Sumur Tua di Belakang Rumah yang memikat Orang untuk Bunuh Diri

Sumur Tua yang memikat Orang untuk Bunuh Diri MOJOK.CO

Ilustrasi Sumur Tua yang memikat Orang untuk Bunuh Diri. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COSumur itu seperti mempunyai magnet. Menarik orang untuk mendekat dan bunuh diri dengan menceburkan diri. Misteri yang tak terpecahkan hingga kini.

Dua rumah itu menempel satu sama lain. Sebagai sumber air, keduanya berbagi satu sumur. Airnya bagus, tidak pernah habis atau menjadi dangkal, bahkan di musim kemarau yang keras. Masalahnya, sumur itu seperti mempunyai magnet. Menarik orang yang sedang tidak “lurus” untuk terjun ke dalamnya; bunuh diri.

Sebenarnya, dahulu, dua rumah itu adalah satu bangunan. Namun, oleh pemiliknya yang tidak lagi mukim di Jogja, dibagi menjadi dua untuk dikontrakkan. Rumah sisi kiri ditempati oleh sebuah keluarga yang tertutup dan konon mengidap gangguan jiwa. Sementara itu, sisi kanan digunakan sebagai tempat jasa. Saya tidak boleh menyebutkan jenis usahanya karena akan dapat dengan mudah diidentifikasi oleh pembaca yang akrab dengan daerah di sekitar sebuah stadion.

Mundur jauh ke belakang, sebelum rumah itu dibagi menjadi dua, ada sebuah keluarga yang menghuninya. Bukan, keluarga ini bukan pemilik sah. Saya dan keluarga tidak begitu tahu asal-usul keluarga tersebut. Satu hal yang pasti, keluarga itu sudah mukim di sana sejak zaman buyut masih ada.

Keluarga tersebut dari satu keluarga inti berjumlah lima orang; orang tua dan tiga anak. Selain itu, ada sepupu mereka yang ikut mukim di sana. Mereka mempunyai kebiasaan untuk duduk meriung di sekitar sumur itu untuk mengobrol sampai melakukan kegiatan sehari-hari seperti memasak dan mencuci. Tetangga bisa melihat aktivitas mereka karena tembok belakang rumah pendek saja, tidak seperti sekarang yang sudah ditiunggikan.

Kasus percobaan bunuh diri yang pertama terjadi tidak lama setelah si sepupu mulai ikut tinggal di sana. Sebuah kejadian yang menggegerkan satu kampung.

Kasus bunuh diri pertama

Si sepupu ini bernama Kelik. Tentu saja bukan nama sebenarnya. Usianya baru awal 30 tahun kalau saya tidak salah mengingat. Sebagai pendatang, Kelik sangat mudah akrab dengan pemuda setempat. Dia selalu punya tabungan tema untuk membuka obrolan dengan orang yang baru ditemui. Dia cukup kuat minum alkohol. Sifat yang membuatnya langsung disukai para pemuda.

Namun, kalau sudah mulai mabuk, Kelik suka meracau. Para pemuda zaman itu menganggapnya sebagai hal yang wajar. Orang mabuk memang suka menunjukkan perilaku yang terbilang ajaib. Anehnya, racauan Kelik ya itu-itu saja. Soal penunggu sumur, seorang perempuan yang masih remaja, dengan senyum menggoda. Si penunggu ini, kata Kelik, sering bilang kalau air di dalam sumur itu ajaib dan bisa menyembuhkan banyak penyakit dan kesusahan hidup.

Yah, tidak ada yang menyangka kalau racauan itu sebetulnya penanda ketakutan Kelik. Lantaran dibalut dengan kondisi mabuk, tidak ada yang menganggapnya serius. Apalagi, sebelumnya, tidak pernah ada cerita seram dari rumah dan sumur tua di belakangnya. Semuanya baik-baik saja sampai Kelik melompat ke dalam sumur itu untuk bunuh diri.

Percobaan bunuh diri Kelik ini sungguh dramatis. Kejadiannya di siang bolong dan banyak saksi.

Tetangga samping dan belakang rumah bisa melihat kejadian horor itu. Kelik berlari dengan cepat, naik ke bibir sumur, dan melompat ke dalam. Konon, ada yang melihatnya menangis ketika melakukan percobaan bunuh diri itu. Saya sebut “percobaan” karena Kelik berhasil diselamatkan.

Baca halaman selanjutnya

Pengakuan Kelik

Warga langsung menghambur ke sumur tua itu. Para pemuda mengikat dirinya menggunakan tali tampar yang panjang dan kuat. Mereka mengerek Kelik ke atas. Terlambat sedikit, Kelik pasti meninggal mengingat dia tidak bisa berenang dan bisa jadi mati tercekik oleh gas di dalam sumur. Mengerikan.

Beberapa jam kemudian, di rumah sakit, Kelik akhirnya sadar. Perwakilan keluarga menunggu di dalam, sementara para pemuda berjaga di luar. Setelah bisa berkomunikasi, Kelik menceritakan detik-detik kejadian percobaan bunuh diri yang dia lakukan. Semua yang hadir mendengarkan dengan tegang.

Siang itu, Kelik baru selesai makan lalu berbaring di ruang depan. Ketika berada dalam kondisi setengah sadar sebelum tertidur, kaki Kelik dipegang oleh anak perempuan yang katanya menunggu sumur tua itu. 

Seketika Kelik merasa sangat sedih dan ingin menemani si anak perempuan itu. Perasaan itu sangat kuat dan dia tidak sadar sudah berdiri di pintu belakang rumah. Dia bisa melihat si anak perempuan itu melompat ke dalam sumur. Niat awal Kelik adalah mencegah anak perempuan itu untuk “bunuh diri”. Namun, yang akhirnya dia sadari adalah dirinya ikut menceburkan diri ke sumur.

Setelah sadar dan diizinkan pulang, Kelik lebih banyak di luar rumah. Seakan-akan dia takut untuk pulang. Bahkan pernah dia menginap di pos ronda selama beberapa hari. Di lain kesempatan, dia tidur di balai-balai di depan rumah tetangga. Kami tahu kelik ketakutan, tapi dia tidak bisa menceritakan ketakutan itu. Iya, dia merasa tidak bisa, bukannya tidak ingin.

Kejadian bunuh diri kedua

Dua bulan kemudian, Kelik memutuskan untuk pergi. Kami dengar dia pergi ke Sumatera untuk bekerja di perkebunan sawit yang baru buka. Di satu sisi kami kehilangan sosok yang pintar mencari tema obrolan. Namun, setidaknya, kejadian horor percobaan bunuh diri tidak akan terjadi lagi. Setidaknya itulah prediksi kami. Kalau sudah begini, pembaca pasti tahu kalau prediksi kami salah.

Tepat dua bulan setelah kejadian Kelik, percobaan bunuh diri terjadi lagi. Kali ini kepala keluarga. Namanya Pak Ateng, usianya baru saja menginjak 60 tahun. Tidak ada yang tahu kejadian nahas itu. Sore hari, selepas pukul lima, jasadnya diangkat dari dalam sumur. Konon, setelah pemeriksaan, diketahui Pak Ateng sudah meninggal sejak siang.

Tangis duka langsung pecah. Pagi harinya, Pak Ateng sempat bilang ke istrinya akan pergi selama beberapa jam untuk membantu orang. Istrinya merasa aneh, tetapi tidak bertanya lebih lanjut. Dia mengira Pak Ateng mau membantu tetangga atau sedang ada hajat di kampung yang dia tidak tahu. Pamitan Pak Ateng pagi itu ternyata menjadi pamitan untuk selamanya.

Semenjak kematian Pak Ateng, keluarga itu menjadi lebih banyak murung. Kelik sendiri tidak pernah bisa dikontak lagi, apalagi kembali ke kampung saya. Beberapa tahun kemudian kami mendengar kabar kalau Kelik tidak pernah sampai ke Sumatera. Jejaknya menghilang sebelum menyeberangi Selat Sunda.

Keluarga yang menghilang

Tidak lama kemudian, setelah peristiwa bunuh diri itu terjadi, keluarga Pak Ateng pergi satu per satu. Tidak ada yang berpamitan kecuali istrinya. Padahal, tiga anak Pak Ateng juga cukup dekat dengan para pemuda. Apakah hanya karena malu? Padahal, warga kampung sudah berusaha sekuat tenaga untuk tidak bergosip soal kejadian bunuh diri itu. Warga juga selalu membantu keluarga itu sebisa mungkin. Mulai dari menyumbang sembako sampai mengirim masakan.

Istri Pak Ateng berpamitan hanya kepada Pak RT. Katanya, dia akan pulang kampung ke sebuah daerah di Jawa tengah. Istri Pak Ateng menggunakan kata ganti “saya”, bukan “kami” yang merujuk ke anak-anaknya. Dia juga tidak mau menjawab ketika warga bertanya ke mana anak-anak Pak Ateng.

Kami menganggap mereka sebagai “keluarga yang hilang”. Jejak Kelik tidak terlacak, anak-anak Pak Ateng menghilang tanpa pamit, dan istrinya ternyata tidak pernah sampai ke kampung halaman. Satu minggu setelah kepergian keluarga itu, keluarga istri Pak Ateng datang. Niatnya ingin menjenguk, tetapi justru kehilangan jejak.

Membagi rumah menjadi dua

Selama kurang lebih satu tahun, rumah yang lumayan jembar itu kosong. Hingga si pemilik rumah yang sangat jarang pulang membagi rumah itu menjadi dua. Warga tidak ada yang tahu alasannya. Mungkin dengan membagi menjadi dua, keuntungan dari kontrakan akan bertambah. Benar saja, tidak lama setelah memasang iklan rumah disewakan, ada pengontrak yang masuk.

Yang pertama masuk adalah pasangan suami-istri yang hendak menjadikan kontrakan itu sebagai ruang usaha dalam bentuk jasa. Maafkan saya yang tidak boleh menceritakan jenis jasa yang akhirnya berjalan karena pada masanya, tempat tersebut cukup terkenal.

Sementara itu, penghuni di sisi kiri datang begitu saja. Warga mengenal keluarga ini sebagai keluarga yang agak bermasalah. Bahkan, beberapa tahun kemudian, sang ibu divonis mengidap gangguan jiwa. Sementara anak-anak mereka pergi satu per satu. Mereka juga terkadang menunjukkan gelagat aneh. Misalnya si anak laki-laki sering ketahuan memperhatikan orang yang lewat dengan tatapan tajam, tetapi seutas senyum tersungging di bibirnya. Usianya masih masuk remaja kala itu.

Percobaan bunuh diri terjadi lagi

Setelah pasangan suami-istri penyedia jasa itu menjadi cukup terkenal, warga sudah melupakan kejadian horor beberapa tahun silam. Sementara penghuni di rumah sebelah kiri dianggap sebatas keluarga yang bermasalah saja. 

Sebuah tragedi yang dilupakan memang tidak bagus. Tragedi harus selalu diingat untuk kemudian didoakan sekaligus dicegah semoga tidak lagi terjadi.

Si anak dari rumah sebelah kiri menghilang. Warga menduga ini hanya kenakalan semata, seperti yang sudah-sudah. Namun, satu hari kemudian, si anak ini tidak kunjung pulang. Si ibu panik dan meminta bantuan warga untuk ikut mencari. Begitu kepanikan itu menular, banyak yang lantas curiga dengan sumur tua yang sebetulnya sudah ditutup menggunakan gipsum tipis.

Siang harinya, warga membongkar gipsum tipis itu. Bagian dalam sumur itu sudah ditumbuhi tumbuhan menjalar cukup rapat. Warga harus sedikit turun dan mengarahkan senter dengan daya kuat untuk melihat dasar sumur. Dan, di dasar itu, warga menemukan si anak. Mengambang dengan bagian tubuh depan menghadap ke bawah. Si ibu hanya bisa terdiam cukup lama. Setelah itu dia menangis histeris. Meracau seperti Kelik. Menyalahkan seseorang yang tidak seharusnya tinggal di dalam rumah itu.

Anaknya bunuh diri. Si ibu syok. Anak-anak mereka yang lain hanya bisa terdiam menyaksikan jasad kakak mereka terbujur sementara si ibu masih histeris. Warga hanya bisa menunggu si ibu tenang, yang ternyata memakan waktu lama.

Anak perempuan yang tidak seharusnya ada di rumah itu

Racauan si ibu sebenarnya bisa dipahami oleh para warga. Kalimat-kalimat yang terlontar dari mulut si ibu mirip seperti penuturan Kelik. Ada sosok anak perempuan, berusia remaja dengan senyum yang menggoda, sering menampakkan diri di dalam rumah sebelah kiri. Si ibu, yang sudah mengidap gangguan jiwa, sering membentak sosok itu. Menyuruh sosok itu untuk pergi karena sangat mengganggu.

Penuturan dari si ibu ini mendorong para warga untuk bertanya ke beberapa buyut kampung yang masih hidup. Namun, tidak ada kejelasan yang didapat oleh warga. Para buyut malah menegaskan bahwa mereka tidak ingin dilibatkan dalam masalah ini. Mereka tidak ingin ditanyai perihal keberadaan dan kebenaran terkait si anak perempuan.

Para buyut malah memaksa para warga untuk menanyakan langsung ke pemilik rumah. Sebuah petunjuk yang agak sulit dilakukan mengingat si pemilik tinggal di kota yang berbeda dan sangat berjarak dengan propertinya sendiri. Sementara itu, pasangan suami dan istri di rumah sebelah kanan hanya bisa terdiam mengetahui sumur tempat berbagi air itu ternyata menyimpan cerita bunuh diri yang seperti bersambung saja.

Seperti yang sudah-sudah, kasus bunuh diri si anak terlupakan. Yang tinggal di rumah kanan masih melanjutkan usahanya selama beberapa waktu. Namun, lantaran jasanya semakin sepi, pasangan suami-istri itu akhirnya pindah. Mereka tidak jauh pindah, hanya beda kampung saja. Mereka takut menjadi “korban” bunuh diri selanjutnya. Katanya, mereka semakin tidak betah lantaran beberapa kali mendengar ada orang menimba air di sumur yang sudah ditutup kembali dengan gipsum tipis.

Misteri yang tidak terjawab

Hingga tulisan ini tayang, peristiwa bunuh diri dan keberadaan anak perempuan itu tidak terpecahkan. Para buyut kampung sudah tiada. Rumah yang bersebelahan itu tidak lagi difungsikan. Keduanya dibiarkan mangkrak hingga beberapa bagian rubuh dimakan cuaca.

Beberapa kali pengurus kampung mencoba mengontak si pemilik rumah. Namun, pesan WhatsApp tidak dibalas, telepon tidak pernah diangkat. Warga inisiatif memasang seng besar untuk menutup bagian depan rumah itu. Halaman depan yang cukup luas dipakai parkir mobil oleh warga.

Hingga suatu ketika, teman saya parkir mobil di sana. Waktu itu siang hari yang panas. Ketika melihat ke arah rumah, di antara celah-celah seng, dia bisa melihat sumur tua itu. Di sana, seakan-akan dia bisa melihat sosok manusia. Dia tidak yakin apakah itu laki-laki atau perempuan. Yang pasti, muncul urgensi untuk membantu. Seakan-akan dia ditarik untuk mendekat. Dorongan yang aneh itu, untungnya, bisa ditangkis oleh teman saya.

“Sial, nggak mau lagi parkir di sini,” gumam dia.

Penulis: Haryo Tri Aji 

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Pocong Kepala Terpuntir di Pos Bayangan Gunung Merapi dan kisah menegangkan lainnya di rubrik MALAM JUMAT.

Exit mobile version