Kelam Malam Gunung Pulosari, Dunia Lain di Puncak Banten (Bagian 3)

Kelam Malam Gunung Pulosari, Dunia Lain di Puncak Banten MOJOK.CO

Ilustrasi Kelam Malam Gunung Pulosari, Dunia Lain di Puncak Banten. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COGunung Pulosari di puncak Banten ternyata bukan sebatas uji nyali saja. Seperti ada dorongan besar bagi saya untuk ada di sini.

Baca bagian 2 di sini: Misteri Banten: Rintihan Anak Kecil di Balik Pekatnya Malam Gunung Pulosari

“Lo masuk Cilentung secara ilegal ya?”

Bagas mengangguk malu. Entah apa yang ada di pikiran rombongannya sampai berani untuk menerobos masuk secara ilegal di pegunungan Banten yang penuh misteri ini.

Saya dan Bambang beradu pandang. Dia menjelaskan bahwa kami berencana untuk summit dini hari nanti dan mengajak si Bagas untuk ikut. Siapa tahu bisa ketemu rombongannya di atas. 

Respons Bagas agak sedikit lama karena dia seperti tidak yakin. Bambang sekali lagi menanyakan kembali dengan nada yang lebih tegas. Hingga akhirnya Bagas menceritakan sesuatu yang mungkin sulit bagi kami untuk memercayainya.

“YAKIN LU?!” Tanya Bambang kepada Bagas setelah laki-laki itu menceritakan apa yang dialaminya selama tersesat di Gunung Pulosari, Banten. Bagas mengangguk dan mengatakan dia sadar betul.

Cerita Bagas

Bagas menceritakan semuanya. Dia tersesat selama tiga hari di Gunung Pulosari setelah terpisah dengan rombongannya saat berada di area Curug Putri. Menurutnya, kejadian itu terjadi begitu cepat di mana dia sempat dibuat linglung oleh “sesuatu” saat itu. 

Nah, selama tersesat itu, dia juga mengalami hal-hal yang aneh dan menyeramkan. Dia merasa dirinya mulai berputar-putar di tengah hutan dan selalu kembali ke Curug Putri. Bahkan dia sempat melihat seseok makhluk dengan tampilan serba hitam berbulu hitam lebat berada di kawasan itu.

“Iya, karena gue lelah dan stok persediaan minum habis, jadilah gue minum air curug. Setelah gue minum. Gue sadar bahwa ada sesuatu di sekitaran wilayah curug. Tidak jauh dari tempat gue duduk, itu ada makhluk besar dan tinggi, dengan taring tajam, berbulu hitam. Entah dia menyadari kehadiran gue atau enggak, sontak aja gue sembunyi di balik pohon dan sedikit mengintip. Kedua matanya merah seperti darah!” 

Bagas menjelaskan semuanya dengan wajahnya yang panik dan ketakutan. Setelah melihat makhluk itu, dia langsung kabur dan mengambil jalur yang beda. Sampailah dia di tengah-tengah hutan berkabut yang bahkan dia sudah pasrah dan tidak tahu lagi harus ke mana lagi.

“Gue berjalan terus dan terus, hingga sampai gue menyadari ada yang ngikutin gue. Mungkin semacam bola api melayang gitu di langit. Awalnya mungkin gue salah lihat karena efek lapar, tapi bola api itu terasa begitu nyata. Entah itu pertanda baik atau buruk, yang jelasnya bola api itu yang menuntun gue ke tempat kalian.”

Pertanda buruk di Gunung Pulosari, Banten

Mendengar ucapan Bagas, saya dan Bambang hanya beradu pandang dalam diam. Bambang pun menatap Bagas dengan tatapan tidak percaya. Bagas juga menceritakan bola api itu menghilang setelah bertemu dengan kami.

“Kalau kalian tidak percaya, ayo gue buktikan bahwa omongan gue itu bukan hanya bualan semata,” ucap Bagas yang mungkin merasa tersindir karena kami menganggapnya bohong.

“Bukan, bukan tidak percaya. Hanya saja, kemarin kita tuh denger-denger dari salah satu akamsi, katanya bola api itu pertanda buruk. Kalaupun ternyata kejadiannya seperti itu, kami jujur agak khawatir nantinya jadi suatu petaka buat kita semua,” balas saya dengan agak ragu untuk menjelaskan petaka yang dimaksud.

Iya, saya masih ingat betul omongan abang starling kemarin. Kalau dari cerita yang sudah beredar, bola api itu bisa jadi pertanda buruk. Bagian terseramnya adalah kalau misalkan ada pendaki atau orang yang diikuti oleh bola api itu bisa membawa petaka amit-amit bahkan bisa sampai meninggal. 

Tapi ya, itu kan hanya sekadar cerita masyarakat semata. Kalau dipikir-pikir, memang banyak sekali sebenarnya cerita-cerita rakyat tentang mistisnya Gunung Pulosari di Banten. Tapi saya jujur tidak terlalu menanggapi dengan serius toh bisa saja kan itu hanya dilebih-lebihkan, walaupun kemungkinan bisa saja terjadi.

Suara gendang di tengah malam

Malam itu, setelah Bagas selesai bercerita, kami bertiga saling gantian berjaga. Jadilah ketika Bambang tertidur, saya dan Bagas hanya berdua berjaga di luar tenda. 

Sebenarnya Bagas bisa saja tidur dan saya berjaga sendirian. Tapi maaf, saya merasa takut kalau sendirian berjaga. Saya tidak begitu banyak mengobrol dengannya. Kami hanya berdiam seribu bahasa, sampai ketika suasana canggung itu tergantikan oleh bunyi alunan gendang yang terdengar cukup jauh dari camp kami berada.

“Lo denger ga?” Tanya saya memastikan apakah Bagas mendengar suara gendang tersebut

“Enggak, nggak terdengar apa-apa, Mbak,” jawab Bagas dengan wajah yang kebingungan. Dia mencoba mendengar dengan seksama tapi tetap saja tak bisa mendengar suara gendang tersebut.

“Itu, suara pukulan gendang, dari arah sana,” saya langsung menunjuk ke arah di mana Bagas muncul pertama kalinya. Bagas pun celingukan ke arah tersebut. Kami hanya mendapati pepohonan tinggi menjulang dan suasana gelap. 

Bola api

Bagas mengambil senternya dan berjalan ke arah yang saya maksud. Dia memainkan senternya, menyoroti setiap sisi. Saya tidak beranjak dari tempat duduk, hanya memerhatikan dari kejauhan. Bagas pun memberi isyarat dia tidak menemukan sesuatu yang aneh, hingga saya tak sengaja melihat bola api yang melintas dengan cepat di atas Bagas.

“Gas! Cepetan balik!” Seru saya sambil memberi isyarat ke Bagas agar pergi dari sana. Bagas yang melihat itu langsung berlari menghampiri, lalu menanyakan mengapa wajahku terlihat seperti habis ketemu setan. 

Saya agak ragu untuk menceritakan apa yang saya lihat. Alhasil, saya meminta Bagas untuk berjaga di luar dan saya masuk ke tenda. Di dalam tenda pun, saya mencoba membangunkan Bambang. Ketika sudah setengah sadar, Bambang pun menggerutu karena merasa tidurnya diganggu.

“Apa sih Nes, gue baru tidur sebentar udah lo gangguin aja!”

“Heh, bangun anjir keknya kita nggak perlu ke puncak deh, langsung balik aja yuk!”

Mendengar saya minta pulang, Bambang pun sontak sadar penuh dan langsung menatap saya dalam-dalam.

“Serius? Yakin?” Tanyanya masih terus berusaha untuk membuat saya mengurungkan niat tidak summit.

“Iya yakin! Ini sekarang udah jam satu pagi, jam dua atau tiga kita langsung turun aja ya. Gue udah nggak mau lama-lama di sini,” ujar Saya yang langsung sibuk membereskan barang-barang dan memasukkannya ke daypack.

Bambang yang melihat tingkah saya yang panik mencoba untuk menenangkan saya. Dia bertanya kembali apakah saya melihat sesuatu yang menyeramkan lagi. Saya hanya diam. Enggan untuk bercerita di sini.

“Yaudah, yaudah, gue nggak bisa maksain lo untuk naik ke puncak Gunung Pulosari di Banten, tapi gimana sama Bagas? Dia kepisah loh sama rombongannya? Kita ke puncak kan juga ngebantu Bagas. Mereka lewat Cilentung loh, beda sama kita. Kita aja sempet nyasar kan,” Banbang terlihat sangat ingin summit.

“Mereka itu beramai-ramai dan punya guide lokal alias asli anak sini, lah kita gimana Mbang? Lo nggak mikir sedari tadi perjalanan dari bawah sampai sini tuh udah banyak  yang aneh-aneh,” pungkas saya yang akhirnya menimbulkan perdebatan sengit di antara saya dan Bambang. 

Bagas hilang!

Selama kami berdebat, mungkin Bagas mendengar hal tersebut. Jadi ketika perdebatan selesai, Saya dan Bambang pun setuju untuk mengejar sampai puncak bayangan lalu kembali ke basecamp Gunung Pulosari. Sialnya, ketika kami keluar tenda untuk menyampaikan hasil rundingan tadi, kami tidak mendapati Bagas di sana.

Pikiran saya dan Bambang sama-sama terasa penuh. Dalam keadaan yang dilingkupi rasa takut dan janggal, Bagas menghilang. Kami, sebisanya, mencari Bagas di sekitar tenda. Saya meneriakkan namanya. Sementara itu, Bambang mengecek sekeliling tenda. 

Sayangnya, setelah 30 menit kami mencari, Bagas tidak juga muncul. Benar, mungkin saja dia merasa tidak enak hati setelah mendengar perdebatan kami. Bisa jadi dia lebih memilih untuk pergi sendiri mencari teman-temannya dibandingkan harus merepotkan kami.

“Gimana nih, Mbang? Nggak ada si Bagas.”

“Yaudah, yaudah, kemungkinan tuh bocah naik ke puncak nggak sih? Langsung rapihin aja terus kita berangkat summit,” ujar Bambang yang langsung sigap membereskan tenda dan lain-lainnya. 

Karena masih sekitar pukul dua pagi, kami memasang headlamp. Sebelum mengikuti jalur menuju puncak, kami sama-sama merasakan hawa yang semakin dingin. Rasa dingin yang benar-benar menusuk tulang sampai tangan saya menggigil. Tidak ada pilihan lain, kami harus bergerak. Bambang memasang seutas tali ke daypack saya dengan carrier-nya. Jaga-jaga supaya kami tidak terpisah nantinya.

Menuju puncak

Setiap langkah yang kami tempuh, hawa dingin semakin menjadi. Selain dingin, jalur yang kami lewati benar-benar dirapati oleh vegetasi hutan. Kabut tebal membuat tanah di sekitaran menjadi licin dan pandangan kami terbatas. Makanya, mau nggak mau, kami harus berjalan pelan.

Suasana saat itu sungguh sunyi. Saking sunyinya, saya jadi merasa tidak nyaman. Saya mencoba untuk mengajak ngobrol Bambang. Tapi sepertinya Bambang sedang serius menghadapi medan menuju puncak Gunung Pulosari di Banten ini.

Saya tidak menghitung secara pasti lamanya perjalanan menuju puncak. Yang saya rasakan adalah kami berjalan sangat pelan, tapi bisa sampai juga di puncak.

Sesampainya di sana, kami tidak mendapati satu orang pun berada di puncak, termasuk Bagas. Benar-benar sepi, sampai rasanya terasa menyeramkan karena masih gelap gulita… dan sekali lagi, terlalu sepi. 

Dingin yang janggal

Puncak Gunung Pulosari dini hari itu cukup berangin. Saya sudah nggak sanggup menahan dingin yang menusuk tulang. Oleh sebab itu, Bambang membangun camp lagi untuk beristirahat. Kami akan menunggu pagi di puncak Gunung Pulosari di Banten. Mau dengan atau tanpa Bagas, kami akan turun ketika pagi datang. Kami hanya bisa melaporkan ke petugas.

“Hah, gila! Gue bisa gila. Dingin banget nggak main-main dah ini,” gerutu Saya yang melipat kedua tangan di bawah ketiak. Jujur saya nggak kuat dingin.

“Iya, iya sabar. Nanti kalau sudah agak terang kita turun, ya. Gua mau siapin sesuatu buat dimakan. Itung-itung sarapan lebih awal. Lo mau apa? Gue bikinin deh yang enak-enak.” 

Bambang mencoba untuk menghibur saya. Saya malah memandang dia dengan sinis. “Nggak, gue nggak lapar. Nanti habis jam enam aja. Ini baru jam dua, lho. Kayaknya tadi jalannya lambat, tapi kita bisa sampai sini dengan cepat. Untung aja gue bisa ngimbangin. Lah kalau kaga? Kepleset gue bisa-bisa.”

Api unggun kala itu menyala-nyala menerangi kami. Cukup hangat untuk mengusir dingin. Saya masih tenggelam dalam diam memikirkan nasib si Bagas itu. Entah kenapa saat itu saya tidak mengantuk sama sekali. Mata saya masih segar dan terjaga, Bambang juga sepertinya juga asyik ngopi di tengah cuaca yang dingin ini.

Suara minta tolong

Saya dan Bambang saling ngobrol, membagi cerita-cerita seru kami ya sebenarnya supaya nggak bosan saja ketika menunggu pagi. Canda tawa kami cukup menghiasi gelap dan dinginnya puncak Gunung Pulosari di Banten yang sangat dingin. Hingga kami dikagetkan dengan suara minta tolong.

“Hah? Lo dengar nggak itu Bambang?” Tanya saya kaget dan langsung beradu pandang dengan Bambang.

Bambang mengangguk. Berarti kalau si Bambang bisa dengar artinya suara minta tolong itu beneran. Saya dan Bambang pun langsung sigap mengambil senter dan menghampiri sumber suara tersebut. Benar saja, kami menemukan pendaki lain yang bajunya sudah sangat kotor oleh tanah dan wajahnya terlihat panik dan ketakutan.

“Tolong….”

Ucap pendaki itu sembari mencoba menggapai ke arah kami. Bambang pun langsung membantu pendaki tersebut. Dia membopong dan berlari ke tenda. Entah kenapa pendaki itu terlihat kesakitan. Setelah diperiksa, ternyata lututnya terluka dan pergelangan kakinya memar. Bambang meminta saya untuk mengeluarkan kotak P3K. Dengan gesit, dia mengobati luka dan mengolesi obat memar lalu membalut kaki pendaki itu yang terkilir.

“Bang… Bang, tolongin Bang. Temen saya Bang,” pendaki itu memohon-mohon sembari meringis kesakitan. Entah apa yang sudah dilaluinya sampai bisa seperti ini.

“Tenang dulu, iya nanti kita tolongin. Sekarang lo jelasin dulu apa yang terjadi sama lo, dan kenapa lo bisa kek begini?” Tanya Bambang menatap si pendaki setelah selesai membalut kakinya.

“Bang, gue minta maaf banget, Bang. Kayaknya gue sama temen-temen gue udah bikin kesalahan fatal. Sumpah Bang, gue bener-bener nggak sengaja,” ucapnya dengan wajah yang berantakan dan air matanya berlinang deras. Saya dan Bambang pun beradu pandang kebingungan. Saya di situ masih berusaha untuk meminta penjelasan lebih detail kepada si pendaki ini.

“Maksudnya apa? Emang lo bikin kesalahan apa sama temen-temen lu?”

Pendaki menggosok matanya. Tubuhnya gemetar hebat dan entah kenapa dia seperti selalu waspada akan sesuatu.

Kenyataan tentang Bagas

“Jadi, gue sama rombongan niat ngedaki lewat Cilentung. Iya, kesalahan kita karena kita maksa masuk lewat situ.” Saya pun langsung menyambar, menebak mungkin saja dia ini adalah salah satu teman si Bagas.

“Lo temennya Bagas? Lo kenal ga sama Bagas?”

Pendaki itu justru kaget dan anehnya ekspresi wajahnya bingung. “Mbak sama Abang tahu Bagas darimana?”

Saya menjelaskan bahwa kami sempat bertemu Bagas sebelum menuju Puncak Pulosari. Aneh, pendaki itu malah memberikan respons tidak percaya dan agak marah.

“Jangan bohong, Mbak! Mbak, Bagas itu… BAGAS ITU UDAH MATI MBAk!” Teriak pendaki itu. Suaranya gemetar hebat dan dia menenggelamkan wajah di kedua telapak tangannya, menangis terisak-isak. 

Saya dan Bambang tidak percaya dengan apa yang diucapkan pendaki itu. Saya kaget dan rasanya otak ini tidak bisa memproses keadaan yang sekarang sedang terjadi.

“Sebenarnya ada apaan, sih? Ini jadi lo sama temen-temen lo ngelakuin hal apaan sampai bisa ada yang mati?!” Bambang pun agak sedikit emosional mendengarnya. 

Bagaimana tidak emosional. Jujur, mendengar pendaki yang mati saat pendakian itu cukup membangkitkan rasa kesedihannya saat sahabatnya hilang saat mendaki bersamanya.

Petaka yang dibawa

“Maaf, Bang. Gue minta maaf. Tapi tolong temen-temen gue, Bang.”

“Temen-temen lo pada di mana sekarang?” Tanya saya yang sudah mulai greget karena sedari tadi ini orang nggak menjelaskan apa yang sedang terjadi sama dia dan teman-temanya.

“Temen gua dibawa sama jin, Bang!”

Astagfirullah!” 

Hanya kata itu yang keluar dari mulut saya. Jujur, otak saya tidak bisa memproses semua yang terjadi. Entah bagaimana, tiba-tiba saya seperti memang dituntun untuk mengalami hal ini. Saking heran dengan kesadaran baru ini, saya hanya bisa menutup mulut dengan kedua tangan. 

“Apa iya saya harus ke sini? Kenapa? Saya lelah.” Kalimat itu yang terngiang di dalam benak saya. Namun, lagi-lagi, entah bagaimana, saya tidak mampu mengucapkannya.

Lelah, tapi tak bisa menghindar

Saya benar-benar lelah dengan berbagai hal janggal. Maksud saya, terkadang, kita butuh jawaban langsung untuk berbagai hal yang dianggap orang “tidak masuk akal”. Kalau lebih dari sekali mengalaminya, kamu pasti akan sangat penasaran, bukan?

Saya hanya ingin mendaki Gunung Pulosari. Meskipun, memang, di awal pendakian, niat saya sudah salah. Tapi, saya tidak membayangkan, kalau saya dan Bambang akan menemui sebuah masalah yang asing bagi Bambang, tapi nggak tahu bagaimana, terasa akrab dengan saya.

Jujur, saya agak menyesal tidak mendebat Bambang dan memaksanya tidak summit. Intinya, tidak seharusnya kami terlibat dalam masalah Bagas dan kawan-kawannya. Namun, ketidakmampuan saya memaksa Bagas juga sepertinya bukan karena “niat” saya sendiri. 

Sayangnya, hati ini sudah berkata lain. Dan, dini hari itu, Gunung Pulosari di pegunungan Banten terasa begitu mengancam. Dinginnya menempel di dalam hati dan kami hanya bisa menuruti kelokan asing di depan kami….

BERSAMBUNG….

BACA JUGA Gunung Slamet: Mengantarmu Pulang Ke Samarantu dan kisah misteri lainnya di rubrik MALAM JUMAT.

Penulis: Agnes Putri Widiasari

Editor: Yamadipati Seno 

Exit mobile version