Perumahan di Ujung Sawah: Misteri Kunjungan Almarhum Nenek

Saat itu belum ada tetangga di kanan dan kiri rumah. Selain masih baru, kompleks perumahan ini juga belum banyak dihuni.

Perumahan di Ujung Sawah: Misteri Kunjungan Almarhum Nenek MOJOK.CO

Ilustrasi Perumahan di Ujung Sawah: Misteri Kunjungan Almarhum Nenek. (MOJOK.CO/Ega Fansuri)

MOJOK.COAwal 1980, aku, bersama kakak dan ibu pindah ke sebuah kompleks perumahan yang baru dibangun.

Purwokerto 1980.

Aku baru saja pindah ke sebuah kompleks perumahan yang baru dibangun. Suasananya masih sepi sekali karena baru beberapa rumah saja yang dihuni. Sebenarnya, proyek pembangunan kompleks ini belum selesai. Bahkan saat itu, instalasi listrik belum ada.

Kami terpaksa pindah karena waktu untuk menghuni kontrakan di rumah lama sudah habis. Selain itu, ibuku sendiri yang sudah tidak sabar menghuni rumah milik sendiri di kompleks perumahan setelah sekian lama selalu mengontrak.

Untuk penerangan di kala malam, kami harus menyalakan petromaks, yang digantungkan di ruang depan. Untuk kamar, biasanya kami menggunakan senthir, lampu tempel dengan sumbu berbahan bakar minyak tanah. Hal ini bertahan kurang lebih satu tahun.

Saat itu belum ada tetangga di kanan dan kiri rumah. Selain masih baru, kompleks perumahan ini juga belum banyak dihuni.

Sisi timur rumah kami berbatasan dengan sungai, kebun, dan sawah. Suasana memang jadi menyeramkan, terutama kalau malam hari terus hujan. Apalagi aku hanya tinggal bertiga saja dengan kakak dan ibu.

Setiap sore, di depan rumah kami biasanya ramai oleh penduduk desa sekitar yang mencari rumput untuk pakan ternak. Dari mereka, kami dapat info bahwa lokasi tempat rumah kami berdiri termasuk wingit. Kebetulan, di sebelah timur rumah memang ada pohon cangkring besar sekali. Kabarnya, banyak penduduk setempat sering melihat penampakan kuntilanak di bawah pohon itu.

Menurut banyak mitos yang berkembang, pohon cangkring adalah sarang makhluk halus, terutama kuntilanak. Keberadaannya yang persis di bantaran sungai yang mengalir di depan rumah kami memang menimbulkan suasana menyeramkan.

Keadaan ini sedikit banyak menimbulkan keprihatinan dari om kami. Sampai suatu hari dia memberikan srono sebagai peranti tolak bala. Sebuah wujud kebaikan yang kelak terbukti tidak mempan.

Begini ceritanya….

Malam itu, karena suntuk di rumah, kakak berniat untuk main ke rumah Om Joko, adik ibu. Rumahnya berjarak sekitar 30 menit naik sepeda motor dari kompleks perumahan kami. Dia pergi sejak sebelum Maghrib.

Untuk mencapai rumah Om Joko, kakak harus melewati jalanan berbatu di tengah sawah yang luas. Sebenarnya ada jalan yang lebih bagus, tapi harus memutar lewat tengah kota. Biar lebih cepat, kakak memilih lewat tengah area persawahan. Tapi justru dari sini semua peristiwa itu bermula.

Hampir tengah malam ketika dari kejauhan terdengar motor kakak digeber. Khas suara Suzuki GP 100. Aku hafal karena motor kakak adalah satu-satunya motor di kompleks perumahan ini. Ibu sudah tertidur dari tadi, sementara aku sendiri masih dengerin radio. Satu-satunya hiburan yang bisa kami dapat waktu itu.

“Waaan! Buka pintu! Cepettt!”

Tiba-tiba saja pintu depan digedor kakak.

Gila ini orang main gedor pintu tengah malam. Nggak tahu ibu lagi tidur apa? Setengah kesal, aku keluar kamar. Karena pintu digedor berkali-kali, tidak lama ibu juga terbangun.

“Ada apa, kayak dikejar hantu aja,” sambil membuka kunci pintu aku menggerutu karena kesal.

Sedetik setelah membuka pintu depan, aku merasa ada angin menyerobot masuk agak kencang ke dalam rumah, menabrak badanku. Kaki kananku bahkan terdorong.

Aku melihat wajah kakak pucat pasi ketika terduduk di ruang tamu. Ibu yang baru saja terbangun menghampiri kami berdua.

“Ada apa?”

Ada sedikit kekhawatiran terlihat dari wajah ibu melihat wajah kakak yang pucat dan tubuhnya gemetar.

“Wan, ambilin air putih buat Mas.”

Aneh, nggak biasanya Mas Deni keliatan ketakutan setengah mati. Batinku agak terganggu ketika sambil setengah berlari mengambil air putih di dapur.

Mas Deni, sejak kecil, dikenal pemberani. Sebelum tinggal di perumahan ini, kami tinggal di sebuah rumah kontrakan yang berbatasan dengan area pemakaman. Hanya dipisahkan oleh sungai selebar dua meter.

Ketika masih tinggal di rumah lama dekat kuburan, dia sering pulang ke rumah malam-malam melewati area itu. Tidak jarang siang hari, sepulang sekolah, dia main petak umpet dengan teman-temannya di area itu, ngumpetnya di dalam keranda. Ibu sampai sering marah-marah kalau tahu kelakuannya itu dan agak lega kami sudah pindah ke kompleks perumahan ini.

Kebetulan, di area pemakaman itu, banyak tumbuh pohon buah-buahan. Ada mangga, manggis, dan kelapa. Rasa buahnya sangat manis, air kelapanya segar. Apa karena pupuknya adalah jasad yang tertanam di bawahnya? Aku dan Mas Deni sering makan, terutama jika ada bapak-bapak yang sedang menggali lubang pemakaman untuk mengubur jenazah baru.

Tapi malam ini, tidak biasanya Mas Deni terlihat sangat ketakutan sekali. Kenapa?

Aku sorongkan segelas air putih buat Mas Deni setelah sebelumnya dibacakan doa oleh ibu. Sejak datang tadi, belum sepatah kata keluar dari mulutnya. Padahal, sudah beberapa kali ibu melontarkan pertanyaan yang sama.

“Kamu kenapa, Den?”

Setelah meneguk air putih sampai setengah gelas, dia mulai bercerita. Kali ini dia jauh lebih tenang. Mungkin karena efek doa ibu.

Sudah larut malam ketika Mas Deni pamitan dari rumah Om Joko. Awalnya, Om Joko minta supaya Mas Deni nginep di rumahnya saja karena sudah terlalu malam dan jalanan sudah sangat sepi. Tapi Mas Deni bersikukuh. Katanya, kasihan yang di rumah nungguin.

“Iya tapi jangan lewat brug menceng, mending muter saja lewat stasiun,” kata Mm Joko kepada Mas Deni.

“Wah jauh banget, Om. Aku sudah sering lewat situ, kok. Aman.”

“Ya udah, semoga nggak ada apa-apa. Salam buat ibu,” Om Joko tidak bisa lagi mencegah Mas Deni.

Di tengah area persawahan tempat jalan pintasan menuju rumah Om Joko memang ada jembatan. Orang di sekitar situ menamainya brug menceng karena posisi jembatannya memang tidak sejajar. Brug adalah jembatan kalau merujuk ke bahasa Banyumasan.

Konon, daerah sekitar brug menceng banyak dihuni makhluk halus. Sebetulnya, Mas Deni sudah sering lewat jembatan ini, yaitu ketika mengantar ibu pergi kerja. Namun, baru sekali ini dia melewati brug menceng di malam hari. Suasananya beda banget.

Mas Deni tidak terlalu cepat memacu kendaraannya. Malam itu, dia tidak merasa takut, cuma gelisah saja kalau ada begal. Bakal sangat bahaya kalau dia ngebut di jalanan yang kurang rata lalu dihantam begal secara tiba-tiba. Jadi, sepeda motornya dipacu pelan.

Selang beberapa menit kemudian, sampailah dia di jalan pintasan. Beberapa meter berjalan, tiba-tiba ada sosok perempuan mengadang. Persis duduk di brug menceng.

Sebetulnya, Mas Deni agak curiga juga dengan sosok perempuan yang tiba-tiba muncul di depannya. Namun, sekali lagi, syaraf takut Mas Deni memang agak tumpul. Dia berusaha menenangkan diri dengan berpikir bahwa perempuan yang muncul itu berkebaya. Tidak seperti cerita kuntilanak yang memakai gaun putih menjuntai. Dia mengira perempuan itu cuma kemalaman di jalan lalu mencegat karena mau ikut nebeng.

Benar juga perkiraannya. Perempuan itu mencegat karena mau nebeng, sekalian pulang katanya.

Karena merasa iba melihat perempuan berjalan sendiri malam hari di tengah sawah, Mas Deni mempersilakan dia ikut. Bahkan dia berniat untuk mengantarkannya pulang.

“Dari mana, Mbak, malam-malam begini?” Kata mas Deni setelah si perempuan berkebaya itu membonceng.

“Saya dari Bobosan, Dik. Adik dari mana?”

“Dari rumah Paklik saya di Kober,” jawab Mas Deni.

“Oh, Kober. Sebelah mananya makam?” Perempuan itu lalu bertanya lagi.

Mas Deni sama sekali nggak menaruh curiga waktu perempuan itu menggunakan kuburan sebagai patokan alamat. Mungkin karena dulu Mas Deni juga pernah tinggal di dekat kuburan. Padahal, wilayah Kober itu luas dan banyak terdapat gang menuju desa dan kompleks perumahan. Kenapa bukan nama gang yang dijadikan acuan?

Bahkan dengan cueknya Mas Deni balik bertanya, “Mbak tinggal di Bobosan sebelah mana?”

“Saya di deket lapangan, Dik,” jawab perempuan itu datar.

Sebuah jawaban yang aneh. Lapangan itu sendiri dikelilingi oleh perkampungan dan kompleks perumahan. Persis di sebelah timurnya adalah kuburan. Lalu, dekat lapangan sebelah mana? Mas Deni juga tidak berkeinginan mencari tahu lebih jauh. Buat dia, ini hanya pertanyaan basa-basi saja.

“Kalau boleh tahu, mau ke mana, Mbak?”

Jalan lintasan tengah sawah ini panjangnya kurang lebih tiga kilometer dan tidak ada persimpangan. Persimpangan ada di di ujung desa, ditandai pertigaan jalan yang sudah beraspal.

“Saya mau ke Purwosari, Dik. Adik sendiri mau ke mana? Bisa sekalian antar saya?”

“Kebetulan kita satu arah, Mbak. Nanti saya antar, Purwosari sebelah mana?”

“Nanti saya tunjukkan jalannya, Dik.”

Tanpa terasa, mereka sudah sampai ke ujung desa. Dari pertigaan jalan, Mas Deni ambil arah kanan untuk menuju Purwosari, desa di mana kompleks perumahan kami berada.

Kali ini jalanan mulai beraspal. Beberapa kali Mas Deni sempat berpapasan dengan kendaraan lainnya. Dia tidak mempedulikan klakson dari beberapa kendaraan yang dibunyikan saat berpapasan dengannya.

Sampai di jembatan besar yang menjadi batas dua desa, perempuan itu minta Mas Deni untuk berhenti sebentar. Sudah begini, Mas Deni masih juga nggak curiga. Malah dia ikut turun dari kendaraannya karena saat itu kebelet pipis. Mas Deni menepi lalu turun dari kendaraan dan mencari lokasi yang memungkinkan untuk membuang hajatnya. Sementara perempuan itu menyeberang ke sisi jalan yang lain.

Sekitar 10 menit menunggu, perempuan itu belum juga kembali. Mas Deni berpikir apa rumah dia di sekitar sini? Karena dalam pandangannya ada beberapa rumah yang berada di dekat jembatan itu.  Tapi masa pergi begitu saja, batinnya.

“Sudah, Dik. Ayo.”

Tiba- tiba saja perempuan itu sudah ada di belakangnya, entah dari mana datangnya. Baru pada saat ini, Mas Deni mulai curiga. Pertama, karena dia baru kali ini melihat ada beberapa rumah di dekat jembatan. Padahal hampir tiap hari dia lewat jalan itu dan yang ditemui hanya kebun. Kedua, kalau ada bangunan, harusnya itu adalah tempat selipan padi. Ketiga, keberadaan perempuan itu yang tiba-tiba saja ada di belakangnya. Namun, Mas Deni masih berusaha menepis rasa takutnya.

“O iya, Mbak, dari tadi kita belum kenalan, saya Deni, nama Mbak siapa?”

“Saya Arum, Dik,” jawab perempuan itu singkat.

“Arum? Nama Mbak sama seperti nama nenek saya, tapi beliau sudah meninggal waktu ibu saya masih remaja,” lanjut Mas Deni. Arum sendiri tidak menanggapi apa yang baru saja dikatakan Mas Deni.

Mereka lalu melanjutkan perjalanan ke Purwosari yang jaraknya sudah semakin dekat. Sampailah mereka di sebuah pertigaan, lalu Mas Deni menanyakan arah yang harus diambil untuk mengantarkan perempuan itu.

Selanjutnya, seperti terhipnotis, Mas Deni mengikuti petunjuk arah yang dikatakan perempuan itu. Hingga tiba-tiba tanpa terasa dia masuk ke kompleks perumahan, dan tidak lama sampai di depan rumah.

Rumah kami!

“Lalu di mana perempuan itu sekarang?”

Ibu bertanya, sepertinya penasaran sekali mendengar cerita Mas Deni. Lalu beliau keluar menuju teras rumah diikuti aku dan Mas Deni. Ibu menyapukan pandangannya ke sepanjang jalan di depan rumah kami.

Lalu pandangannya terpaku pada sosok perempuan yang tengah berdiri di depan sebuah rumah yang belum selesai dibangun. Dia mengenakan kebaya dan sanggul khas perempuan Jawa pada zaman dulu.

“Ibu? Ibu!”

Tiba-tiba saja ibu mengucap kata itu. Mata beliau berkaca-kaca, menampakkan keharuan yang teramat sangat. Kami melihat perempuan itu tersenyum sambil mengangguk.

Apakah yang berdiri di depan rumah itu ibunya? Nenek? Ada kerinduan yang bisa aku rasakan di antara mereka. Nenek meninggal saat ibuku masih berusia remaja. Sudah lama sekali mereka terpisah.

Tak lama setelah kami bersama membacakan doa, bayangan nenek menghilang. Aku peluk ibuku yang masih sedikit terguncang dengan kejadian ini. Kami bertiga lalu masuk ke dalam rumah.

Ketika melangkah mendekati rumah, ada suara angin berderu berasal dari dalam rumah. Belum reda guncangan yang kami bertiga terima, guncangan lain datang. Ruang tamu kami tiba-tiba berantakan, beberapa perabot juga terjungkal.

Di dalam rumah yang tiba-tiba berantakan, kami melihat sesosok perempuan berkebaya. Dia duduk di kursi ruang tamu, satu-satunya kursi yang masih berdiri, dengan anggun. Kami sudah menduga kalau alhamarhum nenek datang lagi, sebelum sosok berkebaya itu tertawa sinis.

Diikuti deru angin dari dalam rumah, perempuan berkebaya itu keluar dari rumah kami lalu menghilang diiringi kabut yang berputar ke atas. Sampai hari ini, sampai aku dewasa, kejadian malam itu tak pernah terjawab. Hanya, setelah malam itu, berbagai kejadian aneh terjadi di kehidupan kami bertiga.

Malam itu kami seperti disambut secara resmi oleh sebuah daerah yang menyimpan kisah aneh….

BACA JUGA Rumah Kontrakan Arini dan kisah misterius lainnya di rubrik MALAM JUMAT.

Penulis: Setiawan

Editor: Yamadipati Seno

Exit mobile version