit.

Kami berjalan agak cepat. Pukul 08.00 pagi, kami sampai di Puncak Gunung Argopuro yang ditandai dengan tumpukan batu dan pepohonan yang menjulang tinggi. Kami tidak lama di sini dan segera bergeser ke Puncak Hyang atau Arca. Di sini, gue menemukan arca kecil tanpa kepala.

Setelah puas berfoto, kami memutar menuju selatan, yaitu ke ujung savana Lonceng, di persimpangan jalur menuju Hutan Lumut. Siangnya kami kembali ke tenda untuk makan siang.

Setelah sampai tenda, gue langsung masak untuk perbekalan turun gunung. Selesai makan, kita packing dan menuju Danau Taman Hidup via Lonceng dan Hutan Lumut. Ketika baru melangkah 50 meter, kita mendengar suara pendaki dari arah Rawa Embik.

Tentu kami senang ketemu rombongan pendaki lain. Mereka berdelapan adalah rombongan dari Surabaya. Ketika ngobrol, mereka heran karena kami cuma berdua saja. Padahal, untuk mendaki Gunung Argopuro, disarankan dalam kelompok berjumlah lima orang. Yah, gue akui, kami memang modal nekat saat itu.

Suasana di Alun-Alun Lonceng.

Pukul 16.00, kami bersama rombongan turun menuju persimpangan Puncak Arca dan arah ke Hutan Lumut. Jalur semakin curam. Kita turun dengan meloncat. Gue sama Iyan memang terbiasa turun gunung dengan cara seperti itu. Lagian kami berdua sangat menghindari perjalanan malam. Maka dari itu, kami pengin bergerak cepat.

Pukul 17.00, kami berdua sampai di Cemara Lima, jalur pertemuan Cisentor dan savana Lonceng. Lantaran rombongan dari Surabaya tertinggal jauh di belakang, kami sepakat untuk menunggu 30 menit supaya bisa berjalan beriringan. Gue sama Iyan kurang paham jalurnya.

Setelah 30 menit berlalu, rombongan tidak kunjung terlihat. Kami berdua juga  nggak lagi mendengar suara mereka. Tandanya, mereka masih jauh. Akhirnya kami memutuskan untuk jalan kembali menuju Hutan Lumut karena hari sudah semakin gelap dan gerimis. Gue berinisiatif untuk melihat peta. Danau Taman Hidup harusnya nggak jauh dari Cemara Lima.

Kabut mulai turun. Hujan deras menyusul dan gangguan koloni genderuwo dimulai.

Sekitar pukul 17.30, kami jalan kembali. Jalurnya sudah nggak terlalu curam, tapi tertutup alang-alang tinggi. Lantaran sudah semakin gelap, gue jalan sambil meraba-raba. Inilah alasan kami menghindari perjalanan malam. Selain suasana yang jadi mencekam, perjalanan jadi berbahaya karena kami berdua nggak pajam jalurnya.

Dan terjadilah salah satu peristiwa yang bikin saya ketakutan. Ketika keadaan makin gelap, hujan turun makin deras. Kami memutuskan untuk break mengambil headlamp di dalam tas.

Saat berusaha mengambil headlamp, suara-suara aneh kembali datang. Kali nggak cuma auman macan atau lolongan serigala, tapi suara yang bikin gue kaget setengah mati. Dari kegelapan di sekitar kami, terdengar geraman, bukan hewan, tapi “manusia”.

Suara geraman itu seperti mengelilingi kami. Suaranya terdengar berat. Itu jenis suara yang belum pernah gue dengar sebelumnya. Bayangan dikelilingi genderuwo terlintas di pikiran kami berdua. Jantung gue serasa mau copot. Celakanya, headlamp kami berdua nggak mau nyala.

Kami nggak mau buang waktu dengan menyalakan headlamp. Kami berdua segera kabur.

“Lo denger suara tadi, kan?” Gue nanya Iyan sambil lari.

“IYA!” Teriak Iyan sambil berlari juga.

Kami berdua berusaha untuk nggak terpisah. Makin bahaya kalau terpisah dan ujungnya tersesat sendirian. Saat itu, kami sadar kalau kami masuk Hutan Lumut. Tandanya, banyak alang-alang tinggi dan tanaman jancukan.

Setelah sekitar 100 meter berlari mengikuti insting, setelah suasananya lebih kondusif dan tidak terdengar lagi suara itu, kami memutuskan untuk break lagi.

Sekali lagi, kami mencoba menyalakan headlamp. Anehnya, kali ini, headlamp kami menyala dengan mudah. Setelah mengenakan jas hujan, kami berjalan perlahan. Pakaian kami sudah basah kuyup. Kami kedinginan.

Lokasi gue dan Iyan dikepung koloni genderuwo. Suasana sebelum gelap.

Pukul 20.00, kami break lagi di tempat yang agak luas. Kami bingung setengah mati. Danau Taman Hidup harusnya nggak jauh. Tapi kok rasanya nggak sampai-sampai. Kami benar-benar salah karena terpisah dari rombongan Surabaya itu.

Lantaran nggak akrab sama jalurnya, harusnya kami menunggu. Tidak seperti ini. Memisahkan diri dan hanya bisa pasrah. Kejadian di tepi Hutan Lumut tadi sangat mencekam, apalagi kini jalurnya menurun dan curam.

Pada detik itu gue baru sadar. Mana mungkin danau ada di lokasi yang curam begini. Sudah pasti kami tersesat karena mengambil jalur yang salah. Jalur yang malah menuntut kami ke rumah “koloni genderuwo”.

Ketimbang makin tersesat, pada pukul 20.30, kami berhenti di plang pintu masuk Taman Nasional Gunung Argopuro. Kami mendirikan tenda di sini. Hujan sudah tidak lagi deras, tapi hawa dingin makin terasa. Lelah, ketakutan, dan kedinginan. Kami tertidur dengan cepat.

Hari 6: Mencari Danau Taman Hidup, menuju Bremi

Pukul 04.30 subuh, gue terbangun karena mendengar suara motocross. Ini apa lagi coba. Mana mungkin ada motocross di tepi hutan begini. Masih lelah, saya balik tidur lagi.

Pukul 06.00 kami berdua terbangun. Hujan sudah reda. Pagi itu cerah, tak ada kabut atau awan mendung. Kami membereskan tenda dan bergegas mencari Danau Taman Hidup. Kami nggak mau lama-lama di sini. Seram.

Selesai packing, baru angkat tas carrier, Iyan mendengar suara auman macan lagi. Terus dia nanya ke gue:

“Lo denger suara macan lagi ga?”

Gue jawab enggak karena yang gue dengar malah suara kicau burung. Kacau benar tempat ini. Gue naik ke pohon yang sudah rubuh. Dari lokasi yang agak tinggi, gue bisa mendengar suara orang mengobrol.

Ternyata, Danau Taman Hidup sudah dekat. Namun, malam tadi, kami malah belok kanan di jalur Hutan Lumut ketika seharusnya belok kanan. Pantas saja.

Kami mendekati suara itu dan akhirnya ketemu rombongan Surabaya lagi. Kami langsung menceritakan kejadian semalam. Ternyata, rombongan itu juga mengalami peristiwa mistis. Malam tadi, salah satu anggota rombongan dari Surabaya melihat sesosok perempuan di tepi Danau Taman Hidup.

Namun, ketika dipanggil, perempuan itu tidak menengok. Ketika kembali ke tenda, teman-temannya sudah tertidur lelap. Padahal, ketika ditinggal pipis, teman-temannya masih bangun. Karena nggak tahu harus bagaimana, kami cuma tertawa saja. Salah dari rombongan Surabaya nyeletuk, “Welcome to Argopuro.” Gue cuma bisa meringis.

Kemudian gue tanya, apakah mereka ketemu orang naik motor tadi pagi. Mereka tidak tahu ada yang naik motor sampai danau. Mereka tidak mendengar suara itu. Gue sama Iyan cuma bisa saling pandang aja.

Setelah sarapan, gue sama Iyan pamit untuk turun duluan. Rombongan dari Surabaya itu masih ingin berenang di danau. Untuk menuju Bremi dari Taman Hidup, kami harus kembali ke pertigaan yang kemarin kami lewati dan mengambil jalan yang agak menanjak sesuai petunjuk tali rafia merah.

Pukul 11.00, kami sampai di simpang pohon tumbang, kemudian gue berinisiatif menuliskan kertas yang dimasukan ke dalam plastik. Kertas itu adalah penunjuk arah bertuliskan “Danau Taman Hidup <<<<<<.” Yah, gue ngeri aja kalau ada yang tersesat kayak kami terus dirubungi sama genderuwo.

Gue masang penanda biar nggak ada yang tersesat dan masuk wilayah koloni genderuwo.

Pukul 11.30, kami mengejar waktu untuk segera sampai di Bremi. Iyan udah nggak sabar pengin ngontak pacarnya.

Trek saat itu nggak terlalu gimana-gimana banget karena kami udah kenyang merasakan trek Gunung Argopuro yang benar-benar menghajar kami saat turun dari puncak. Perjalanan hari terakhir begitu nyaman dan damai. Hingga di satu titik kitamulai melihat perkampungan lengkap dengan ladang-ladangnya. Kami pun makin semangat untuk segera sampai di sana meskipun memang kalau dilihat-lihat masih sangat jauh.

Jalur turun Gunung Argopuro banyak diwarnai pohon tumbang. Di jalur ini banyak percabangan jalur yang dapat membuat pendaki tersesat. Banyak jalur aliran air, ada pedanda ranting, dan kami paham harus ikuti jalur yang agak lebar dan ada sampahnya.

Pulang.

Satu jam berjalanan dari Taman Hidup, kami mulai memasuki area Hutan Damar. Hujan deras kembali turun. Pepohonannya di sini tersusun rapi, menandakan hutan itu adalah hutan buatan. Sampai di situ, kami belum menjumpai penduduk sama sekali.

Hingga memasuki ladang, akhirnya kami bertemu dan bertegur sapa dengan petani. Kita sujud syukur melihat kehidupan desa walaupun saat itu hujan deras. Kami  bahagia sekali. Iyan buru-buru mengabari pacarnya. Setelah kurang lebih berjalan dua jam dari Taman Hidup, kami sampai di Dusun Bremi.

Alhamdulillah, kami bisa langsung istirahat di Basecamp Pak Arifin dan memesan makanan. Ketika mengaso, kami bercerita kepada Pak Arifin tentang apa yang kami alami selama pendakian karena beliau kaget kami hanya berdua saja.

Setelah Iyan pulang duluan ke Jakarta naik pesawat, tidak lama, rombongan Surabaya tiba. Kami mengobrol bersama Pak Arifin lagi. Kami saling bercerita tentang pengalaman di Gunung Argopuro, terutama berbagai gangguan suara yang mengiringi gue sama Iyan.

Pak Arifin juga menceritakan tentang berbagai mitos hingga legenda tentang Gunung Argopuro. Saat itu saya baru tahu ada yang sudah puluhan tahun bertapa di Gunung Argopuro. Namun, Pak Arifin tidak boleh memberitahu lokasinya.

Malamnya, kamu semua pamit kepada Pak Arifin. Kami menyewa mobil untuk menuju Probolinggo, lalu lanjut naik bus ke Surabaya. Gue kenalan dengan orang-orang baru, lalu mendapat saudara baru dari Surabaya. Waktu itu, gue pulang ke Jakarta naik pesawat, tiketnya saat itu masih Rp300 ribuan. Naik Sriwijaya Air dan tiba dengan selamat di Jakarta pada 8 April 2016.

Gunung Argopuro nggak cuma menawarkan keindahan alam. Lebih dari itu. Kekayaan sejarah dan budaya turut disajikan dengan beragam misteri dan mitos-mitosnya yang makin mewarnai pendakian. Sebuah pengalaman yang mengesankan.

Salam Pendaki! Salam Lestari!

BACA JUGA Hilang di Gunung Salak, 3 Jam Kemudian Ditemukan Sedang Menari di Bibir Jurang Sambil Nyinden dan pengalaman mencekam di gunung lainnya di rubrik MALAM JUMAT.

Exit mobile version