Kisah Saat Berjaga di Bangsal Paru

Selamat malam, Pembaca. Di rubrik malam jumat ini, ijinkan saya menceritakan sebuah kisah yang sebenarnya nggak serem-serem amat. Kisah ini saya alami sewaktu saya dulu bertugas menjadi perawat dan berjaga di sebuah rumah sakit.

Jadi ceritanya, saya mendapatkan tugas jaga di ruang rawat (bangsal) paru. Nah, sekitar jam 10 pagi, masuk pasien TBC. Bapak-bapak. Agak tua gitu. Dia dirawat di ruang isolasi pria. Selain TBC, si pasien ini juga masuk dengan keluhan lain, kejang atau stroke, saya agak lupa.

Nah, singkat kata, karena keluhannya yang bukan hanya TBC, si pasien ini direkomendasikan oleh dokter spesialis paru untuk konsul ke dokter bagian saraf.

Sekitar pukul satu siang, si bapak ini resmi dipindah rawat dari bangsal paru ke bangsal saraf. Karena saya yang pegang pasien, jadi saya ikut nungguin saat beberes pindah bangsal. Saat itu, si pasien sendiri di ruang isolasi, posisi dia berada di bed ujung deket pintu, dia cuma ditemani oleh istrinya. Setelah semua beres, sebelum ashar, beliau sudah didorong pindah bangsal.

Setelah mengantarkan beliau ke bangsal saraf, saya balik lagi ke bangsal paru, tempat saya bertugas.

Saya kebetulan jaga 24 jam di bangsal paru. Pasien rame banget, riweuh sampai malam. Meja jaga saya lokasinya berada persis di seberang ruang isolasi yang memang kosong karena satu-satunya pasien ruang isolasi, yakni si bapak tadi sudah dipindah ke bangsal saraf.

Nah sekitar pukul 10 malam, di sela saya menyalin resep, sepintas saya lihat lampu di ruang isolasi tiba-tiba menyala.

Dari meja jaga, saya melihat seperti ada orang yang berdiri di samping bed ujung, orang itu seperti sedang mencari sesuatu. Saya belum mikir yang aneh-aneh, saya pikir dia perawat.

Setelah agak lama, saya mencoba menengok ke arah bed, lampunya masih menyala, dan orang yang tadi saya lihat ternyata masih berada di sana. Menghadap pintu. Butuh waktu sejenak untuk kemudian menyadari bahwa orang itu adalah bapak pasien yang tadi siang pindah ke bangsal saraf.

Saya bisa mengenalinya dengan jelas, sebab selain jarak kami yang memang cukup dekat, lampu ruangan juga menyala dengan terang. Saya berpikir mungkin ada barang miliknya yang ketinggalan. Namun anehnya, kok beliau kuat berdiri terus menerus di tempat yang sama dalam waktu yang lama.

Saya niatnya mau nyamperin. tapi nggak sempat karena keburu dipanggil ke ruang rawat lain, jadi bolak balik, entah kenapa mau duduk sebentar aja susah.

Nah, pas aku balik ke meja jaga, aku coba cek daftar pasien. Pas aku baru duduk lagi terus ngangkat muka, si bapak pasien mendadak sudah berdiri di depan saya, di pinggir meja tempat saya jaga.

Mejanya tinggi, kursinya rendah. Kaya meja informasi gitu. Cuma kelihatan dari dada ke atas dan aku harus ngedongak gitu. Beliau diem aja. Menatap saya, tapi sebentar banget.

Setelah itu, kalau nggak salah, ada perawat yang manggil, saya kemudian menoleh ke arah perawat yang manggil saya, dan pas saya nengok lagi ke arah depan, si bapak sudah hilang.

Saya tentu saja langsung auto ndredeg.

Nah, setelah 24 jam berlalu, besoknya pas sarapan di kantin, saya ketemu teman saya yang jaga di bangsal saraf. Kami berdua ngobrol-ngobrol.

Tadinya saya nggak ingat dengan kejadian semalam, sampai dia tiba-tiba bilang, “Beb, sori belum ngabarin, pasienmu yang rawat alih kemaren udah meninggal…”

“Siapa? Bapak TBC dari bangsal paru kemarin?” tanya saya agak kaget.

“Iya…”

“Kapan?”

“Nggak lama setelah pindah, agak sorean.”

Dheeeeeeeg. Lalu yang semalam siapa?

~Bebi Putri Ramadhan (@beeramadhan)

Exit mobile version