Pocong Kepala Terpuntir di Pos Bayangan Gunung Merapi

Kalau membicarakan Gunung Merapi, banyak tema obrolan yang bisa termuntahkan dari bibir kita masing-masing. Namun, saya berani bertaruh, pasti ada selentingan tema horor di antara tema pendakian yang seru dan menyenangkan.

Pocong Kepala Terpuntir di Pos Bayangan Gunung Merapi MOJOK.CO

Ilustrasi Pocong Kepala Terpuntir di Pos Bayangan Gunung Merapi. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COAda kemungkinan teman saya tidak akan bisa lepas dari dua entitas itu, entah yang pocong atau Gunung Merapi.

Masa-masa selepas lulus kuliah dan sebelum bekerja secara full time adalah periode di mana saya mempunyai banyak waktu luang. Saat itu, salah satu kegiatan yang cukup saya gemari adalah naik gunung. Sebuah pilihan kegiatan yang mempertemukan kami dengan pocong kepala terpuntir di Gunung Merapi.

Sebagai latar cerita, jadi, keluarga besar saya cukup rutin untuk berkemah di Gunung Merapi, terutama ketika pergantian tahun. Tempat langganan kami ada di atas Dusun Kinahrejo. Sebuah dusun yang mengalami cobaan sangat berat di 2010. Jadi, intinya, kami sudah cukup akrab dengan suasana dan kondisi Kinahrejo, termasuk jalur pendakiannya yang paling berat. Seingat saya, untuk mencapai puncak Gunung Merapi, kamu bisa memilih empat jalur, yaitu Selo, Babadan, Sapuangin, dan Kinahrejo.

Selepas erupsi besar pada 2010, jalur Kinahrejo sempat ditutup. Setelah tahun itu, keluarga kami sudah tidak pernah lagi berkemah di Gunung Merapi. Kisah saya dan keluarga serta kawan-kawan ketika bertemu pocong kepala terpuntir sendiri terjadi jauh sebelum 2010.

Pos bayangan Gunung Merapi

Kalau membicarakan Gunung Merapi, banyak tema obrolan yang bisa termuntahkan dari bibir kita masing-masing. Namun, saya berani bertaruh, pasti ada selentingan tema horor di antara tema pendakian yang seru dan menyenangkan. Tidak bisa dimungkiri, salah satu gunung api aktif di Indonesia memang lekat dengan mitos dan cerita seram.

Nah, kalau soal tema horor dan Gunung Merapi, salah satu bahan obrolan pasti Pasar Bubrah. Lokasi sebelum daerah puncak ini memang sudah terkenal. Banyak kisah mendebarkan ketika berkemah di bawah Pasar Bubrah. Namun, apakah kamu pernah mendengar soal keangkeran pos bayangan dari jalur Kinahrejo?

Pos bayangan ini ada sebelum kamu mencapai pos satu (Sri Manganti) jalur Kinahrejo. Lantaran jalur pendakiannya yang cukup berat, banyak pendaki memanfaatkan pos bayangan ini untuk mengaso sebentar sebelum tancap gas menuju pos-pos selanjutnya. Pos ini seakan-akan ada untuk pendaki menghimpun energi.

Pos bayangan sebelum pos satu ini tidak terlalu luas. Sisi kirinya yang langsung berhadapan dengan jurang ditumbuhi pohon-pohon besar. Sementara itu, di sisi kanan, seingat saya, adalah tebing pendek dengan tanaman menjalar. Di sisi kanan ini ada semacam pos ronda yang terbengkalai. Membuat suasana jadi singup. Namun, tempatnya memang teduh dan sangat sejuk. Enak sekali untuk duduk dan selonjoran.

Baca halaman selanjutnya….

Ditemani Mbah Maridjan

Lantaran kejadian ini sudah agak lama, jadi maafkan saya kalau melupakan beberapa detail. Khususnya soal waktu pendakian bersama saudara dan kawan-kawan saya. Seingat saya, jalannya pendakian Gunung Merapi berjalan dengan lancar. 

Mulai dari pos bayangan, pos satu Sri Manganti, pos dua Rudal, pos tiga yang saya lupa namanya, pos empat Mimbar, jembatan setan (saya lupa apakah jembatan pasir ini ada sebelum pos empat atau sesudah), geger boyo, pasar bubrah, lalu puncak. Ini seingat saya, ya. Maafkan saya kalau lupa nama dan posisinya.

Kami mulai berjalan ketika pagi hampir habis. Mungkin sekitar pukul 10. Rombongan kami tidak banyak. Hanya beberapa saudara dan kawan, ditambah satu pendaki dari Jakarta bernama Pak bambang.

Pendakian berjalan tenang dan tanpa halangan berarti. Sampai di pos bayangan, di mana pocong dengan kepala terpuntir akhirnya menampakkan diri, kami mengaso sekitar lima menit.

Setelah beristirahat sebentar, kami melanjutkan perjalanan. Baru beberapa langkah, Pak Bambang terdengar menyapa seseorang di sebelah kanan rombongan. Ternyata, di sana, berdiri almarhum Mbah Maridjan sambil tersenyum. Kami sama sekali tidak sadar kalau Mbah Maridjan ikut naik kalau Pak Bambang tidak menyapa beliau. 

Yang pasti, kami merasa “ditemani” Mbah Maridjan. Rasanya jadi lebih tenang saja. Awalnya kami merasa kejadian itu merupakan pertanda baik. Namun, ternyata, sebenarnya, beliau memperingatkan kami. Apalagi, jalur Kinahrejo itu sangat menguras tenaga.

Sebelum kami berangkat, saya masih ingat betul, Mbah Maridjan berkata, “Nanti saya susul,” dalam Bahasa Jawa. Sekali lagi, beliau berkata sambil tersenyum. Kami balik tersenyum dan jalan lagi. 

Disusul Mbah Maridjan

Setelah itu, perjalanan terbilang lancar. Pos satu Sri Manganti, pos dengan gapura besar kami lewati. Beberapa waktu kemudian, kami sampai di pos dua Rudal. Yang mengagetkan kami adalah Mbah Maridjan sudah sampai di sana!

Sebuah pemandangan yang tidak biasa. Membuat kami kagum, sekaligus bikin merinding. Bagaimana bisa, seorang sepuh, berjalan mendahului kami sampai di pos dua. Padahal, kami berangkat duluan. Akal sehat kami menyimpulkan bahwa mungkin saja ada jalur pendakian lain. Namun, kok rasanya malah nggak masuk akal karena setahu kami tidak ada jalur lain selain jalur hutan yang lebat.

Kami hanya mengobrol singkat saja. Setelah itu, Mbah Maridjan memberikan beberapa nasihat, terutama hati-hati ketika melangkah. Setelah itu kami melanjutkan perjalanan. Sekali lagi, proses pendakian kala itu berjalan dengan lancar. Sedikit rasa janggal baru terasa di “jembatan setan”. Sebuah lokasi yang terbentuk dari pasir, di mana kanan dan kirinya adalah jurang. Salah satu lokasi paling berbahaya kalau kamu mendaki dari jalur Kinahrejo, apalagi kalau malam dan turun hujan.

Seingat saya, pendakian kala itu memakan waktu enam sampai tujuh jam. Mengingat kami berjalan santai dan cukup sering berhenti untuk mengaso dan merokok. Kalau perjalanan normal, mungkin sekitar lima jam saja.

Pocong kepala terpuntir

Mendaki Gunung Merapi itu sejatinya tidak terlalu lama. Kamu bisa mulai dari pagi, lalu sore sudah kembali ke basecamp. Rombongan kami sendiri sudah selesai dari puncak sekitar siang menjelang sore. Sekali lagi ini berdasarkan ingatan saya yang kadang agak lemah ini.

Sampai di pos empat Mimbar, salah satu teman saya mengeluh sakit di bagian punggung bagian bawah dekat tulang ekor dan tengkuk. Lantaran tidak terlalu terburu-buru, kami memutuskan untuk berhenti. Namun, teman saya yang bernama Saleh ini menolak. Dia tidak mau dianggap beban mengingat ini kali pertama dia ikut naik ke Gunung Merapi.

Pak Bambang, pendaki dari Jakarta, menyarankan kami untuk mengikuti kemauan Saleh dan segera turun. Pak Bambang yang baru bergabung ini mempunyai kelebihan untuk soal dunia lain. Ingat, hanya dia yang bisa tahu kalau Mbah Maridjan menemani kami. Pak Bambang pula yang menyelamatkan saya ketika mendaki ke Gunung Semeru. Lain kali saya ceritakan kejadian di Gunung Semeru.

Menjelang pos dua, sebetulnya Saleh semakin tidak kuat. Namun, saya melihat dia menahan rasa sakit. Pak Bambang mungkin sudah merasakan ada yang janggal dan perlu kewaspadaan lebih dari rombongan. Dia mendekati saya dan kakak saya, lalu berbisik: “Ada yang ikut Saleh. Dari tadi mencoba masuk. Tolong jangan panik dan tetap berpikir jernih. Waspada saja. Nanti di pos satu kita istirahat, tapi jangan bermalam di Gunung Merapi.”

Kakak saya adalah anggota menwa sebuah kampus, sehingga mungkin mentalnya lebih kuat. Sementara saya, yang dipesan jangan panik, malah makin kepikiran. Apalagi Pak Bambang menutup omongannya dengan sebuah pesan: “Yang ngikut Saleh itu pocong, kepalanya terpuntir ke belakang. Sepertinya bukan asli dari Gunung Merapi.”

Pocong itu mencoba masuk

Jujur saja saya agak sulit membayangkan. Ada pocong, kepala terpuntir, mencoba masuk ke dalam tubuh Saleh. Namun, saya juga tidak bisa membantah Pak Bambang karena dia yang lebih “tahu”.

Jalur Kinahrejo, seperti yang saya jelaskan di atas, memang cukup berat. Semakin berat di jalur turun mengingat kita harus menahan beban. Banyak akar pohon menonjol di sepanjang jalan setapak yang menurun. Jadi, kalau tidak hati-hati, kamu bisa tersandung dan jatuh di turunan.

Seperti pesan Pak Bambang, kami istirahat sebentar di pos satu Sri Manganti. Saleh sempat rebahan dan sakit di tulang ekornya reda. Namun, pegal di tengkuk masih terasa dan kini dia mengeluh pusing. Nampaknya pocong itu semakin kuat mengeluarkan segala daya untuk merasuk ke tubuh Saleh.

Sayangnya, kami tidak bisa istirahat lebih lama. Pak Bambang menegaskan bahwa kami harus segera meninggalkan Gunung Merapi. Maka, meski berjalan pelan, kami harus segera turun.

Kekhawatiran di pos bayangan Gunung Merapi

Sebelum meninggalkan pos satu, saya merasa sangat gelisah. Terutama kami harus melewati pos bayangan. Sebuah pos yang konon angker, sementara Saleh sedang bermasalah dengan pocong yang kepalanya terpuntir. Seakan-akan, semua yang terjadi di perjalanan pulang saling menggenapkan.

Sekitar 30 sampai 40 menit yang kami butuhkan untuk sampai di pos bayangan. Sekali lagi, karena Saleh kesakitan, mau tidak mau, kami harus berhenti ketika memungkinkan. Lantaran sudah sampai di pos bayangan, rombongan memutuskan untuk berhenti. Pak Bambang terlihat sangat khawatir. Dia bahkan tidak duduk untuk mengaso barang sebentar.

Saya melihat Pak Bambang meletakkan tas punggung yang berat itu. Setelah itu, dia menyandarkan punggung ke pohon besar yang menutupi jurang. Tentu saja dia masih berdiri, tidak mau duduk. Mata Pak Bambang tak pernah lepas dari Saleh yang meringis kesakitan.  

Beberapa dari kami menyempatkan diri untuk merokok, yang lain meneguk habis persediaan air mengingat kami sudah dekat dengan “pintu keluar”. Katanya sih biar lebih ringan berjalan.

Saleh yang pertama berdiri. Saya mengira sakitnya sudah reda. Pak Bambang justru semakin waspada. 

Yang saya ingat kala itu, Saleh membuang napas dengan keras dari mulutnya. Setelah itu, dia merintih dengan keras. Semua rombongan sigap berdiri, siap-siap kalau Saleh tumbang. Namun, kami salah mengira.

Lari ke jurang

“Saleh!”

Kakak saya berteriak dengan keras. Saya menahan napas. Pak Bambang lengah. Saleh berlari dengan cepat seperti orang yang tidak pernah merasakan sakit. Saleh berlari dengan cepat menuju jurang yang posisinya menjauhi rombongan. Semua hendak mengejar, tapi sudah terlambat.

Tidak ada dari kami yang bisa mengejar Saleh. Namun, Tuhan masih sayang kepada teman saya. Dia memang berlari ke jurang. Sudah pasti ingin melompat. Namun, dia lari lurus menabrak pohon besar yang tumbuh di tepi jurang.

“Bruaaak!”

Saleh menabrak pohon, lalu tumbang, terpental ke belakang. Dia langsung berdiri, lalu berlari lagi. Sekali lagi, dia menabrak pohon dengan keras. Hidungnya berdarah, matanya merah. Ketika hendak untuk berdiri ketiga kalinya, rombongan kami berhasil menahannya. Kami menyeret Saleh menjauh dari jurang. Mata Saleh yang merah itu hanya fokus kepada pohon yang “melindungi” dia dari mulut jurang.

Saleh memberontak, mengerang pendek, lalu pingsan. Pak Bambang membaca doa di samping Saleh yang pingsan. Napasnya memburu. Seperti baru saja lari maraton 10 kilometer. 

Melihat gelagat Saleh, saya dan kakak sadar bahwa pocong dengan kepala terpuntir itu berhasil menguasai tubuh teman kami. Kata Pak Bambang, pocong itu tidak akan mau keluar sebelum kami meninggalkan Gunung Merapi. Seakan-akan, gunung itu menolak kehadiran pocong itu.

Berbagai dugaan

Tidak ada kesimpulan yang benar-benar bulat kami ambil. Bahkan Pak Bambang, tidak bisa memastikan awal “kegaduhan” ini. Dia hanya bisa menduga bahwa pocong dengan kepala terpuntir itu sudah mengekor Saleh sebelum berangkat ke Gunung Merapi. 

Apalagi, pocong itu tidak bisa diajak “komunikasi” oleh Pak Bambang. Seakan-akan, Pak Bambang berbicara di depan lautan luas. Segala omongan hilang ditelan ombak. Tidak ada feedback yang dirasakan Pak Bambang.

Setidaknya kami bisa bersyukur bahwa teman kami tidak sampai melompat ke jurang. Ada pohon yang “menjadi benteng”. Apakah karena kami sempat ditemani Mbah Maridjan sehingga kami masih “dijaga”? Kami tidak bisa memastikannya.

Apalah Saleh punya musuh yang mengirim pocong itu untuk mencelakainya? Kami juga tidak berani mengambil kesimpulan sampai ke sana. Satu hal yang kami bisa bersepakat adalah segera turun dan meninggalkan Gunung Merapi.

Salah satu teman kami, namanya Niko, menggendong Saleh di punggungnya. Sementara itu, tas Saleh dibawa oleh kakak saya. Pak Bambang berjalan paling belakang. Beberapa kali dia menoleh ke belakang, ke arah pos ronda di pos bayangan Gunung Merapi yang singup itu.

Akhir pendakian Gunung Merapi

Begitu kami lepas dari kawasan Gunung Merapi, Saleh langsung sadar. Namun, matanya masih merah dan sulit konsentrasi. Di dalam mobil, dia seperti orang yang kehilangan ingatan. Satu hal yang Saleh ingat adalah dia seperti berjalan ke sebuah genangan air yang sangat luas. Dia berjalan pelan sampai air sebatas dada. 

Setelah itu, dia merasakan dingin yang teramat sangat di tubuh bagian bawah. Dingin itu lalu merambat ke atas. Ketika air sudah sampai di batas mata, dia kehilangan kesadaran. Tidak sepenuhnya gelap. Ada sebuah titik sinar di mana dia mencoba berenang ke sana, tapi tidak kunjung sampai.

Sebelum kehabisan harap, sebelum sepenuhnya gelap, dia melihat sosok pocong dengan kepala terpuntir. Pocong itu berwajah bersih, terlihat sedih. Setelah itu Saleh tidak ingat apa-apa. Termasuk usahanya untuk melompat ke jurang.

Setelah sampai di Kota Jogja, Saleh sudah bisa duduk dengan lebih nyaman. Sakit di punggung dan tengkuknya sudah hilang. Pada saat ini, dia mengaku sangat haus. Bahkan dia langsung menghabiskan air mineral satu liter. Katanya, selain haus, seperti ada yang mengganjal di tenggorokannya.

Pocong dan Gunung Merapi

Beberapa hari kemudian, Pak Bambang yang mengontrak rumah di dekat rumah saya, sempat bilang bahwa dia tidak mengerti kenapa pocong itu ditolak oleh Gunung Merapi. Seolah-olah makhluk halus itu ingin segera pergi. Pocong itu juga seperti takut akan sesuatu yang menjaga gunung keramat itu.

Kalau Pak Bambang saja tidak paham, apalagi saya. Satu hal yang pasti, ada kemungkinan Saleh tidak akan bisa lepas dari dua entitas itu, entah yang pocong atau Gunung Merapi. 

Sebuah pemandangan menarik terjadi. Beberapa tahun kemudian, kami naik ke Gunung Merapi lagi. Tentu saja Saleh ikut, bahkan dia sangat bersemangat.

Dari pos bayangan sampai pos satu, Saleh mendaki dengan tenaga yang agak di luar nalar. Bahkan dia sambil berlari. Beberapa kali kami mengingatkannya untuk pelan saja, tapi dia tidak mendengar. Saleh seperti anak kecil yang baru pertama melihat taman bermain.

Tahukah kamu, saat itu, Saleh tidak mau mendaki menggunakan sepatu. Dia naik Gunung Merapi hanya memakai sandal jepit. Sepulangnya dari mendaki, sandal itu tetap bersih. Seperti sandal baru yang saja dibeli. Saya harus bagaimana kalau seperti ini….

BACA JUGA Teror Kecil di Gunung Merbabu dan kisah mendebarkan lainnya di rubrik MALAM JUMAT.

Penulis: Haryo Tri Aji

Editor: Yamadipati Seno

Exit mobile version