Menggali Peti Harta Karun Toapekong, Bukan Emas Batangan, yang Kami Dapat Malah Potongan Kepala Manusia

Menggali Peti Harta Karun Toapekong, Bukan Emas Batangan, yang Kami Dapat Malah Potongan Kepala Manusia MOJOK.CO

Menggali Peti Harta Karun Toapekong, Bukan Emas Batangan, yang Kami Dapat Malah Potongan Kepala Manusia MOJOK.CO

MOJOK.COToapekong di Kampung Sangasanga, Kutai Kartanegara, itu menyimpan banyak misteri. Selain cerita horor, konon terdapat juga harta karun!

Sore itu hujan gerimis….

Saya melintas di depan rumah Windo. Saya melihat Uncup dan Denny Tan ada di tempat itu juga. Mereka semua kawan sepermainan saya sejak kecil.  

“Win, lagi bicara apa, kok seperti rahasia?”

Windo hanya membalas dengan senyum sambil mengisap rokoknya dalam-dalam. Belum sempat kaki ini melangkah pulang, Uncup menjelaskan, “Kita lagi merencanakan sesuatu, kalau sudah beres, kamu kukabari.”

Saya terdiam sejenak. Karena hari sudah mulai senja, saya bergegas pulang. Sembari melangkah, dalam hati saya bertanya-tanya, mereka lagi membicarakan apa.

Esok hari, sekitar pukul 20.00, ada yang mengetuk pintu rumah. Ada Uncup, Windo, dan Denny Tan berdiri di depan rumah. Kupersilakan mereka duduk di bangku teras dengan penerangan lampu teplok seadanya. Kala itu tahun 80-an, aliran listrik belum masuk di kampung kami.

Uncup langsung memulai pembicaraan. “Kemarin sore, kan, aku janji.”

Setelah itu, Uncup dan Denny Tan menyampaikan maksudnya. Windo hanya diam dan duduk manis, tapi matanya berbinar-binar, seperti lagi mengkalkulasi keuntungan yang besar. Jelasnya, Uncup dan Denny Tan mengajak saya untuk bergabung menggali harta karun di Toapekong tua yang sudah tidak terurus itu.

Ada yang bilang, bangunan tersebut sudah berumur hampir 100 tahun. Sudah tidak berfungsi sejak meletusnya perlawanan etnis Tionghoa yang disebut Kelompok Samseng di Sangasanga, Kutai Kartanegara, pada 1926 terhadap Kolonial Belanda.

Perlawanan itu dipicu niat Belanda menguasai seluruh perdagangan minyak bumi di Sangasanga. Saat itu terjadi pembakaran rumah etnis Tionghoa oleh Kolonial Belanda. Sebagian ada yang melarikan diri ke hutan dan sebagian ditawan. Dan Toapekong, satu-satunya tempat di kampung ini yang luput dari perhatian Belanda.

Isu yang beredar mengatakan, ada peninggalan harta karun emas batangan dan barang berharga lainnya yang ditanam di dalam Toapekong agar selamat dari perampasan. Oleh karena itu, Uncup dan Denny Tan mengajak saya untuk bergabung dalam misi yang saya sebut “berbahaya” ini.

Tak terasa kami bercakap-cakap sudah hampir pukul 22.00 malam. Saya menyarankan membatalkan rencana tersebut karena banyak kejadian menyeramkan di Toapekong itu. Namun, nampaknya niat mereka berburu harta karun sudah bulat.

Harta karun dan hantu tanpa kepala

Terletak di kaki bukit yang landai, kira-kira 100 meter dari jalan kampung, menghadap ke arah Sungai Mahakam, Toapekong berdiri. Kondisinya menyeramkan, tidak terawat, di sekitarnya banyak rumput ilalang dan tumbuhan liar lainnya. Kalau malam keadaanya gelap gulita, membuat suasana mistis makin menjadi-jadi.

Hampir seluruh bangunan terbuat dari kayu dan besi. Hanya lantainya yang dilapisi semen. Itu pun sudah banyak yang terkelupas. Di dalamnya ada beberapa meja-kursi dan bangku panjang tidak terawat. Semua bagian bawah perabot ini dipenuhi galagasi. Dindingnya lapuk dimakan usia, di langit-langit bergelantungan kelelawar yang menebarkan aroma khas. Selain kelelawar, ada beberapa anjing gunung menempati bangunan ini.

Dahulu, tempat ini bebas ditempati siapa saja asalkan bisa merawatnya. Mungkin juga masyarakat setempat membiarkan pendatang baru untuk diuji nyalinya, seperti acara televisi yang dipandu almarhum Torro Margens.

Menurut cerita yang saya ketahui, tidak ada yang bisa bertahan di sini lebih dari satu bulan karena gangguan makhluk gaib. Baik mereka yang hanya ingin tinggal sejenak atau memang berburu harta karun.

Teror makhluk gaib ini bisa terjadi kapan saja. Tidak pilih-pilih waktu, selalu bergentayangan, penampakannya “dihadiahkan” bagi orang-orang penakut.

“Tapi tidak untuk kami!” Kata Uncup, Windo, dan Denny Tan seraya meyakinkan agar saya ikut berburu harta karun.

Terakhir, sekitar tahun 70-an, ada sepasang suami-istri dari pulau seberang yang tinggal di Toapekong dan bisa bertahan hampir tiga bulan. Luar biasa.

Tapi, setelah memasuki bulan ketiga, akhirnya mereka tumbang juga.

Ceritanya begini….

Saat tengah malam, ada tiga orang ahli mesin sedang bekerja memperbaiki  mesin kapal di pelabuhan kecil di tepian Sungai Mahakam. Posisi pelabuhan tidak jauh dari Toapekong. Setelah selesai, mereka pulang jalan kaki, beberapa menit kemudian, ada jeritan panjang dari arah Toapekong.

Mendengar jeritan tadi, mereka saling pandang dengan jantung berdebar! Mereka sepakat untuk mendatangi asal suara tadi. Setelah sampai di atas, dengan penerangan lampu senter masing-masing, mereka melihat laki-laki paruh baya duduk di atas bangku panjang terkulai lemas bersandar dinding, jari tangannya memegang sebatang rokok yang masih mengepulkan asap. Anehnya, asap rokok kretek yang masih menyala itu menebarkan aroma dupa hio yang menyengat.

Di ruang dalam, ada seorang wanita duduk di pojokan dengan mendekap kedua lututnya terlihat sangat ketakutan. Sesekali dia meracau, seperti orang kesurupan.

“Tidak… bukan saya, bukan saya….”

Kalimat itu diulanginya berkali-kali. Karena khawatir terjadi apa-apa, suami-istri ini langsung dipindahkan ke rumah penduduk.

Esok harinya, wanita itu bercerita dengan terbata-bata….

Saat itu dia sedang jalan menuju teras untuk memanggil suaminya. Namun, dia mendapati suaminya duduk bersanding dengan orang berjubah labuh (baju tradisional Cina) memegang segenggam dupa hio dan… tanpa kepala!

Yang mengejutkan lagi, asap hio juga keluar dari lubang lehernya! Terlihat dengan jelas suaminya tidak berdaya. Setelah itu, dia menjerit dan lari ke dalam bangunan. Celakanya, dia melihat kepala manusia di sudut ruang yang lalu mengikutinya dengan cara menggelinding begitu saja!

Kepala tersebut menyeringai dan bertanya dengan lengkingan tinggi, “Siapa yang menggali!”

Setelah itu, dia tidak sadarkan diri. Pasangan suami dan istri ini tidak pernah punya niat mencari harta karun. Namun, tetap saja dihantui penunggu Toapekong tua itu. 

Kejadian ini sudah berlalu hampir 10 tahun.

Suatu malam, rumah saya dikunjungi laki-laki yang tidak dikenal. Perawakannya sedang, kulitnya putih dan matanya sipit seperti keturunan Tionghoa. Dia memberikan lipatan kertas dalam amplop merah beraroma dupa hio.

Dia menyuruh saya  memberikan amplop kepada Denny Tan. Setelah itu, dia pamit.

Esok harinya, saya langsung menghubungi Denny Tan, Uncup, dan Windo. Denny Tan membuka amplop merah yang bertuliskan aksara Hanzi. Setelah  dibaca (karena hanya dia yang bisa membaca huruf Hanzi) Denny Tan tersenyum. Dia menjelaskan bahwa benar di Toapekong tua itu ada harta karun yang dipendam berikut titik-titik lantai yang perlu digali.

Saya membatin, kenapa peta harta karun itu dititipkan kepada saya? Dan siapa orang itu? Mencoba meyakinkan diri, saya memutuskan ikut menggali harta karun tak bertuan ini.

Hari penggalian sudah kami sepakati. Untuk menghindari kegaduhan, sekitar pukul 23.00 kami akan bergerak menuju lokasi dengan peralatan seadanya. Uncup dan Windo membawa cangkul dan linggis, Deny Tan memegang peta dan senter, saya kebagian menyiapkan tas kulit ukuran sedang untuk memuat hasil galian dan senter siap di tangan.

Lolongan anjing gunung yang menyayat gelapnya malam seperti mengucapkan selamat datang pada kami.

Sampai di gapura kayu yang berlumut, aroma dupa hio sudah tercium kuat, padahal jarak Toapekong masih 50 meter. Kami saling pandang, Windo yang biasanya tersenyum simpul terlihat keningnya mengkerut, seperti menghitung ulang untung-rugi misi ini, seraya mengisap rokok dalam-dalam.

Kami berempat terus merangsek dan pantang mundur. Kami bukan penakut. Keuntungan sudah di depan mata!

Setelah memasuki area Toapekong, yang tercium kuat bukan dupa hio, tapi berganti bau kotoran kelelawar. Uncup yang paling berani masuk ke teras bangunan untuk membuka pintu utama, dikuntit Denny Tan sambil menyorotkan senternya ke arah dalam.

Tiba-tiba, terdengar suara gaduh. Suara decitan ratusan tikus dan kepakan sayap kelelawar yang berhamburan keluar melalui pintu yang telah terbuka. Pipi kiri Uncup banyak mengeluarkan darah akibat terjangan ratusan kelelawar. Denny Tan lebih runyam lagi, kedua kakinya digigit beberapa ekor tikus.

Dia kesakitan, kakinya menjadi keram, mungkin efek bakteri dari lendir tikus masuk melalui luka. Konyolnya, peta harta karun di tangan Deny Tan terjatuh di atas gerombolan tikus lalu tercabik-cabik digigit hewan pengerat ini yang menghilang di kegelapan sudut hutan.

Satu-satunya petunjuk lenyap. Saya membatin, apakah penggalian harta karun bisa dilanjutkan tanpa peta?

Ruang dalam Toapekong kembali senyap. Kami membisu. Saya menyorotkan lampu senter ke arah dalam. Kami berempat masuk berbarengan.

Di dalam, baunya campur aduk. Bau kotoran kelelawar, kencing tikus, dan bau dupa hio diikuti asap tipis yang mengambang di atas ruang bangunan ini. Suasana saat itu sangat mencekam.

Keberanian saya mulai luntur. Saya memegang tangan Windo untuk memastikan linggis tetap di tangannya. Tapi tangan Windo anyep dan berkeringat, ternyata ketegangan juga dialami Windo.

Tanpa buang waktu, Denny Tan menyorotkan senternya ke titik yang harus digali karena dia sudah menghafal petanya. Uncup dan Windo langsung bekerja, semen di lantai sudah banyak terkelupas, bahkan bongkahan semennya sangat mudah digeser dengan linggis, seperti sudah pernah dibongkar sebelumnya.

Setelah Uncup sampai di kedalaman 20 sentimeter, mata cangkulnya terbentur benda keras! Dengan cekatan, Windo membantu dengan linggisnya. Ternyata benda itu peti harta karun!

Peti harta karun itu berukuran 40×50 sentimeter, tinggi 40 sentimeter dengan tutup atasnya sedikit melengkung dan masih tergembok rapi. Denny Tan memberi isyarat dengan wajah semringah bahwa benda ini sesuai dengan petunjuk di peta yang dibacanya. Kami berempat saling pandang dengan mata berbinar, ternyata semudah ini mendapatkannya!

Tidak sampai sepersekian detik, ada suara bangku digeret. Denny Tan menyorotkan senternya ke arah suara tadi. Saya juga ikut memperjelas dengan lampu senter yang saya pegang. Ada sosok di sudut ruangan.

Terlihat dengan jelas tangannya memegang segenggam dupa hio yang menyala. Dia duduk di kursi panjang… dan tanpa kepala!

Di lubang lehernya mengeluarkan asap tipis menjalar dan mengambang di bawah langit-langit bangunan. Saya teringat dengan cerita suami-istri yang pernah melihat makhluk penunggu harta karun ini. Ternyata “dia” sudah di hadapan saya!

Sekujur badan saya gemetar. Badan ini terasa melayang saking takutnya karena samar-samar saya mengenal “orang” ini. Uncup dan Windo dengan cangkul dan linggis di tangan mengamankan peti tersebut.

Dengan mental baja, Denny Tan mendekati makhluk tersebut sambil berbicara lirih dengan bahasa yang kami tidak mengerti. Setelah itu, makhluk gaib tersebut menghilang, yang tertinggal hanya dupa hio yang berserakan di lantai dengan keadaan menyala.

Kuakui, sahabat saya ini orang-orang pemberani….

Denny Tan memberi isyarat untuk segera membongkar peti tersebut dan menyudahi misi ini dan segera angkat kaki. Windo bergerak cepat membuka dengan linggisnya.

“Krak!”

Peti harta karun terbuka karena sungkitan linggis Windo. Apa lacur! Isinya bukan emas batangan tapi kepala manusia yang menyeringai dan saya mengenalnya. Orang ini yang menitipkan amplop berisi peta harta karun!

Tanpa diberi aba-aba, kami berempat lari berhamburan keluar bangunan Toapekong untuk menyelamatkan diri. Saya dan Denny Tan tertinggal di belakang. Tas kulit yang saya bawa menjadi sangat berat seperti ada isinya. Mungkin ini penyebab lari saya tidak sekencang Uncup dan Windo.

Tanpa pikir panjang, saya buang tas di pelataran. Tapi, kejadian selanjutnya membuat saya terperanjat. Dari dalam tas, kepala manusia menggelinding dan terus menggelinding melampaui saya dan Denny Tan dan mengadang kami di tengah gapura kayu.

Saya berhenti berlari, tapi tidak Denny Tan. Sambil menyorotkan senternya, dia melangkah terus menuju gapura. Saya lihat dia seperti berbicara kepada potongan kepala itu. Tidak berapa lama, kepala tersebut menggelinding ke sudut hutan dan lenyap.

Waktu sudah mendekati fajar, kami berkumpul di pelabuhan kecil di tepian Sungai Mahakam. Kami bersepakat untuk menghindari kegaduhan dengan tidak menceritakan pengalaman mencari harta karun ini kepada keluarga dan penduduk setempat.

Tapi tentu tidak untuk pembaca rubrik Malam Jumat….

BACA JUGA Misteri Tulang-belulang di Gunung Selendang dan Kloning Alam Gaib dan kisah menyeramkan lainnya di rubrik MALAM JUMAT.

Exit mobile version