Ketika Kuntilanak Menyamar Jadi Santri di Pondok Pesantren

MOJOK.CO Aliya bilang, jumlah santrinya hanya 8 orang. Saat mengajar, ia baru menyadari jumlah santrinya hari itu bertambah satu: 9 orang. Ada kuntilanak menyamar!

Suatu hari, Aliya datang bercerita padaku soal pengalamannya 5 tahun lalu saat merintis sebuah pondok pesantren kecil di daerah Serang. Katanya, dia senang karena mendapatkan rumah untuk pondokan dengan harga murah—jauh di bawah standar. Namun begitu, ia juga mendengar kabar bahwa rumah yang ia beli memiliki kisah horor di baliknya.

“Dulunya bekas pabrik,” tambah Aliya sambil meneguk teh yang aku buat. Setelah mencomot biskuit, ia melanjutkan lagi ceritanya.

Pondok yang dibangun Aliya adalah pondok pesantren kecil di rumah tadi, yang sekaligus menjadi rumah tinggalnya bersama suami dan anaknya. Mulanya tak ada yang aneh, hingga suatu ketika Aliya mengalami sesuatu yang membuatnya sedikit ketakutan.

Saat itu pagi-pagi; Aliya, suami, dan anaknya tentu bersiap mandi satu per satu di kamar mandi. Saat Aliya akan masuk ke dalam kamar mandi, anaknya tiba-tiba berlari masuk terlebih dahulu, membuatnya harus menunggu di depan kamar mandi yang langsung ditutup. Lima menit, sepuluh menit—lama-lama Aliya merasa waktunya terlalu lama. Berkali-kali, ia menggedor pintu kamar mandi dan memanggil anaknya, “An… An… Udah belum?”

Tapi, tak ada jawaban.

“An?” panggil Aliya sekali lagi. Tak ada suara air atau langkah di dalam kamar mandi. Merasa curiga, Aliya akhirnya membuka pintu dan melongok ke dalam.

“Kaget aku,” kata Aliya padaku, “ternyata di dalam kamar mandi itu nggak ada siapa-siapa! Kosong! Padahal aku lihat sendiri anakku lari ke dalam, tepat sebelum aku masuk ke sana.”

“Terus, anakmu ke mana?”

“Nggak ke mana-mana,” jawab Aliya, “soalnya waktu aku cek ke kamar, dia masih tidur. Ternyata, yang ke kamar mandi itu ‘sesuatu’ yang menyerupai anakku.”

Aku sedikit merinding, membayangkan ada makhluk halus yang berubah wujud mirip anak sendiri. Mengerikan, ya?!

Aliya melanjutkan kisahnya. Peristiwa pagi itu sedikit membuatnya ketakutan: siapa yang menyerupai anaknya? Kenapa horor di rumah ini mulai mengancam dirinya?

Belum terjawab ketakutannya, suami Aliya malah mengalami yang lebih ekstrem.

Beni, suami Aliya, suatu hari pulang ke rumah menjelang magrib. Di kusen pintu, ia melihat ada banyak rambut panjang terurai, seperti rambut rontok yang sengaja disimpan asal-asalan di sana. Refleks, ia mendongak ke atas.

Betapa terkejutnya Beni atas apa yang ia lihat: sosok kuntilanak dengan rambut panjang tergerai sedang nangkring di atas pintu!

Penampakan sosok kuntilanak yang mengejutkan itu menjadi alarm bagi Aliya dan Beni. Secara sadar, mereka paham betul bahwa keluarga mereka tengah diganggu, dimulai sejak kejadian kuntilanak menyamar menjadi anak mereka berdua. Dalam waktu cukup lama, penunggu rumah misterius itu seperti tak bosan mengusik kehidupan Aliya.

Aktivitas mistis ini berdampak pula pada kegiatan belajar mengajar pondok pesantren yang ia dirikan.

Beberapa santrinya diganggu, kadang-kadang hingga terasa menjengkelkan. Hingga suatu hari, kejadian itu datang.

Aliya bilang, jumlah santrinya hanya 8 orang. Saat mengajar, Aliya baru menyadari jumlah santrinya hari itu bertambah satu: 9 orang. Anak ini duduk di belakang dengan posisi wajah terus menunduk. Sontak, Aliya merasa ada yang aneh dan membuat bulu kuduknya berdiri.

Selesai mengaji, si santri misterius ini langsung berjalan ke depan menghampiri Aliya. Ia masih menunduk.

“Kamu siapa?” tanya Aliya akhirnya. Si santri menjawab lirih, “Saya yang udah tinggal di rumah ini duluan sebelum keluargamu.”

Sial, batin Aliya, apakah ini sosok kuntilanak menyamar menjadi santri?!

Si santri perlahan-lahan mengangkat kepalanya. Aliya kian merinding dan takut. Sebelum wajah si santri terangkat, Aliya langsung mencegah dan berkata, “Sudah, sudah, cukup, nggak usah diperlihatkan wajahmu.”

Pada santri yang berdiri di hadapannya—yang ternyata adalah kuntilanak menyamar sebagai santri—Aliya memohon agar ia berhenti mengganggu kegiatan pondoknya. “Kasihan santri-santriku,” tutur Aliya.

Keluarga besar Aliya mengusulkan cara lebih tegas: mengusir kuntilanak tadi agar tak lagi ada gangguan. Tapi Aliya menolak—ia justru merasa tak tega jika harus memaksa kuntilanaknya pergi selamanya. Sejak kejadian itu, nyatanya, tak ada lagi gangguan dalam kelas di pondok maupun pada keluarga Aliya. Hanya sesekali, kuntilanak tadi bertingkah, mengganggu beberapa tamu yang datang pertama kali.

Entahlah, mungkin ingin mengajak berkenalan? (A/K)

Exit mobile version