Pohon melinjo yang berada di dekat warnet tempat saya dulu bekerja sebenarnya tak terlalu menakutkan, terlebih bagi saya yang seorang penggemar berat sayur kulit melinjo. Cabangnya yang tak banyak, daunnya yang tak rimbun, serta melinjonya yang tumbuh dengan penuh rasa malas membuat pohon ini lebih layak dikasihani alih-alih ditakuti.
Namun, kisah-kisah tentang si pohon melinjo ini selalu memaksa saya menekan rasa takut jika harus melintasinya di malam hari.
Ia pohon melinjo yang sudah sangat tua. Saya tak tahu persis berapa umurnya, tapi dilihat dari lingkar batangnya yang sudah lebih besar ketimbang meriam kompeni, saya yakin ia pastilah lebih tua dari umur saya.
Pohon melinjo ini letaknya hanya satu meter dari teras rumah tetangga saya satu kampung, sebut saja Pak Prawiro.
Rumah Pak Prawiro ini berada di samping gang, sehingga setiap orang yang berlalu-lalang melewati gang tersebut pastilah juga melewati pohon melinjo ini.
Entah sejak kapan si pohon melinjo yang produktivitasnya rendah ini mendapatkan reputasin sebagai pohon angker. Yang jelas, cerita-cerita soal seramnya si pohon melinjo ini sudah berkali-kali singgah di telinga saya.
Saksi peristiwa seram dan tidak logis yang melibatkan pohon melinjo ini tentu saja sudah banyak. Dari sekian banyak saksi, paklik saya salah satunya.
Paklik saya ini dulu bekerja sebagai tukang jaga malam di salah satu sekolah dasar yang letaknya di seberang kampung. Ia biasa berangkat jam sembilan malam, dan baru pulang jam setengah enam pagi ketika matahari sudah muncul ke permukaan.
Untuk menuju ke seberang kampung, rute yang terdekat adalah melewati gang sebelah rumah Pak Prawiro tadi.
Suatu kali, paklik saya berangkat sesuai jadwal, jam sembilan malam. Saat melewati gang samping rumah Pak Prawiro, ia melihat si pohon melinjo ini tumbang. Entah karena memang pohonnya yang sudah lapuk atau karena kena angin atau apa pun itu, paklik saya tidak tahu apa sebabnya. Yang jelas, di hadapannya, si pohon melinjo itu sudah tergolek melintang di gang.
Paklik saya ingin menggeser si pohon yang sudah tumbang itu agak ke tepi, agar nanti orang lain tidak terganggu. Namun, karena berat, dan kebetulan saat itu tidak ada orang lain untuk membantu, ia biarkan saja si pohon tumbang itu tetap tergeletak.
Esok paginya saat Paklik saya pulang jaga, keganjilan itu akhirnya muncul. Saat pulang dan melewati rute yang sama seperti saat berangkat, di gang samping rumah Pak Prawiro, ia melihat si pohon sudah berdiri tegak, tanpa sedikit pun bekas patah atau roboh. Padahal sebelumnya paklik saya begitu yakin, semalam pohon itu tumbang adanya.
Welhadalah. Benar-benar mistis bernuansa rekayasa genetik.
Cerita tentang tumbangnya pohon melinjo tersebut kemudian menyebar dari mulut ke mulut dan semakin menambah deretan daftar ketidaklaziman perihal pohon melinjo ini.
Banyak yang meyakini bahwa pohon tersebut memang menjadi rumah bagi penghuni tak kasat mata. Walaupun sebenarnya itu agak wagu. Seperti yang sudah saya jelaskan di awal, pohon melinjo tersebut hampir tidak punya dahan horizontal, daunnya tak rimbun, dan bentuknya juga sangat tidak wingit-able. Kalau memang pohon tersebut adalah rumah bagi makhluk halus, pastilah itu rumah yang sangat minimalis dan dengan fasilitas yang sangat terbatas.
Semakin saya berusaha untuk tidak memahami bagaimana reputasi seram pada pohon melinjo ini terbentuk, semakin saya merasa sia-sia.
Banyak anak-anak dan tak sedikit orang dewasa yang meningkatkan kewaspadaannya saat harus melintasi pohon melinjo ini di malam hari, terlebih saat harus berjalan tanpa rekan. Pohon melinjo ini seolah sedang melahirkan kisahnya sendiri, membangun reputasinya sendiri.
Kisah yang paling fenomenal dan cukup viral soal keseramannya datang dari salah satu anggota keluarga Pak Prawiro. Sebut saja Ibu Darsih.
Ibu Darsih ini punya kamar di bagian samping rumah yang jendela kamarnya menghadap langsung ke gang. Nah, dari jendela ini, si pohon melinjo bisa terlihat dengan jelas walau posisinya agak menyerong. Jaraknya dari kamar sekitar 15 meter karena posisi kamarnya memang berada di sisi belakang jauh.
Suatu malam, mungkin pengin nonton FTV tengah malam atau entah karena apa, Ibu Darsih ini nglilir, terbangun tengah malam.
Saat terbangun itu, tiba-tiba ia melihat bayangan putih di dekat pohon melinjo. Agak tidak jelas, maklum, baru terbangun, matanya masih belum fokus dan masih kriyip-kriyip. Ibu Darsih penasaran, ia kemudian mengucek-ucek matanya dan mencoba menatap kembali bayangan putih itu lekat-lekat.
Betapa kagetnya Ibu Darsih, bayangan putih yang dilihatnya dengan pandangan yang begitu cermat itu ternyata adalah pocong dengan wajah menghadap langsung ke arahnya.
Siapa yang tak menggigil menghadapi situasi seperti itu?
Saya sendiri percaya tidak percaya mendengar cerita seram yang beredar seputar si pohon melinjo. Hingga sebuah peristiwa memaksa saya setidaknya sedikit mempercayai kewingitannya.
Peristiwa itu terjadi saat saya masih SMP.
Kala itu, saya dan kawan saya Rudi pulang sehabis malam mingguan di salah satu rental PS di ujung kampung.
Sudah jam 11 malam. Kami melewati gang samping rumah Pak Prawiro, sebab memang itu rute paling dekat. Kami berdua berjalan tanpa rasa takut. Otak kami masih menikmati sisa keasyikan bermain PS beberapa jam sebelumnya.
Semua tampak akan baik-baik saja,
Hingga … tiba-tiba, Rudi berteriak tiada jelas dan berlari menjauhi pohon melinjo. Tentu saja saya ikut lari, walau saya tak tahu apa yang sedang terjadi. Semua orang tentu paham, seperti halnya pilek, lari juga bisa menular.
Sampai di gardu poskamling yang cukup terang, sambil terengah-engah berusaha mengatur napas, Rudi akhirnya bercerita. Tadi, sewaktu melintasi pohon melinjo, katanya, ia melihat makhluk tinggi besar berwarna hitam, serupa genderuwo, atau memang genderuwo, yang sedang berusaha menangkap saya dengan tangannya yang besar.
Saya tercekat. Rasanya saya tak ingin percaya dengan apa yang Rudi katakan. Rudi memang kawan yang biasa membual, tapi raut wajahnya saat itu adalah raut wajah seseorang yang sedang tak punya waktu untuk membual.
Keringat dingin saya mendadak mengalir.
Saya memang tak melihat bagaimana sosok yang, menurut Rudi, ingin menangkap saya itu. Tapi ketakutan di mata Rudi itu sudah berpindah separuhnya ke mata saya.
Saya tak bisa berkata apa-apa. Yang ada di dalam otak saya saat itu hanya bagaimana caranya agar saya segera sampai rumah lalu tidur.
Sejak peristiwa itu, saya mulai yakin bahwa pohon melinjo di samping rumah Pak Prawiro ini memang benar-benar bukan pohon melinjo biasa.
Keyakinan yang kemudian membuat saya sebisa mungkin tidak melewati gang samping rumah Pak Prawiro sendirian di malam hari jika tidak benar-benar terpaksa.