Sejak kecil saya tergolong bocah yang sangat jereh, penakut. Meski baru pukul 19.35, cuma pengen pipis ke jamban saja, saya pasti minta kakak atau orang tua menemani. Ya nggak nyampe masuk juga kaleee, cuma nunggu di luar pintu …. -__-
Semua karena cerita-cerita mistis yang saya terima. Ada genderuwo, lampor, pocong, kuntilanak, dan sebangsanya itu. Konon, kakek (dari ibu) saya sering diganggu, dipanggil-panggil oleh “peri” ketika jaga malam jeplakan rel kereta yang zaman itu masih manual. Nah, saya makin percaya deh cerita itu ketika tahu Torro Margens dan timnya melakukan Uka-Uka di tempat tersebut. Sementara, nenek (dari ayah) saya pernah disatroni ndhas gelundung ketika hendak ke sawah di malam hari buat mengirim makanan suaminya yang sedang nraktor.
Belum lagi tayangan misteri di teve yang bikin merinding sekaligus penasaran. Pocong mumun, pocong jepri, kolor ijo, mak lampir, gerandong, sampai Suzanna. Tangan saya selalu refleks menutup muka tiap ada adegan yang ngaget.
Dasarnya gampang percaya, saya nggak pernah ragu cerita ini itu; bahkan yang jelas-jelas terdengar hiperbolis sekalipun, macam pocong setinggi tiga meterlah, genderuwo bermata sebesar lepek, atau wewe yang jadi pelayan hooters. Oke, yang terakhir memang karangan saya sendiri.
Kepercayaan saya terhadap makhluk nggak kasat mata semakin berlipat ketika berusia sekira tujuh tahun. Suatu malam, bapak saya ikut pladu di Bengawan Solo dekat rumah. Tahu pladu? Jadi, ikan-ikan di Bengawan Solo itu mangap-mangap di permukaan sungai sehingga kamu tinggal menyeser atau pecuk saja ikan itu. Sederhananya ikan-ikan tersebut tengah teler; mereka bakal sadar beberapa jam kemudian atau dengan guyuran hujan. Pladu bisa terjadi saat pagi, siang, sore, bahkan malam. Entah apa penyebabnya, saya juga belum mengerti.
Bapak segera berangkat saat mendengar kabar pladu, supaya dapat posisi strategis. Sampe kelupaan tuh membawa senter. Ibu yang cukup peka lekas mengantarkan senter. Dan ikutlah saya.
Jalan yang kami lewati begitu gelap. Melintasi tegal, pepohonan rindang dan berakhir di bombongan (rumpun bambu) dekat Bengawan.
Sesudah memberikan senter, kami tidak langsung pulang, bertahan bombongan sembari menyaksikan keramaian orang-orang mencari ikan dan udang yang menepi. Tiba-tiba terdengar suara gemericik dari atas bambu yang cuma tiga langkah dari kami. Saya spontan memegang erat-erat kaki ibu. Boro-boro dah buat nengok ke atas. Saya dengar ibu merapal berbagai surat. Ketika suara itu hilang, kami pun segera pulang.
“Kamu mendengarnya?” tanya ibu sesampai di rumah.
“Iya”
“Itu tadi genderuwo kencing.”
Ya ampuuuun, setengah mati saya selalu ingat suara gemericik itu.
Sejak kejadian itu, saya selalu minum lebih sedikit ketika sore dan mempersiapkan diri supaya gak pipis malem-malem. Saya tahu dirilah. Saya nggak mau ganggu ketenangan tidur anggota keluarga lain. Fyi, jamban rumah kami terletak di sisi rumah yang berjarak tujuh belas langkah dari bombongan. Please, bukan bombongan genderuwo tadi.
Cukup lama nggak dijumpai kejadian aneh-aneh lagi, beberapa tahun kemudian, suatu pagi usai salat subuh, bapak menceritakan kejadian yang ia alami malam sebelumnya dan berniat melakukan penyelidikan. Sebenarnya ibu yang pertama mendengar. Ihihihhihihihihi. Ibu dengarkan sekali lagi sebelum membangunkan bapak buat meyakinkan apa yang ia dengar. Dan benar saja, bapak juga mendengar. Ihihih hihihihihi. Berulang kali dibarengi suara srak srak srak semacam suara potongan pucuk bambu yang terseret. Srak srak srak, ihihihhihihihihi.
Saking jengkelnya, bapak memutuskan hendak nyamperin itu suara. Ibu mencegah. Bapak bersikukuh. Grag. . . Baru saja bapak membuka pintu sebelah selatan, suara itu seketika menghilang. Malam apa itu? Benar, jumat kliwon.
Pagi hari, kami selidiki perkiraan lokasi sumber suara, yaitu bombongan yang berjarak tujuh belas langkah dari rumah kami. Secara pikiran waras, kalau itu manusia, pastilah ada bekas seretan tersebut di tanah. Dan itu sama sekali nggak ada. Potongan pucuk bambu yang bapak curigai mengiringi suara ihihihihihihihihi juga gak ada. Kami kelilingi setiap sisi dan nggak ada satu pun pertanda bekas semalam. Sorenya, saya habiskan sebungkus garam untuk mengelilingi rumah. Saya nggak sekreatif Gus Mul yang membentengi kamarnya dengan Alif Ba Ta.
Dan memang semua itu belum usai. Cerita persinggungan saya semakin bertambah ketika saya berseragam putih abu-abu, bahkan sampe kuliah di kota sekalipun, sampai sekarang.
Srak srak srak, ihihihhihihihihi.