MOJOK.CO – Rasa penasaran mendaki Gunung Guntur membuat saya mengiyakan ajakan seorang teman. Keputusan yang pada akhirnya saya sesali. Kapok.
Awal Januari 2019, untuk pertama kalinya saya mendaki Gunung Guntur. Ini pengalaman pertama saya naik gunung.
Sebetulnya, jarak rumah saya dengan Gunung Guntur nggak begitu jauh. Namun, tekad saya nggak kunjung bulat untuk naik gunung karena cerita-cerita orang tua zaman dulu. Katanya, Gunung Guntur itu mistis, banyak penunggunya. Sialnya, ketika akhirnya menginjakkan kaki di gunung itu, saya membuktikkan sendiri kalau cerita orang zaman dulu benar adanya.
Jadi begini ceritanya….
Saat itu, kakak kelas saya, namanya Kang Reza, ketua salah satu komunitas pendaki di Garut, punya rencana naik Gunung Guntur di awal tahun. Ketika mengumumkan rencana itu, hanya ada dua anggota komunitas yang mau menemani.
Kang Reza sempat mau membatalkan rencana. Kang Reza punya prinsip tidak mau naik gunung kalau yang jalan cuma tiga orang. Oleh sebab itu, Kang Reza menghubungi saya. Saat itu Sabtu siang. Lantaran penasaran pengin naik Gunung Guntur, saya mengiyakan ajakan Kang Reza.
Singkat cerita, sekitar pukul 17.30 WIB, kami berempat sudah sampai di lokasi penitipan motor. Sebelum jalan, kami berdoa dulu. Setelah itu, Kang Reza mengatur posisi jalan.
Kang Reza menyuruh saya jalan di urutan ketiga. Aa Asep kedua dan Ucup paling belakang. Usia Ucup nggak beda jauh sama saya. Namun, karena jam terbang muncak gunung lebih tinggi, Kang Reza menyuruh Ucup jalan paling belakang.
“Nanti naiknya santai saja, ya. Kita barengan, berdekatan. Senter jangan lupa dinyalain,” ucap Kang Reza. Kami bertiga mengangguk.
Baru berjalan beberapa langkah, belum juga sampai kaki gunung, hujan mulai turun. Geludug sudah dar-der-dor. Kang Reza menyuruh kami mematikan hape.
Sesampainya di kaki Gunung Guntur, jalur perjalanan kami mulai menanjak. Sepanjang perjalanan, saya perhatikan wajah Kang Reza terlihat gembira karena keinginannya untuk muncak di awal tahun tercapai. Aa Asep juga sama. Setelah capek bekerja, naik gunung jadi pelampiasan. Sementara itu, wajah Ucup terlihat pucat.
Saya sempat bertanya, “Cup, kunaon?”
Ucup menggelengkan kepala. Seolah nggak punya tenaga untuk menjawab dengan suara.
Hari mulai gelap. Sesekali, saya memandang ke langit. Setelah hujan reda, awan hitam masih bergelayut. Jangkrik mulai berisik.
Gunung Guntur tidak hanya terkenal akan cerita mistisnya. Banyak orang bercerita kalau di jalur menuju puncak banyak berkeliaran babi hutan. Mereka suka berkeliaran mencari makanan di dekat tenda pendaki. Beberapa pendaki sering menyimpan barang di dalam tenda supaya tidak menarik perhatian babi hutan. Nah, sebelum sampai ke puncak satu, saya bertemu dengan “babi sialan” itu.
“Istirahat dulu, Kang,” kata saya sambil terengah-engah. Kelihatan banget kalau saya pendaki pemula.Saya melirik jam tangan yang saya pakai. Ternyata sudah pukul tujuh lebih.
“Ya, silakan istirahat dulu,” jawab Kang Reza. “Saya sama Asep mau lanjut naik sambil bikin tenda. Bentar lagi sampai,” tambahnya.
Saya terpengarah mendengar Kang Reza bilang begitu. Iya, saya tahu, Ucup juga bilang puncak satu tidak jauh lagi. Tapi, di awal perjalanan, Kang Reza sudah mengingatkan untuk selalu berjalan bersama. Nyatanya, saya dan Ucup ditinggal. Namun, karena terlalu capek, saya tidak sempat bilang ke Kang Reza.
“Ayo, lanjut,” ajak Ucup.
“Ayo.”
Kami berdua lanjut jalan lagi. Belum ada tiga meter berjalan, perasaan saya mulai tak enak. Cerita mistis Gunung Guntur terngiang lagi. Saya dan Ucup berjalan dalam diam. Suasana hening sekali.
Saking heningnya, suara napas saya yang berat karena capek itu terdengar cukup nyaring. Tidak lama, di sisi kanan saya suara daun bergesekan terdengar jelas. Saya menengok dan menajamkan pandangan. Saya melihat seekor babi. Besar sekali. Posisinya memunggungi saya. Saat itu, saya berpikir kalau itu babi dewasa lagi berak.
“Cup, ada babi hutan. Besar banget.”
Mendengar kalimat saya, Ucup diam mematung. Otomatis saya berhenti berjalan. Entah kenapa Ucup tidak mau menengok untuk melihat babi itu. Dia memberi kode supaya kami melanjutkan perjalanan saja. Saya menurut. Sambil berjalan pelan, saya menengok lagi ke arah babi hutan itu.
ASTAGHFIRULLAH!
Mata babi hutan itu merah menyala! Seumur hidup saya tidak pernah tahu kalau mata babi itu berwarna merah. Nggak mungkin, dong, babi itu lagi belekan atau jadi merah karena kurang tidur.
Sambil berjalan pelan, saya terus mengucapkan astaghfirullah dalam hati.
Ucup bertanya, “Ada apa, A?”
“Mata babinya merah, Cup. Apa ada babi kayak gitu!”
Ucup menggelengkan kepala dengan cepat. “Di Gunung Guntur nggak ada yang kayak gitu. Aa saja yang salah lihat. Itu babi biasa.”
Setelah irit bicara, Ucup seperti memuntahkan kalimat tadi. Anehnya, dia mengucapkan kalimat itu dengan tergesa-gesa. Seperti ketakutan.
“Yakin, Cup?
“Sudah, ayo jalan saja!”
Saya menurut.
Sesampainya di puncak satu, tepatnya di dalam tenda, saya hanya diam. Membisu. Saya tidak berani menceritakan pengalaman itu ke Kang Reza. Takut dianggap halu seperti yang Ucup sangka tadi. Ucup sendiri juga diam saja dan langsung memilih tidur.
Pukul 01:00 WIB, Kang Reza membangunkan kami untuk melanjutkan perjalanan ke puncak tiga. “Menuju puncak tiga, hati-hati banyak kerikil, bakalan licin,” pesan Kang Reza.
Jalur menuju puncak tiga memang lebih sulit. Bau belerang menemani perjalanan kami. Dasar pendaki pemula, saya banyak berhenti untuk beristirahat. Kang Reza meminta Ucup untuk menemani saya. Sementara itu, Kang Reza dan Aa Asep lanjut. Sekali lagi, saya heran Kang Reza melanggar pesannya sendiri. Dalam hati saya berpikir, mungkin Kang Reza sudah tidak sabar sampai puncak Gunung Guntur.
Jarak saya dan Ucup dengan Kang Reza dan Aa Asep sudah agak jauh. Lagi-lagi, saya dan Ucup cuma diam saja ketika beristirahat.
Tiba-tiba Ucup berkata, “A, saya istirahat dulu, Aa kalau mau lanjut, lanjut aja.” Rasa heran dan kesal karena Ucup tidak percaya ada babi hutan berwarna merah bercampur. Saya memutuskan jalan lagi, tapi tidak menjawab kata-kata Ucup.
Fokus saya terarah penuh ke jalur yang penuh kerikil. Sambil berzikir, saya berjalan pelan. Tidak lama, Ucup memanggil saya berulang-ulang. “Aa, tunggu! Tunggu!”
Di sini saya merasa bersalah. Seharusnya saya menunggu Ucup sampai ke posisi saya. Naik gunung sebaiknya selalu bersama, jangan sampai terpisah. Namun dasar amatiran, saya tidak menanggapi suara Ucup. Paling dia kasihan karena saya dibiarin jalan sendiri. Batin saya begitu.
Ketika Ucup berhasil menyusul, saya lihat keringatnya bercucuran. Napasnya tersengal-sengal. Saya mengerutkan dahi. “Ada apa, Cup?”
“Di sana tadi ada yang manggil nama saya. Suara perempuan. Manggil nama saya tiga kali. Ucup. Ucup. Ucup. Karena takut, saya langsung susul Aa.”
Lagi-lagi saya melakukan kesalahan. Naik gunung tidak boleh sombong dan emosian. Namun, karena kesal, saya agak ketus ketika menjawab Ucup.
“Di Gunung Guntur ini nggak ada apa-apa, Cup. Paling perempuan biasa.” Ucup agak kaget mendengar jawaban saya. Kami berdua tidak mau berdebat soal cerita mistis Gunung Guntur. Kami memutuskan segera melanjutkan perjalanan.
Sesampainya di puncak ketiga, saya bertanya ke Kang Reza kenapa kami ditinggal. Jawaban Kang Reza bikin saya merinding.
Kang Reza dan Aa Asep menjawab kalau naik Gunung Guntur sebaiknya cepat sampai puncak. Mereka sudah pernah mendengar suara perempuan menangis di jalur pendakian. Namun, karena saya harus istirahat, Kang Reza tidak berani bilang. Kalau dipaksa terus jalan, saya bisa cedera. Mereka berdua bercerita sambil tersenyum, tapi saya malah merinding.
“Yang penting ada yang menemani,” kata Kang Reza dengan nada agak menyesal sudah meninggalkan saya dan Ucup.
Pagi harinya, sekitar pukul tujuh, kami turun gunung. Kami turun berbarengan dengan banyak pendaki. Kami sempat menyaksikan pemandangan horor ketika seorang pendaki dari Sumedang jatuh menggelinding di jalur pendakian. Untung saja pendaki lainnya sempat menyelamatkan.
Di situ, Kang Reza dan Aa Asep langsung bergegas ikut membantu. Sementara itu, saya dan Ucup cuma saling pandang. Kami sama-sama ngeri sampai tidak bisa bergerak.
Ucup berbisik kepada saya, “Aa, kapok saya naik Gunung Guntur.”
“He’eh, euy.”
*Cerita ini diambil dari kisah nyata. Nama di dalam cerita dicantumkan atas seizin yang punya.
BACA JUGA Dikuntit Tangan dan Kaki Genderuwo dari Salah Satu Gunung Keramat dan kisah mistis lainnya di rubrik MALAM JUMAT.