Horor Apartemen Tertua di Jogja yang Menghilang dari Ingatan

Apartemen yanfg sudah sulit dilacak lagi.

Horor Apartemen Tertua di Jogja yang Menghilang dari Ingatan MOJOK.CO

Ilustrasi Horor Apartemen Tertua di Jogja. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.CO – Konon, apartemen yang menjadi tempat kami menginap adalah yang tertua di Jogja. Apartemen yang kini sudah menghilang.

Saya bukan orang Jogja. Namun, buat saya, Jogja sudah seperti kampung halaman kedua. Saya cukup sering berkunjung ke kota gudeg, baik untuk pekerjaan maupun sekadar berlibur. Saya betah di kota ini. Oleh sebab itu, setiap ada kesempatan untuk berangkat ke Jogja, apalagi jika ada yang menanggung transportasi dan akomodasinya, saya segera berkemas.

Banyak pengalaman mengesankan yang terlalu sayang untuk dilupakan di kota ini. Termasuk beberapa pengalaman mistis yang salah satunya akan saya tuturkan sekarang. Sebuah kisah mistis yang berlangsung sekitar 20 tahun lalu, di salah satu apartemen di Jogja. Konon, ini apartemen tertua di sana.

Undangan ke Jogja

Waktu itu, saya masih bekerja di salah satu stasiun TV swasta nasional di Jakarta. Saya bekerja di bagian pemberitaan.

Salah seorang teman saya, yang juga bekerja di stasiun ini, sebut saja namanya Mada, adalah seorang putera asli Jogja. Dia lahir, besar, dan menua di Jogja. Sekarang, dia aktif sebagai filmmaker yang karya-karyanya banyak diikutsertakan dalam berbagai festival film internasional.

Suatu hari, Mada mengajak saya berkolaborasi untuk menyelenggarakan workshop tentang TV. Khususnya di bidang news reporter dan presenter. Rencananya, kami akan melibatkan para produser dan presenter berita dari berbagai stasiun TV swasta nasional sebagai instruktur.

Pesertanya adalah para mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi setempat. Sedangkan panitianya adalah teman-teman Mada yang tinggal di Jogja.

Mada juga menjelaskan bahwa dia telah menjalin kerja sama dengan salah satu universitas di Jogja supaya kampusnya bisa digunakan sebagai arena workshop. Ajakan Mada tentu saja langsung saya sambut dengan bahagia. Artinya, saya akan menikmati liburan, setidaknya sepekan di kota yang selalu saya rindukan.

Dalam waktu yang relatif singkat, terkumpul sekitar 150 mahasiswa peserta workshop. Mada juga berhasil mengajak beberapa teman dari berbagai stasiun TV untuk menjadi instruktur. Ada yang berstatus produser program, produser eksekutif, presenter, reporter senior, pengarah acara, kamerawan (camera persons), editor visual, audioman, dan lain sebagainya.

Apartemen tertua di Jogja

Pihak kampus sebagai host acara menyediakan beberapa ruangan yang cukup besar. Mereka juga mengizinkan kami menggunakan studio mini.

Sebagian besar peserta merupakan mahasiswa kampus ini, yang sedang libur semesteran. Sisanya, mahasiswa yang sedang menempuh semester pendek.

Panitia sendiri menyediakan penginapan bagi para instruktur di sebuah apartemen di Jogja. Katanya, apartemen ini adalah yang tertua di Jogja.

Letaknya tak terlalu jauh dari kampus tempat kami berkegiatan, tetapi juga tak terlalu dekat. Jika berjalan kaki dari apartemen ke kampus, hanya diperlukan waktu sekitar 15 menit. Begitu pula sebaliknya.

Istimewanya, apartemen di Jogja itu punya penthouse yang cukup besar. Kami beruntung bisa mendapatkan tempat menginap yang “terlihat” menyenangkan. Sebuah kamar mewah yang terdiri dari empat kamar yang juga besar-besar.

Ada beberapa kamar mandi dan sebuah ruang pertemuan yang cukup luas tempat kami berdiskusi dan melakukan evaluasi sesudah acara. Secara keseluruhan, tidak ada yang aneh dengan apartemen di Jogja ini kecuali bangunannya yang memang berumur. Selebihnya cukup apik, resik, dan nyaman. Hanya, saya yang pada dasarnya penakut ini, sudah berpikir yang aneh-aneh sebelum berangkat ke Jogja.

Saya sendiri tidak berangkat bersama rombongan. Saya menyusul di hari kedua. Jadi, saya tidak ikut workshop hari pertama. Saya terbang ke Jogja di hari kedua. Sore hari saya berangkat.

Setibanya di Bandara Adi Sutjipto, saya langsung meluncur ke kampus tempat workshop. Saya dijadwalkan memberikan pemaparan tentang rating and share untuk program TV malam itu juga.

Sebelum berangkat, ketika masih menunggu penerbangan di Bandara Soekarno-Hatta, saya sempat menelepon Yulis, salah seorang instruktur, untuk menanyakan jalannya acara dan juga apartemen di Jogja yang katanya jadi tempat menginap.

“Tempat penginapannya asyik. Kita nginep rame-rame di apartemen. Tapi auranya agak mistis,” ujar Yulis.

Nah, kata-kata “agak mistis” inilah yang membuat saya sedikit merinding. Sebab, setiap kali menginap di tempat beraura mistis, untuk tidak menyebut angker atau seram, saya hampir selalu dipertemukan dengan spirit-spirit dari dimensi lain melalui alam mimpi.

Ada yang memperlihatkan sikap bersahabat, ada juga yang menakutkan. Dan, itu cukup mengganggu. Namun, kalimat “kita nginep rame-rame” membuat rasa takut saya lumayan berkurang.

Menjelang tengah malam, seusai acara di kampus hari itu, kami bersama-sama pulang ke apartemen. Sekadar catatan, workshop yang berlangsung selama lima hari itu kami lakukan secara maraton dari pukul tujuh pagi 10 malam.

Sesampainya di apartemen, kami tidak langsung tidur, melainkan berdiskusi dulu hingga sekitar pukul 12. Setelah itu, kami berpindah ke tempat peraduan masing-masing.

Instruktur perempuan, yang jumlahnya hanya tiga orang, tidur di satu kamar. sementara itu, instruktur laki-laki menyebar di tiga kamar lainnya. Tidak ada kejadian aneh di malam itu. Semuanya langsung tidur karena besoknya, pagi-pagi sekali, kami harus kembali bertugas hingga malam. Jadi, kami semua, harus menghemat energi.

Spirit yang “menemani”

Esoknya, sesuai jadwal yang disepakati, saya bertugas memberikan voice training (latihan pengolahan suara) tahap pertama mulai pukul tujuh hingga sembilan pagi. Sesi yang cukup menguras tenaga peserta dan instrukturnya. Maklum, namanya juga latihan pengolahan suara. Jadi, selepas sesi ini, saya kembali ke apartemen untuk sekadar (kalau bisa) menyambung tidur sampai jam makan siang di kampus.

Setibanya di kamar penthouse yang pagi itu terasa lengang, saya langsung merebahkan diri di tempat tidur berkasur empuk sambil memandang ke arah jendela. Saya menyaksikan deretan awan putih yang bergerak digoyangkan angin, sambil berharap segera diterpa kantuk agar bisa tidur dengan nyenyak. Pintu kamar saya biarkan terbuka. Jaga-jaga, kalau ada apa-apa, bisa secepatnya menggunakan jurus langkah seribu.

Di tengah suasana yang terasa sangat sunyi itu, tiba-tiba terdengar suara lirih memanggil saya dari luar kamar.

“Bang, lagi istirahat, ya.”

Suara itu sepertinya sangat saya kenal. Suara seorang kamerawan, teman sekantor, yang ikut direkrut sebagai salah seorang instruktur workshop.

Syukurlah, pikir saya. Saya tidak sendirian jadi tidak punya alasan untuk takut.

“Iya, istirahat dulu. Nanti ke sana lagi abis zuhur,” jawab saya. “Nanti bangunin ya jam satuan, kalau gua ketiduran.”

“Iya, Bang. Nyantai aja. Aku di sini, kok,” sahutnya.

Di kalangan teman-teman seprofesi, saya memang biasa dipanggil Abang. Panggilan yang terus melekat hingga kini, meskipun yang memanggil Abang itu bisa saja seumuran anak saya. Panggilan yang membuat saya selalu merasa muda. Alhamdulillah.

“Anak-anak masih di kampus ya, Bang?” Tanya suara itu.

“Iya, cuman gua yang pulang,” ujar saya.

Kantuk pun hilang karena suara lirih itu terus saja mengajak saya mengobrol. Bertanya tentang perjalanan saya semalam. Bertanya tentang suasana workshop di kampus. Saya pun menjawab pertanyaan-pertanyaannya tanpa rasa curiga, bahkan sesekali saya bercanda. Canda yang ditanggapi dengan tawa lirih dari suara, yang, lagi-lagi saya pikir saya kenal.

Setelah sekian lama berbincang tanpa saling berhadapan, saya mulai merasakan ada kejanggalan. Saya bicara sambil berbaring di tempat tidur seraya menatap langit-langit kamar dan sesekali menoleh ke arah langit beneran di luar jendela. Sedangkan si pemilik suara lirih “seharusnya” berada di luar kamar, dengan jarak sekitar tiga meter dari tempat saya berbaring. Tapi anehnya, suara itu seakan berasal dari dalam kamar, bahkan seperti berada di sebelah saya.

Saya pun bangkit, duduk di tempat tidur. Saya lemparkan pandangan saya ke seluruh kamar. Tak ada orang di sana. Selain saya.

“Deni!”

Panggil saya, setengah berteriak. Deni adalah kamerawan yang saya pikir sedang mengobrol dengan saya.

“Iya Bang,” sahutnya.

Kali ini suara itu benar-benar berasal dari luar kamar. Untuk kedua kalinya saya mengucap syukur di dalam hati. Ternyata memang ada manusianya.

“Kok lu nggak ikut ke kampus? Lagi nggak tugas?”

“Nggak, Bang. Aku lagi katarsis.”

“Hah? Katarsis?”

“Iya Bang. Katarsis.”

Suara itu kembali terdengar lirih, bahkan nyaris seperti berbisik.

“Den …,” panggil saya. Tidak ada jawaban.

“Den!” Saya keraskan suara. Masih tak ada sahutan.

Saya pun bersijingkat ke luar kamar, memeriksa seluruh ruangan di penthouse itu sambil berulang-ulang memanggil Deni. Saya buka pintu seluruh kamar tidur yang memang tidak terkunci.

Saya buka semua pintu kamar mandi. Saya periksa dapur. Ruang pertemuan. Semua lampu saya nyalakan. Tetap saja saya tidak “menemukan” Deni.

Jadi, ke mana perginya Deni? Kalau dia lari ke luar penthouse pun, derap larinya pasti terdengar. Apalagi begitu saya periksa pintu utama, pintu itu terkunci dari dalam. Saya yang menguncinya tadi.

Juga mustahil Deni melompat melalui jendela. Selain semua jendela tertutup rapat, penthouse tempat kami menginap di apartemen itu berada di lantai 12. Lagian, tidak ada alasan bagi Deni untuk “melarikan diri” dari saya. Dia sendiri yang mengajak saya mengobrol tadi. Jangan-jangan bukan Deni yang saya ajak bicara tadi.

Pikiran itu membuat seluruh bulu kuduk saya berdiri. Rasanya ingin segera melakukan langkah seribu, bahkan kalau bisa langkah sejuta. Tetapi, tubuh saya terasa sedikit lemas, walau tetap saya paksakan untuk secepatnya kabur dari apartemen, kembali bergabung dengan teman-teman di kampus.

Perjalanan ke kampus rasanya lama sekali dan saya tidak berani menoleh ke belakang. Apalagi ketika berada di lift apartemen yang membawa saya turun dari lantai 12 ke lantai dasar. Di lift itu, saya benar-benar sendirian.

Katarsis….

Kata itu terus terngiang di telinga saya. Kata yang terasa janggal diucapkan oleh seorang Deni, kamerawan periang dan sedikit kocak lantaran suka melawak.

Katarsis, menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) adalah penyucian diri yang membawa pembaruan rohani dan pelepasan dari ketegangan. Itu jika dilihat dari sudut agama. Sedangkan dari sudut psikologi dan psikiatri adalah cara pengobatan orang yang berpenyakit saraf dengan membiarkannya menuangkan segala isi hatinya secara bebas. Katarsis juga merupakan istilah dalam dunia kesenian, khususnya sastra, yakni kelegaan emosional setelah mengalami ketegangan batin akibat suatu pengalaman dramatis.

Sepengetahuan saya, bagi kalangan seniman, proses katarsis bisa melahirkan karya-karya besar. Jangan-jangan teman ngobrol saya di apartemen tadi adalah seorang seniman. Kan di Jogja banyak seniman. Tapi ini pikiran yang terlalu liar. Yang pasti bukan Deni teman saya, karena istilah katarsis pun belum tentu dia tahu.

Maka sampailah saya di kampus. Orang pertama yang saya temukan adalah Azim, seorang news presenter dan produser di salah satu TV swasta di Jakarta yang direkrut jadi instruktur.

“Lho, Bang, udah balik lagi. Katanya mau istirahat dulu di apartemen,” ujar Azim.

“Nggak jadi. Nggak asyik sendirian di sana. Lagian udah nggak ngantuk.”

Azim tertawa kecil mendengar jawaban saya.

“Si Deni mana?” Tanya saya.

“Tuh,” jawab Azim sambil menunjuk ke arah lapangan tengah kampus.

“Udah lama dia di situ?”

“Lumayan. Udah lama juga. Sejak selesainya kelas Abang, kok.”

“Jam berapa sekarang, Zim?”

“Jam 9 lewat 35,” ujar Azim sambil melihat jam tangannya.

Saya meninggalkan kampus sekitar pukul sembilan. Jalan kaki bolak-balik antara kampus dan apartemen diperlukan waktu sekitar 30 menit. Berarti saya hanya berada sekitar lima menit di apartemen, tapi rasanya lama sekali.

Saya mulai yakin bahwa dia yang mengaku sedang melakukan katarsis itu bukan Deni. Tidak mungkin Deni secepat itu pulang dan pergi dari apartemen ke kampus lalu mengobrol dengan saya cukup lama, sementara dia sudah mulai bekerja sejak sekitar pukul sembilan.

Di lapangan yang ditunjuk Azim tadi, tampak Deni sedang serius mengoperasikan kameranya. Dia merekam para peserta melakukan live on tape secara bergantian. Live on tape adalah istilah untuk kegiatan rekaman live reporting (siaran langsung dari lapangan), atau laporan reporter dari lapangan yang direkam terlebih dulu sebelum disiarkan.

Saya pun menghampiri Deni.

“Den.”

“Ya, Bang.”

“Udah berapa orang yang lu rekam?”

“Belum banyak, Bang. Kebanyakan ngulang-ngulang. Nggak ada yang one take ok. Ya namanya juga bukan reporter beneran, banyak yang masih grogi,” sahut Deni panjang lebar.

“Emang kenapa Bang?”

“Nggak kenapa-napa. Cuman nanya doang. Emang lu nggak ke mana-mana dari tadi?”

“Ye, Abang ini nanya apa ngetes? Boro-boro mau ke mana-mana, mau ke toilet aja nggak sempet. Masih ngantri nih pasien saya,” ujar Deni sambil nyengir kuda dan sedikit ngegas. Yang dimaksud pasien adalah para peserta workshop yang sedang antri untuk mendapat giliran direkam.

“Lu bukannya lagi katarsis?” Tanya saya.

“Apa Bang?”

“Katarsis.”

“Apaan tuh?”

“Itu… semacam Sardencis,” ujar saya sambil membalikkan badan meninggalkan Deni yang sedang bekerja.

“Gua kagak doyan Sardencis, Bang. Abang lagi pusing, ya. Ngopi dulu sonoh. Muka abang pucet, tuh,” kata Deni sambil menggerutu.

Saya pun makin yakin, “teman saya” yang mengaku sedang melakukan katarsis itu memang bukan Deni. Melainkan makhluk atau spirit dari dimensi lain, yang “menyeberang” dan mengajak saya berbincang. Walau entah mengapa, dia tidak menolak ketika saya memanggilnya dengan nama Deni.

Hingga malam terakhir, pengalaman mistis ini tidak saya ceritakan kepada orang lain. Khawatir teman-teman ketakutan dan tidak betah di apartemen. Di malam terakhir, baru terkuak bahwa yang lain pun ternyata punya pengalaman mistis masing-masing.

Ada yang terkesima di tengah pesta

Workshop atau lokakarya tentang TV news reporter and presenter yang diikuti sekitar 150 mahasiswa Jogja itu berhasil kami rampungkan sesuai jadwal.

Dalam testimoninya di hari penutupan, para peserta workshop rata-rata menyatakan kepuasannya atas ilmu dan keterampilan jurnalisme TV yang mereka dapatkan dari para jurnalis TV senior selama lima hari.

Pihak kampus yang telah menyediakan fasilitas berupa sejumlah ruangan untuk digunakan sebagai tempat workshop juga menyampaikan terima kasih kepada kami, yang dinilai sukses mengisi hari libur panjang para mahasiswanya dengan kegiatan yang sangat berguna.

Sementara pengalaman saya berbincang dengan spirit yang tak kasat mata dan mengaku sedang melakukan katarsis di apartemen tua tempat kami menginap, masih belum saya ungkapkan kepada teman-teman.

Seusai acara penutupan dan makan malam bersama, saya menyampaikan usul kepada Mada, sang ketua pantia, agar evaluasi terakhir dengan para instruktur dan panitia dilakukan di kampus, bukan di apartemen seperti pada malam-malam sebelumnya. Alasan saya, supaya sekembalinya ke apartemen, kami tinggal beristirahat dan tidak dibebani lagi dengan urusan lokakarya.

Mada menerima usulan saya. Begitu pula yang lainnya. Padahal alasan saya yang sebenarnya bukan itu. Saya lebih merasa nyaman menceritakan pertemuan dengan “sang katarsis” di luar apartemen. Sebab saya khawatir, jika misteri ini saya ceritakan di lokasi kejadian, sang katarsis akan ikut mendengarkan lalu melakukan hal-hal yang tidak dapat saya duga.

Evaluasi berlangsung singkat. Kemudian, saya meminta teman-teman untuk tidak beranjak dulu dari tempat duduknya masing-masing. Saya ingin bercerita tentang sesuatu yang saya rahasiakan selama menginap di apartemen.

Tentu saja mereka penasaran.

Lalu, cerita tentang obrolan saya dengan sang katarsis yang tak kasat mata itu pun, mengalir dari mulut saya, ditutup dengan kalimat: “Sengaja saya rahasiakan pengalaman ini selama berhari-hari, supaya kalian tidak ketakutan hingga mengganggu konsentrasi kerja.”

Semuanya mendengarkan cerita saya dengan penuh perhatian. Beberapa di antaranya tidak mampu menyembunyikan ekspresi ketakutan.

“Sekarang gua ngerti kenapa Abang waktu itu nyelidik saya,” tiba-tiba Deni berkomentar. “Untung juga gua nggak pernah nginep di apartemen.”

Saya baru sadar bahwa selama ini ternyata Deni, sang kamerawan, bersama Dudi, audioman, selalu menginap di studio mini yang kami bangun di salah satu ruangan kampus. Alasan mereka sederhana, pertama agar tidak kesiangan esok harinya. Kedua, di kampus banyak teman, karena sebagian mahasiswa peserta lokakarya, ada juga yang menginap di situ. Ketiga, dengan menginap di kampus, kamera, tripod, dan peralatan lighting serta peralatan editing dijamin aman.

Dari ketiga alasan ini, alasan nomor tiga yang paling kuat. Tetapi apa pun alasannya, yang pasti Deni tidak pernah menginap di apartemen. Itu pula mungkin sebabnya mengapa sang katarsis meniru suara Deni ketika mengajak berbincang dengan saya.

“Sekarang giliran gua yang cerita ya.” Azim, yang sejak tadi tampak acuh tak acuh mendengarkan cerita saya, sekonyong-konyong bersuara.

Maka berceritalah Azim.

Suatu malam, saat Azim sedang tidur cukup nyenyak di apartemen. Tiba-tiba dia dibangunkan oleh suara melengking yang berulang-ulang memanggil namanya dari luar kamar.

Awalnya Azim mengabaikan panggilan itu. Namun, semakin diabaikan, suara panggilan tersebut terdengar semakin nyaring. Azim pun penasaran. Dia pun bangun. Beranjak dari tempat tidur menuju pintu kamar, lalu membukanya. Terilhat ada beberapa laki-laki dan wanita melambai-lambaikan tangannya, mengajak Azim mendekat.

Azim sama sekali tidak mengenal orang-orang itu. Namun lambaian tangan mereka membuat Azim merasa penasaran. Azim pun menghampiri mereka.

Lalu, dengan bahasa isyarat, mereka mengajak Azim untuk terus berjalan ke ruang pertemuan tempat biasa kami berdiskusi setiap malam. Di ruang pertemuan itu ternyata sudah banyak orang yang tampaknya sedang berpesta.

Beberapa di antara mereka ada yang sedang menyanyikan lagu-lagu lawas, lagu pop tahun 80an diringi denting piano. Di sudut lain ruangan beberapa orang lainnya tampak sedang berbincang diselingi gelak tawa.

Cukup lama Azim menyaksikan adegan pesta yang sangat meriah itu sambil menduga-duga jangan-jangan dia masuk ke lantai apartemen yang salah dan tidur di kamar yang salah karena tak seorang pun yang dia kenal berada di pesta tersebut. Tetapi dia juga merasa yakin, malam itu, seperti malam-malam sebelumnya, dia pulang dari kampus ke apartemen beramai-ramai. Kemudian berdiskusi di ruang pertemuan biasa yang sekarang menjadi arena pesta dan tidur di kamar yang juga biasa dia tempati. Lalu ke mana teman-teman lainnya? Masih tidur?

Azim berusaha untuk kembali ke kamar tidur, guna memeriksa apakah teman-temannya masih ada. Kalau ada dan masih tidur, dia berniat membangunkan mereka.

Namun, entah mengapa, Azim tidak mampu menggerakkan tubuhnya. Dia terpaku di salah satu titik ruangan, seakan dipaksa untuk menyaksikan adegan pesta, tetapi tak seorang pun mengajaknya berbicara.

Setelah sekian lama, orang-orang itu tampak saling berpamitan. Rupanya pesta sudah berakhir. Satu per satu meninggalkan ruangan, meninggalkan penthouse tempat kami menginap. Suasana ruangan berubah sepi. Tak ada lagi gelak tawa. Tak ada lagi suara musik. Bahkan piano yang sebelumnya terlihat dimainkan seseorang, juga tak ada di tempat.

Seketika itu juga Azim dilanda rasa takut yang luar biasa. Dia berlari ke kamar. Semula dia bermaksud membangunkan teman-teman sekamarnya. Namun begitu menyaksikan mereka sedang tidur sangat lelap, Azim mengurungkan niatnya. Mereka perlu istirahat, pikirnya, karena mereka harus bekerja kembali esok hari di kampus.

Azim kembali ke tempat tidurnya, berusaha memejamkan mata, tapi tak kunjung bisa. Adegan pesta yang dia saksikan di ruang pertemuan terus-menerus mengganggu pikirannya, hingga tak terasa malam pun berganti pagi.

Azim membangunkan teman-temannya dan segera bersiap-siap untuk melanjutkan kegiatan lokakarya di kampus. Dia berjanji kepada dirinya sendiri untuk merahasiakan pengalaman misterius di apartemen itu hingga kegiatan workshop berakhir.

Pengalaman Azim menyaksikan pesta yang dilakukan oleh entah siapa itu, berlangsung pada malam keempat kami menginap di apartemen. Malam selanjutnya, Azim memutuskan untuk bergabung dengan Deni dan Dudi, menginap di kampus.

Adalah hal yang wajar bila instruktur pria atau anggota panitia pria memilih untuk menginap di kampus. Sehingga Deni dan Dudi pun merasa tidak perlu bertanya mengapa Azim bergabung dengan mereka.

“Lho, kalau lu nggak nginep di apartemen tadi malam, terus siapa yang tadi pagi minta gua bikinin kopi?”

Tiba-tiba Yulis bertanya kepada Azim.

“Emang ada yang minta dibikinin kopi?” Azim balik bertanya.

“Iya! Elu!” Seru Yulis.

Azim tepok jidat.

“Busyet, deh. Ada yang nyaru jadi gua,” ujarnya.

Jadi, rupanya Yulis pun mengalami kejadian aneh. Pagi itu saat Azim sebenarnya sudah berada di kampus sejak malam harinya, Yulis menyeduh kopi di dapur. Tiba-tiba dia melihat Azim datang menghampirinya.

“Lagi bikin kopi ya, Yul?”

Azim, atau sesosok makhluk menyerupai Azim, yang diyakini Yulis sebagai benar-benar Azim itu menyapa Yulis.

“Iya,” jawab Yulis.

“Bikinin gua juga dong. Gua mau mandi dulu,” kata seseorang yang menyerupai Azim itu sambil beranjak pergi.

“Oke. Ntar gua bikinin,” kata Yulis.

Yulis kemudian menyeduh kopi untuk Azim. Instruktur workshop yang sehari-harinya bekerja sebagai TV news presenter itu sama sekali tidak tahu bahwa Azim yang asli sudah tidak berada di apartemen.

Kopi untuk Azim ditaruhnya di salah satu meja di ruang pertemuan. Dia tidak sempat memastikan siapa yang akhirnya meninum kopi tersebut, karena dia langsung bersiap diri untuk pergi ke kampus.

“Gua juga punya cerita.”

Mada, yang sejak tadi tidak berkomentar sekonyong-konyong bersuara.

Mada lalu berkisah bahwa pada malam keempat, malam sebelum Azim menyaksikan adegan pesta di ruang pertemuan penthouse, dia bersama Kamsudi, kamerawan lainnya, baru tiba di apartemen sekitar pukul dua malam. Ada banyak hal yang harus mereka selesaikan terlebih dulu di kampus. Sementara teman-teman lainnya sudah berada di apartemen sejak sebelum pukul 12 dan kemungkinan pada saat itu sudah tidur semua.

Ketika keduanya tiba di lobi apartemen, Mada dan Kamsudi menyaksikan kegiatan yang tidak biasa. Lobi apartemen yang pada malam-malam sebelumnya selalu terlihat sepi, ternyata malam itu ramai sekali dengan sejumlah pengunjung berpakaian pesta.

Keduanya lalu menuju lift yang biasa membawa mereka ke lantai 12. Di depan pintu lift, ramai sekali orang berkerumun menunggu pintu lift terbuka.

Begitu pintu lift terbuka, orang-orang itu berdesakkan masuk. Mada dan Kamsudi juga ikut masuk. Setelah pintu lift tertutup kembali, ternyata yang berada di dalam lift hanya mereka berdua. Keduanya saling pandang penuh keheranan.

Ke mana orang-orang yang bersama mereka masuk ke dalam lift tadi?

Kok menghilang tiba-tiba.

Sesampainya di lantai 12, Mada mengusulkan untuk kembali ke lantai dasar. Dia masih penasaran dengan orang-orang yang bersama mereka tadi. Kamsudi setuju. Lift kembali meluncur turun ke lantai dasar, ke lobi apartemen.

Setibanya di lantai dasar dan keluar dari lift, keduanya terkesiap karena lobi apartemen yang tadinya sangat ramai itu ternyata sangat sepi. Seperti malam-malam sebelumnya.

Mada dan Kamsudi buru-buru masuk kembali ke dalam lift, menekan tombol lantai 12. Keduanya berdiam diri hingga masuk ke dalam penthouse yang ternyata juga sudah sepi karena teman-teman lainnya sudah berada di kamar mereka masing-masing. Mada dan Kamsudi sepakat untuk tidak menceritakan pengalaman aneh mereka kepada teman-teman hingga berakhirnya lokakarya.

Walhasil, bukan hanya saya yang mengalami kejadian mistis di apartemen tempat kami menginap. Juga bukan hanya saya yang merahasiakan kejadian aneh itu karena khawatir akan mengganggu konsentrasi kerja teman-teman.

Yang menjadi pertanyaan, kenapa makhluk-makhluk gaib itu memperlihatkan diri kepada sebagian kami atau mengajak berbincang tanpa memperlihatkan wujudnya seperti sang katarsis. Kesimpulan sementara, mungkin mereka merasa terganggu dengan kehadiran kami atau mungkin saja mereka sekedar ingin berkenalan.

Usai berbagi pengalaman, kami beramai-ramai pulang dari kampus ke apartemen. Saat itu sudah pukul tiga dini hari. Sepanjang perjalanan tak ada seorang pun yang berbicara. Kami semua “mengembara” dengan pikiran masing-masing, sambil bertanya-tanya kejadian apa lagi yang akan kami temukan di apartemen.

Kami pun tiba di penthouse yang terlihat sangat berantakan. Kursi-kursi dan meja di ruang pertemuan tempat kami biasa berdiskusi, tampak tak beraturan. Padahal, biasanya sangat rapi karena sudah dibereskan oleh para pegawai apartemen di siang harinya.

Dari arah dapur terdengar seolah-olah ada kesibukan. Suara orang-orang berbicara dengan kata-kata yang tidak jelas. Suara peralatan dapur yang saling beradu. Suara orang yang sedang memasak. Sementara dari arah kamar mandi, terdengar begitu jelas suara air yang mengucur dari keran yang terbuka.

Siapa mereka? Seharusnya tak ada orang lain selain kami. Kalaupun ada, ngapain mereka bikin kesibukan di saat menjelang subuh?

Kami berkumpul saling berdekatan. Bahkan nyaris saling berdempetan di ruang pertemuan. Rata-rata memperlihatkan wajah ketakutan. Mungkin termasuk saya, tapi saya tidak bisa melihat wajah saya sendiri.

“Bang,” suara Mada memecah ketegangan.

Saya menoleh ke arah Mada.

“Ngomong dong, Bang,” lanjut Mada.

Saya paham maksud Mada. Saya harus berbicara dengan makhluk-makhluk atau spirit tak kasat mata, yang kemungkinan berada di sekitar kami saat itu.

“Teman-teman,” ujar saya dengan volume suara yang agak keras dan sedikit gemetar.

“Terima kasih telah menerima kami dari Jakarta. Sebagai sesama makhluk Allah, kami mohon maaf jika kami menganggu ketenangan teman-teman. Juga mohon maaf karena kami tidak kulonuwun terlebih dulu. Semua ini terjadi karena ketidaktahuan kami. Tidak tahu bahwa teman-teman telah lebih dulu hadir di sini sebelum kami. Kedatangan kami ke sini adalah untuk maksud yang baik. Sekali lagi terima kasih atas sambutan teman-teman. Besok kami akan kembali ke Jakarta. Doakan kami agar lancar di perjalanan.”

Suara-suara dan bebunyian dari arah dapur dan kamar mandi pun berhenti. Senyap seketika.

Beramai-ramai kami pergi ke dapur. Tidak ada orang di sana. Semua peralatan dapur tertata rapi di tempatnya masing-masing. Lalu kami beramai-ramai pergi ke kamar mandi. Semua kamar mandi kosong. Tidak ada keran air yang terbuka.

Beramai-ramai lagi mengunjungi kamar demi kamar. Semua tempat tidur tampak rapi, sepreinya juga bersih, sepertinya baru diganti oleh pegawai apartemen siang tadi.

Kemudian, tanpa dikomandoi, beramai-ramai pula kami keluar dari penthouse, masuk ke dalam lift menuju lantai dasar, lalu keluar dari komplek apartemen, pergi menuju Simbok yang biasa jualan gudeg dan krecek menjelang pagi, di pinggir jalan yang tak jauh dari apartemen.

Sambil menyantap gudeg, krecek, dan telur rebus, obrolan tentang kejadian-kejadian yang telah kami alami di apartemen kami lanjutkan di sana, sampai pagi.

Siangnya, sambil check out, sebagian kejadian mistis yang kami alami di penthouse, kami ceritakan kepada para petugas apartemen. Mereka hanya tersenyum penuh pengertian.

“Syukurlah kalau Anda sudah berkenalan dengan mereka,” ujar salah seorang petugas, yang lalu bercerita panjang lebar tentang makhluk-makhluk gaib tersebut. Sayangnya, saya tidak boleh menceritakan kembali hal itu di sini.

“Mereka hanya ingin berkenalan,” ujar petugas lainnya yang berdiri membelakangi kami. Saya yang berdiri agak menyamping sempat melihat kerlingan matanya. Sambil berjalan menjauh, saya bersumpah melihatnya tersenyum tipis. Aneh.

BACA JUGA Sebuah Kesalahan Fatal di Kaliurang Membuat Teman Saya Diusir dari Yogyakarta dan pengalaman mistis lainnya di rubrik MALAM JUMAT.

Penulis: Billy Soemawisastra

Editor: Yamadipati Seno

 

Exit mobile version