Sebuah Kesalahan Fatal di Kaliurang Membuat Teman Saya Diusir dari Yogyakarta

Sebuah Kesalahan Fatal di Kaliurang Membuat Teman Saya Diusir dari Yogyakarta MOJOK.CO

Sebuah Kesalahan Fatal di Kaliurang Membuat Teman Saya Diusir dari Yogyakarta MOJOK.CO

MOJOK.COBermula dari acara makrab yang lebih mirip piknik di sebuah vila di Kaliurang, saya kehilangan salah satu teman yang sebetulnya menyenangkan.

Saya kadang curiga kepada panitia makrab jurusan yang kayaknya sengaja memilih vila dengan tampilan paling nggak meyakinkan. Seakan-akan mereka mengharapkan “terjadi sesuatu”, entah kesurupan atau menantikan datangnya gangguan di tengah acara makrab.

Masalahnya, sejauh pengalaman saya, semakin manusia sok nantangin, biasanya “mereka” itu menerimanya dengan senang hati. Kalau sudah begitu, siapa coba yang repot? Ya panitia sendiri sekaligus para peserta yang tahunya mau senang-senang waktu makrab jurusan.

Makrab sialan itu terjadi puluhan tahun yang lalu. Rencananya, kami akan makrab di Kaliurang. Yang saya dengar belakangan, panitia menunjuk beberapa orang untuk survei beberapa vila. Kalau ada yang cocok, bisa langsung dipesan. Dan sialan, beberapa orang ini kok ya punya satu pemikiran: memilih vila yang tampilan mukanya menyeramkan.

Sebagai peserta, saya dan rombongan tentu nggak tahu apa-apa. Beberapa dari peserta ada yang naik kendaraan dari kampus. Ada juga yang membawa motor sendiri, termasuk saya. Panitia memberi kami petunjuk jalan beserta nama vila di Kaliurang.

Katanya, “Silakan berangkat duluan. Di sana sudah ada yang menunggu.”

Kami yang rencananya naik motor, nggak punya pikiran aneh. Yang kami kira “sudah ada yang menunggu” itu ya panitia lainnya. Kami menuju Kaliurang pukul 16.30. Dari daerah kampus di Sleman menuju Kaliurang membutuhkan setidaknya 45 menit. Acara makrab sendiri akan dibuka pada pukul 19.00.

Kalau tidak salah ingat, ada empat motor yang berangkat. Jadi, totalnya delapan orang. Kami berangkat ke Kaliurang dengan perasaan ringan. Namun, sesampainya di vila yang dimaksud, respons pertama kali adalah mengumpat.

Gerbang depan vila itu memang sudah terbuka. Namun, tidak ada satu pun panitia di sana. Setelah memarkirkan motor, kami mencoba membuka pintu depan. Ternyata terkunci. Kami memutari vila itu lewat sebelah kanan (tolong ini diingat. Sebelah kanan!), lalu kembali ke pintu depan dari sisi kiri. Tidak ada satu manusia pun di sana.

Salah satu teman saya, namanya Bayu, mengumpat agak keras. Setelah itu dia mematikan batang rokoknya dengan cara ditempelkan ke salah satu kusen jendela besar di samping pintu depan. Iseng, dia melongok ke dalam bangunan dengan mendekatkan wajahnya ke kaca pintu depan.

Kebetulan saya dan dua teman lain berdiri di belakang Bayu.

Satu detik setelah mendekatkan wajahnya di kaca pintu, Bayu langsung melompat ke belakang. Tentu saja dengan mengumpat.

“Bajingan. Ada yang ikut melongok dari dalam. Wajahnya kayak hampir menempel ke wajahku!”

Teman di samping saya, namanya Angga, malah penasaran. Dia mendekatkan wajah ke kaca pintu, berusaha melihat ke dalam bangunan. Apa yang terjadi kemudian seperti sebuah adegan film ketika kamu memijit tombol rewind. Angga melompat ke belakang seperti Bayu. tentu dengan mengumpat. Sama seperti Bayu, dia melihat ada wajah yang ikut mendekat ke kaca pintu.

Teman-teman yang lain tidak ada yang berani memastikan. Apalagi saya. Hingga Maghrib kami menjauh dari pintu depan. Kami menunggu di depan gerbang. Ketika azan Maghrib hampir habis, tiga orang panitia baru datang. Mereka adalah satu tim yang ditugaskan untuk berangkat duluan.

“Lho, kok sudah datang. Kan jam tujuh malam baru mulai,” kata salah satu panitia.

“Tadi disuruh, Mas. Katanya yang naik motor disuruh duluan. Di sini udah ada yang nunggu,” jawab Angga.

“Bentar, kok kami nggak dibel (ditelpon) dari bawah, ya? Lagian di rundown juga nggak ada jadwal ada yang berangkat duluan. Kami aja baru sampai Kaliurang, kok.”

Semua terdiam.

Jadi, yang dimaksud “datang duluan” adalah tiga panitia ini yang berangkat dulu pukul 17.30. Mereka bertugas membuka gerbang dan pintu bangunan. Kami, peserta dan panitia, sama-sama bingung. Siapa yang memberi perintah dari kampus. Untuk kamu ketahui, rombongan dari kampus baru berangkat pukul 18.00.

Lantaran sudah semakin gelap, kami memutuskan masuk. Ketiga panitia itu heran ketika melihat gerbang depan terbuka. Makin heran lagi ketika melihat pintu depan bangunan vila itu juga sudah terbuka. Saya dan peserta lain berani bersumpah kalau pintu itu tadi terkunci.

Izinkan saya menjelaskan tampilan muka salah satu vila tua di Kaliurang ini:

Jalan untuk masuk ke gerbang vila ini agak menanjak dan sedikit berkelok. Gerbangnya setinggi pinggang orang dewasa. Dari gerbang menuju pintu depan kira-kira membutuhkan 14 langkah. Halamannya agak luas dengan empat pohon besar. Dua di sebelah kanan, dua di kiri. Agak jauh di belakang vila, masih ada beberapa pohon berukuran sedang yang rasa-rasanya dulu sengaja ditanam secara simetris. Berbaris empat-empat. Satu baris berisi empat pohon. Jadi, kalau tidak salah hitung, ada 16 pohon di belakang rumah.

Di sisi kanan, ada jalan setapak kecil. Tembus di sisi kiri rumah. Untuk masuk bangunan, kamu harus menapaki empat anak undakan. Maju empat langkah untuk sampai pintu depan yang mana ada empat kaca tembus pandang. Entah kenapa semuanya serba empat.

Di dalam bangunan ada empat kamar besar. Masing-masing punya kamar mandi dalam. Empat kamar itu akan diisi peserta perempuan. Sementara itu, peserta laki-laki akan mendirikan tenda di belakang vila. Yah, setidaknya begitulah rencananya.

Pukul 19.14, peserta makrab sudah lengkap sampai di Kaliurang. Ada 14 orang peserta. Ditambah panitia, jadi genap 20. Kenapa pesertanya sedikit? Karena banyak yang kabur nggak mau ikut dan mereka adalah golongan yang beruntung.

Sebetulnya, acara makrab itu bukan betulan “makrab” wajib dari jurusan. Lebih mirip piknik karena antara kakak tingkat dan mahasiswa baru sudah kenal. Oleh sebab itu, yang terjadi adalah pesta kecil-kecilan. Minuman beralkohol memang tidak terlalu banyak. Namun, saya akui, malam harinya memang jadi agak gaduh. Terutama ketika kami mendirikan tenda di belakang vila.

Saking gaduhnya, salah satu panitia ditelpon oleh penjaga vila. Katanya ada yang komplain dari vila di “bawah” vila kami. Beberapa panitia mendatangi vila di bawah kami untuk meminta maaf. Celakanya, vila tersebut kosong. Jadi, siapa yang menelepon penjaga vila untuk komplain?

Kejadian itu membuat saya dan beberapa peserta yang datang duluan untuk membuka cerita. Kami menceritakan peristiwa janggal sebelum panitia pendahulu datang menjelang Maghrib. Kami ber-20 terdiam agak lama. Malam yang gaduh berubah sunyi. Suara obrolan pelan terdengar di sana-sini. Ada yang minta pulang, tapi ada pantia yang malah “menantang”.

Dan, yah, seperti yang saya bilang di awal tulisan. Kalau manusia mau sok “menjual”, mereka kadang nggak segan untuk “membeli”….

Singkat kata, karena peserta ketakutan, semuanya memilih tidur cepat. Lebih cepat ketemu pagi tentu melegakan. Beberapa panitia dan peserta laki-laki berjaga di depan vila. Tenda yang kadung berdiri di halaman belakang ditinggal kosong. Semuanya meriung di dalam bangunan dan sebagian di depan.

Malam itu tidak terjadi gangguan. Episode menyebalkan di Kaliurang ini dimulai ketika subuh baru saja sampai.

Salah satu peserta perempuan, namanya Danti, buang air kecil. Tidak lama kemudian, dia berteriak sangat kencang. Semua terbangun. Yang berjaga di depan langsung menghambur ke dalam.

Saya sendiri tidak menyaksikan secara langsung. Kata Bayu, punggung kaki Danti sobek dan darah mengalir. Setelah mendapat pertolongan pertama, Danti bercerita:

“Selesai kencing di toilet duduk itu, aku langsung bilas. Setelah selesai pakai celana, aku balik badan menghadap ke toilet. Mau flush sekali lagi. Pas jalan mendekat, tutup tempat air di toilet yang berat itu tiba-tiba jatuh. Geraknya kayak dibanting. Nggak pas kena kaki, tapi waktu aku lihat, kakiku udah berdarah.”

Selesai bercerita, Danti menangis dalam diam. Kami semua juga terdiam. Dari subuh sampai pukul 07.15 pagi ketika sarapan datang, kami tidak beranjak. Semuanya seperti saling mengawasi.

Setelah matahari keluar, ada rasa lega yang saya rasakan. Namun, inilah yang disebut kelegaan palsu.

Pukul 08.00, beberapa panitia membereskan tenda. Kami tidak mau ambil risiko dan memutuskan pulang selepas pukul 09.00. Saya dan Bayu nggak mau lagi di dalam bangunan. Kami duduk-duduk di depan vila. Ada bangku dari besi, dicat putih seperti gerbang, yang ditata seperti kursi dan meja piknik.

Kami diam saja. Sibuk merokok dan ingin segera pulang. Jadi, kalau duduk di halaman depan, tepatnya di kursi dan meja piknik ini, kamu hampir bisa melihat orang yang datang dari belakang samping vila. Pagi itu, saya dan Bayu melihat satu orang yang sama, datang dari dua sisi secara bersamaan.

Sebelumnya, salah satu panitia, namanya Mas Hanung, berjalan ke belakang rumah untuk melipat tenda. Dia berputar dari sisi kanan. Ingat dengan peringatan saya di awal tulisan. Ingat ya, Mas Hanung berjalan memutar dari sisi kanan.

Sekitar 30 menit kemudian, Mas Hanung berjalan ke depan, lewat samping tentu saja. Saya yang melihat Mas Hanung agak kesusahan membawa tenda, mematikan rokok, berdiri, dan menawarkan bantuan.

“Mas Hanung, aku bantuin, ya. biar cepat.”

Setelah saya berkata seperti itu, Mas Hanung berhenti lalu menatap saya.

Bayu yang kaget menarik lengan jaket saya.

“Heh! Heh!”

Bayu berkata seperti itu dengan panik. Reflek, saya menengok ke arah Bayu. Saya dan Bayu saling pandang. Tangan kirinya menunjuk ke sisi kiri bangunan. “Itu Mas Hanung,” katanya lirih.

Ketika saya menoleh ke sisi kanan lagi, Mas Hanung sudah tidak ada. Bayu beranjak dan bergeser ke kiri supaya mendapatkan sudut pandang yang lebih jelas. Ketika dia melakukannya, “Mas Hanung” di sebelah kiri juga menghilang.

Kami berdua menghambur ke dalam bangunan. Baru sampai di bawah pintu, kami melihat Mas Hanung di dekat pintu, tempat rak sepatu berada. Dia sibuk mengenakan sepatu. Katanya, dia mau membereskan tenda dulu. Saya dan Bayu hanya mengangguk lalu masuk ke tengah bangunan.

Kami berdua bingung mau mulai dari mana untuk bercerita. Kebingungan itu tidak bertahan lama karena kejanggalan kembali terjadi. Jadi, di sudut kiri ada sebuah kamar. Di sebelah kanan pintu kamar itu ada sofa panjang. Angga tiduran di sana.

Ketika saya dan Bayu baru mau mulai bercerita, Angga berteriak.

“Haahh!!! Tolong. Di atas kepalaku!”

Mereka yang berada di tengah bangunan itu menoleh secara reflek. Namun, kami juga bingung mau menolong bagaimana karena di atas kepala Angga tidak ada apa-apa.

“Tolong. Bapak-bapak di atas kepalaku!”

Beberapa peserta perempuan lari keluar. Sementara yang lain masih bengong karena di atas kepala Angga tidak ada “siapa-siapa”.

Para panitia menghanbur ke arah Angga untuk menenangkan. Dua orang yang memegang tangannya kaget karena badan Angga “tidak berasa”. Maksudnya, tidak hangat, tidak juga dingin. Bola mata Angga seperti memudar, menjadi agak keruh, seperti orang tua kena katarak. Kami urung berusaha mendudukkan Angga karena tubuhnya jadi sangat berat.

Tidak ada kata “kesurupan” yang terdengar dari tengah kerusuhan itu. Namun, kami sama-sama paham itulah yang tengah terjadi.

Sekitar 20 menit berlalu ketika ada yang melontarkan ide untuk memanggil penjaga vila. Semua setuju karena kami tidak tahu harus bagaimana. Butuh 30 menit bagi penjaga vila di Kaliurang itu untuk sampai di vila kami.

Sosoknya kecil. Penjaga vila itu mengenakan kemeja berwarna biru tua. Peci berwarna hitam yang dikenakan di atas kepalanya terlihat agak janggal.

Namanya Pak Jefri. Dia masuk ke bangunan vila dengan tergopoh-gopoh. Tangan kanannya menggenggam sepotong kunyit yang sudah dikupas. Dia menyuruh kami memberi ruang.

“Nggak usah dipegangi. Nggak papa. Mundur dikit ya.”

Kami manut….

Pak Jefri duduk bersila di bawah sofa, di bawah badan Angga yang betul-betul terbujur kaku. Sofa itu agak melesak ke bawah. Setelah bersila, Pak Jefri berdoa dalam agama Islam. Dua telapak tangannya terbuka dan diletakkan di atas lutut.

Setelah membaca doa singkat, Pak Jefri jongkok dan mendekati kepala Angga. Beliau menggosokkan potongan kunyit itu di kening Angga. Tipis saja saya lihat. Setelah menggoreskan kunyit beberapa kali, Pak Jefri pindah ke jempol kaki.

“Biar nggak dibawa,” gumam Pak Jefri. Kami semua diam tak mengerti.

Kunyit itu tadi digoreskan lagi ke jempol, tumit, dan betis Angga. Setelah itu, bagian-bagian tadi dipijit perlahan. Lama-kelamaan, tubuh Angga kembali “terasa”. Jadi agak hangat dan mulai bisa didudukkan.

Pak Jefri meminta kami mendudukkan Angga di bawah lalu kaosnya dilepas. Pak Jefri menggoreskan kunyit di tengkuk, lalu sepanjang punggung dan tulang belakang. Setelah “ditandai” dengan kunyit, bagian-bagian itu dipijat. Tidak lama, bola mata Angga kembali normal. Napasnya tak lagi tersengal-sengal. Semuanya kembali normal.

Setelah mengaso, Pak Jefri agak memarahi kami. Kegaduhan tadi malam ternyata tidak berkenan untuk “para penunggu”. Kami tidak pernah permisi, tapi malah bikin gaduh. Para panitia meminta maaf dan sekalian mohon pamit.

Salah satu panitia sempat bertanya soal kunyit dan pijitan Pak Jefri. Beliau menjelaskan:

“Katanya, kalau orang mau meninggal itu bagian kakinya dulu yang dingin. Lalu merambat ke atas. Itu tanda rohnya lepas. Dari kaki. Ini tadi dia sudah mau dibawa. Prosesnya sama kayak orang mau meninggal. Jadi, untuk melawan, dimulai dari atas dulu, lalu menutup gerbangnya yang di bawah, terakhir memperkuat sumber kekuatan manusia: tulang belakang. Ya ini kalau kepercayaan saya.”

“Pak, tadi sebelum saya begitu, saya lihat ada bapak-bapak yang melayang tiba-tiba ada di atas kepala saya. Agak udah tua. Pakainnya biru gelap kayak Pak Jefri. Tapi ini cuma kain. Matanya keruh dan ekspresinya kayak orang marah. Itu siapa, Pak?” Angga yang sudah separuh sadar, bertanya.

“Ada baiknya Masnya nggak perlu tahu. Siapa itu, anggap saja memberi peringatan kepada Masnya. Kenapa memberi peringatan? Nah, saya balik nanya ke Masnya. Masnya tadi malam ngapain? Kalau nggak kelewatan, beliau nggak semarah itu.”

Angga terdiam. Kami semua juga terdiam karena tidak tahu duduk perkaranya. Menjelang pukul 11 siang, rombongan piknik Kaliurang ini baru bisa pulang. Kami menunggu Angga istirahat. Dia dipaksa Pak Jefri untuk tidur sebentar untuk menetralkan.

Rombongan piknik Kaliurang, dan saya sendiri, hanya bisa menduga-duga apa yang dilakukan Angga. Kami tidak enak untuk bertanya secara langsung karena setelah piknik ke Kaliurang itu, Angga menjauhi kami. Dia hanya kuliah selama tiga semester untuk kemudian pindah.

Sebelum pamit, kami mencoba bertanya duduk perkara kepindahannya. Dia tidak mau bercerita. Hanya mengucapkan kalimat ini:

“Aku kayaknya nggak boleh dekat-dekat Kaliurang, deh. Kayak disuruh pergi. Takut.”

BACA JUGA Gagal Nonton Dangdut Koplo Malah Dikuntit Hantu Cewek Muka Rusak Sampai ke Rumah dan kisah menegangkan lainnya di rubrik MALAM JUMAT.

Exit mobile version