MOJOK.CO – Posisi kami masih ada di hutan bambu Alas Purwo ketika Magrib datang. Detik-detik ketika 2 orang yang saya kasihi ditelan kegelapan hutan.
Baca dulu bagian 1 di sini: Ekspedisi Alas Purwo: Penjelajahan Pertama ke Hutan Angker (Bagian 1).
Baru beberapa jam berlalu, tapi saya sudah merasa letih sekali. Mungkin, pekerjaan sebagai peneliti dan arkeolog bukan pekerjaan yang cocok untuk saya. Baru saja selesai meneliti, kami harus melanjutkan perjalanan ke titik lain. Sampai di tengah perjalanan, saya melihat bapak tua yang mungkin sudah berusia 60 tahunan atau lebih berdiri di pinggiran jalan.
Tidak jauh dari tempat si bapak tua itu berdiri, Uncle Jack memberhentikan mobil dan kami sepertinya akan mengarah masuk ke dalam hutan belantara lewat jalan setapak. Saya pikir awalnya bapak tua itu adalah pertapa. Ternyata, dia adalah kuncen atau juru kunci Alas Purwo.
Saya rasa Uncle Jack sudah tahu identitas di bapak tua ini. Jadi, kami langsung berhenti ketika berpapasan dengannya. Sayang sekali saya tidak diizinkan untuk menuliskan nama kuncen Alas Purwo di tulisan ini. Seterusnya, saya akan menggunakan nama Mbah Kuncen.
Bertemu dengan juru kunci Alas Purwo
Sebelum masuk area pedalaman hutan Alas Purwo, tim ekspedisi sempat mengobrol sebentar dengan Mbah Kuncen. Karena kami bertujuan untuk meneliti dan mengambil sampel artefak sejarah dan flora, Mbah Kuncen juga merekomendasikan beberapa tempat yang layak diteliti.
Jika menyimak saran dari Mbah Kuncen, kami direkomendasikan untuk masuk ke jalur napak tilas. Ada juga yang menyebutnya sebagai jalur pertapa. Mbah juga banyak merekomendasikan gua-gua bersejarah yang ada di Alas Purwo. Salah satunya adalah Gua Istana yang memang sudah sangat terkenal. Yah, kalau saya lihat dari daftar objek yang akan diteliti, Gua Istana memang termasuk.
Saat itu, Mbah Kuncen juga sedikit bercerita soal sarkofagus tua yang berada di Gua Istana. Selain itu, konon katanya, gua itu juga menjadi saksi bisu pertemuan Presiden Pertama Indonesia, Ir. Sukarno dengan Nyi Roro Kidul, Ratu Pantai Selatan.
Setelah selesai berbincang-bincang, kami melanjutkan perjalanan. Uncle Jack memberikan HT untuk masing-masing orang. Setelah semua alat berfungsi dengan baik, kami siap-siap mengambil perkakas dan tas carrier masing-masing. Saya, Ajay, dan Dinda hanya membawa tas daypack saja karena kami juga sepertinya tidak akan mengikuti kegiatan ekspedisi ini sampai selesai.
Awalnya, Uncle Jack sebagai ketua ekspedisi ingin melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Namun, lokasi Gua Istana ternyata masih cukup jauh. Sementara itu, akses jalan masih bisa dilalui mobil. Maka, sembari menuju ke Gua Istana, kami akan mengambil sampel di hutan bambu Alas Purwo.
Sebelum kami pergi, Mbah Kuncen sempat memberikan peringatan kepada kami. Saya masih ingat betul kata-kata beliau.
“Apa saja yang akan dilihat dan yang akan terjadi, jangan lupa tujuan dan niatmu datang ke tempat ini. Berpegang teguh pada keyakinan yang ada di hati. “Mereka” akan mencoba merasuk ke dalam hati dan pikiranmu. Maka, jagalah hati dan pikiranmu dari hal-hal negatif”
Menampik larangan Alas Purwo
Saya agak sedikit aneh mendengar kata “mereka”. Siapa yang dimaksud oleh Mbah Kuncen? Apakah “mereka” itu para pertapa? Apa mungkin “mereka” itu adalah penghuni Alas Purwo? Saya sempat menanyakan itu ke Uncle Jack. Namun, paman saya itu melarang saya memikirkan hal-hal seperti itu.
Paman saya menjelaskan, biasanya, orang-orang zaman dahulu itu memang suka memakai bahasa kiasan. Tujuannya untuk meyakinkan anak, cucu, dan keturunannya agar tidak melanggar larangan. Ya intinya sih, kami harus mengutamakan sopan santun di mana saja kami berada dan jangan melewati batasan-batasan tertentu.
Sayangnya, Damian yang memang tidak percaya dengan hal-hal mistis malah seperti menertawakan peringatan Mbah Kuncen. Dia menampik semua yang disampaikan oleh juru kunci Alas Purwo itu. Baginya, itu adalah mitos semata bahkan terdengar seperti dongeng untuk anak kecil. Bahkan, Damian masih sempat-sempatnya menakuti saya, Ajay, dan Dinda dengan berkata ada sesuatu di pinggiran jalan, di balik pohon. Melihat reaksi kami yang ketakutan, dia tertawa puas.
“Lihat, itu karena kalian terlalu gampang percaya dengan omongan orang tua tadi. Lebih baik kalian santai saja dan jangan terlalu dipedulikan, itu hanya sekadar cerita dongeng di luar nalar logika manusia. Aku sih nggak percaya dengan hal-hal gaib seperti itu.” Ujar Damian dengan Bahasa inggris.
Yah, Damian mungkin tidak tahu kalau di balik pohon-pohon Alas Purwo, memang ada yang mengawasi kami….
Awal mula keganjilan
Saya sempat beradu mulut dengan lelaki Australia itu. Bagi saya, hal-hal gaib itu ada dan memang hidup berdampingan dengan manusia. Tapi percuma menjelaskan, toh memang dia tidak meyakini hal tersebut.
Kami sempat terdiam dan hening saat di perjalanan sebelum terdengar suara ledakan cukup keras.
Kami semua dikagetkan dengan suara ledakan ban mobil. Mendengar itu, spontan Uncle Jack memberhentikan mobilnya. Ethan segera turun untuk memastikan kondisi ban mobil kami. Dia mengisyaratkan kondisi ban mobil kami sudah sangat buruk. Padahal, sebelum berangkat, semua komponen mobil diperiksa. Hasilnya, semua dalam kondisi terbaik.
Baru juga setengah jalan, kami harus dihadapkan dengan kondisi seperti ini. Uncle Jack menyuruh saya, Ajay, Dinda dan Damian untuk turun dari mobil. Mendengar obrolan Ethan dengan paman, sepertinya kami tetap harus melanjutkan perjalanan dengan menumpang mobil tim lain.
Saat itu, tim kami dibagi ke dalam tiga mobil. Saya dan Ajay ikut mobil kedua, Ethan dan Dinda ikut mobil ketiga, dan Uncle Jack serta Damian berada di mobil keempat. Cukup desak-desakan karena mobilnya sudah sesak oleh perkakas untuk keperluan ekspedisi. Kalau tidak salah menghitung, butuh waktu sekitar 7 menit berjalan, kami sampai di dekat lokasi gua. Mobil kami tinggal di Pos Pancur dan lanjut berjalan kaki menuju Gua Istana tersebut.
Baca halaman selanjutnya
Histeria di hutan bambu Alas Purwo