MOJOK.CO – Sebagai mall bekas rumah sakit, cerita mengerikan selalu muncul di sekitar kami, termasuk soal jenazah yang mengganggu tukang sate.
Cerita ini aku dapat dari seniorku di tempat kami bekerja—sebuah klinik kecantikan yang berada di sebuah mal di Kota Solo. Kata seniorku, sebut saja namanya Mbak Ratri, mall ini adalah bangunan mall bekas rumah sakit.
“Dulu sekali, rumah sakit ini diputuskan untuk dibangun ulang menjadi mall. Semua isi di dalam rumah sakit harus dipindahkan, sementara gedungnya dihancurkan,” tutur Mbak Ratri.
“Semua isinya?”
“Iya, semua isinya.”
“Termasuk…” Aku tak melanjutkan kalimatku karena merasa sedikit ngeri.
“Kalau maksudmu soal kamar jenazah,” sambung Mbak Ratri, “ya benar, isi kamar jenazah tentu turut dipindahkan.”
Mbak Ratri menyeruput teh di hadapannya sebelum melanjutkan ceritanya soal mall bekas rumah sakit.
Bertahun-tahun lalu, mall ini memang dibangun dari sebuah rumah sakit. Bertahun-tahun kemudian, ada banyak kisah angker yang beredar di sekitar kami. Yang paling populer, adalah apa yang Mbak Ratri tuturkan padaku.
Dulu sekali, saat penghancuran dinding rumah sakit masih 40%, seorang tukang sate lewat di depan reruntuhan bangunan. Malam hari itu, seorang wanita keluar dari gedung dan memanggil si tukang sate.
“Mas, satenya seporsi, nggih.”
“Iya, Mbak. Pedas?”
“Sedang saja,” jawab si wanita sambil menunggu pesanannya dibuat. Tak berapa lama, satenya sudah jadi.
“Saya makan di dalam, ya, Pak? Nanti piringnya saya kembalikan,” kata si wanita sambil menunjuk arah ke dalam ruangan di gedung belakangnya. Tukang sate tadi setuju. Pikirnya, ia bisa sambil duduk-duduk beristirahat sejenak. Malam itu cukup melelahkan baginya.
Selagi ia duduk dan menunggu, seorang pria datang menghampiri. Seragamnya menunjukkan bahwa dirinya adalah satpam yang bertugas malam itu.
“Pak, lagi istirahat?” sapa si Satpam tadi, berbasa-basi. Dalam hatinya, ia keheranan juga melihat tukang sate duduk-duduk santai di bangunan bekas rumah sakit malam hari.
Si tukang sate tersenyum sedikit, lalu menjawab, “Iya, Pak. Saya lagi nungguin piring. Itu tadi ada mbak-mbak yang pesen sate di dalam.”
Raut muka Pak Satpam langsung berubah terkejut. Setahunya, ia sendirian malam itu. “Perempuan, Pak? Kayak apa? Hari ini yang jadwal jaga di sini cuma saya, kok, Pak.”
“Ada, kok, Pak. Mbak-mbak gitu, rambutnya agak panjang. Cantik,” terang si tukang sate. Tidak ada kecurigaan dalam suaranya karena ia ingat betul rupa wajah pembelinya.
“Dia makan di dalam?” kejar Satpam. Tukang sate mengangguk. Sejurus kemudian, mereka berdua masuk ke dalam untuk mencari wanita tadi karena sudah cukup lama tukang sate menunggu piringnya kembali.
Sialnya, arah yang tadi ditunjuk oleh si wanita ke tukang sate rupa-rupanya adalah lorong menuju kamar jenazah. Padahal, setahu satpam tadi, jenazah di kamar jenazah rumah sakit ini belum jadi dipindah. Orang macam apa yang seberani itu makan sendirian tengah malam di kamar jenazah?
“Coba masuk ke dalam, ya, Pak?” kata si Satpam. Tukang sate tadi setuju. Pikirnya, mungkin si wanita memang makan di dalam.
Pintu dibuka. Ada beberapa kasur dengan jenazah terbaring ditutupi kain putih. Mendadak, segalanya terasa merinding bagi mereka berdua. Rasanya sulit membayangkan suatu hari tempat ini akan diubah sebagai mall, atau lebih tepatnya mall bekas rumah sakit.
Satpam tadi, sementara itu, mulai mencari keberadaan seseorang di dalam ruangan.
“Itu piring sate Bapak?” tanya si Satpam, sambil menyorotkan cahaya senternya ke sebuah piring yang berada di atas meja kecil di sisi sebuah ranjang jenazah. Si tukang sate mendekat, lalu berkata, “Wah iya, ini piring saya, Pak. Tapi, kok, satenya sudah habis, ya?”
Si Satpam tadi tak menjawab. Kepalanya juga dipenuhi tanda tanya. Secara refleks, ia menyibak kain putih yang menutupi jenazah di samping meja kecil tadi. Sontak, mereka berdua terkejut bukan kepalang melihat apa yang ada di hadapan mereka.
Jenazah wanita ini terbujur kaku dan dingin, tapi di sekitar mulutnya terdapat banyak bekas bumbu sate. (A/K)