Gunung Gede Pangrango: Dituntun Macan Kumbang, Disedot Suara dari Tengah Hutan (BAGIAN 2)

Kami tidak ingin melangkah. Namun, kaki saya dan Rio seperti disedot oleh kegelapan hutan, oleh suara yang terdengar sangat janggal itu. Kami hanya bisa menurut lalu melangkah….  

Gunung Gede Pangrango: Dituntun Macan Kumbang, Disedot Suara dari Tengah Hutan (BAGIAN 2) MOJOK.CO

Ilustrasi misteri Gunung Gede Pangrango (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COSedetik kemudian, saya merasa Gunung Gede Pangrango berubah menjadi sebuah tempat yang terasa asing dan mengancam. Saya terdiam, tidak mampu berbicara. 

Baca dulu Bagian 1 di sini: Misteri Gunung Gede Pangrango: Firasat dan Tersesat dalam 1 Tarikan Napas (Bagian 1)

Sekarang saya memahami alasan Kang Damar mendesak kami untuk terus jalan menuju pos 3 Cileutik. Kang Damar adalah pemandu kami selama mendaki Gunung Gede Pangrango.

Selama perjalanan dari basecamp menuju pos 3, saya tidak melihat ada sumber mata air. Saya baru sadar ketika saya meminta berhenti sebentar untuk minum. Persediaan air semakin menipis, keringat bercucuran, rambut lepek dan berantakan. Hanya dengan sinar headlamp, saya bisa melihat teman-teman saya yang kelelahan. 

Rasanya kami tidak sanggup untuk melewati jalan yang terjal ini. Kami harus susah payah merunduk dan berhati-hati terhadap pohon yang tumbang di tengah jalur pendakian. Gerah, haus, dan lelah menumpuk membuat kami merasakan sensasi terbakar di paha. Saya terdiam cukup lama, memberi isyarat untuk beristirahat lagi.

Suasana hutan sunyi dan gelap. Saya mau duduk tapi justru merasa tak nyaman di paha jadi saya memutuskan berdiri saja. Saya berusaha mengatur napas yang sudah tersengal-sengal. Rio dan Bayu yang sudah berpengalaman pun kelelahan. Mereka duduk di dekat batang pohon, di sebelah kiri saya. Miska hanya diam dan kini tidak banyak bicara. Jam baru menunjukkan pukul setengah 7 malam, tapi suasana sudah terasa sangat sepi dan hening.

Dia yang berdiri di belakang pohon besar

Suasana hening pecah ketika suara gemerisik daun terdengar dari balik pepohonan. Secara reflek saya menengok ke arah sumber suara. Sebetulnya saya agak ragu, tapi separuhnya saya yakin melihat sosok manusia mengintip dari balik pohon. Namun, kalau manusia, kenapa tingginya hampir sama seperti tinggi pohon.

Melihat keganjilan itu, saya langsung menarik lengan baju Teuku. “Bro, pindah dong, ke sebelah kiri gue.”

Saya meminta Teuku untuk pindah posisi karena sosok itu membuat saya takut dan merinding. Gimana nggak merinding, dari sekian banyak orang di sana, saya yang melihat sosok itu. Makhluk besar yang tingginya hampir sepohon itu melihat ke arah kami dari balik pohon, diam dan tanpa suara. Dia memperhatikan setiap gerak gerik kami. 

Sebetulnya saya ingin memberitahu teman yang lain. Namun, dia yang berdiri di balik pohon itu sudah berpindah tempat ketika saya menarik lengan Teuku. Ketimbang bikin geger, saya memilih diam. Apalagi rombongan kami memutuskan untuk melanjut pendakian Gunung Gede Pangrango setelah sejenak mengaso. Kali ini, Bayu meminta Rio menggantikan dirinya menjadi sweeper. Saya, yang berada di posisi kedua paling belakang, meminta gantian tempat sama Teuku. 

Kami melanjutkan lagi perjalanan “mendaki” lereng Gunung Gede Pangrango yang terjal ini. Saya sedikit melupakan sesuatu, hingga membuat saya balik lagi dan untungnya kami belum berada cukup jauh. Seperti biasa, saya meninggalkan tanda di pepohonan.

“Dituntun” macan kumbang

Selang beberapa menit berjalan, saya mendengar suara geraman hewan buas seperti macan atau sejenisnya. Rio yang juga mendengar suara itu memastikan ke saya apakah saya juga mendengar itu. Saya mengangguk dan berbalik badan ke arah suara. Tiba-tiba Kang Damar berteriak karena kaget.

Malam itu, untuk kali pertama kalinya selama hidup, kami berpapasan (atau mungkin dikuntit) oleh macan kumbang. Dia menggeram dan suaranya terdengar sangat mengancam.

Setahu saya, macan kumbang itu sangat langka untuk ditemui. Entah ini keberuntungan atau petaka bagi kami. Rio berbisik ke telinga saya untuk mundur pelan-pelan. Saya gemetar hebat dan bersembunyi di balik punggung Rio yang lebar.

Teuku, Bayu dan Miska pun berusaha untuk tidak membuat suara. Mereka hanya terdiam di tempat, berharap hewan buas itu tidak menyadari keberadaan mereka. Saya, sembari berjalan mundur, memperhatikan gerak-gerik hewan buas itu. Sangat tidak mungkin hewan itu belum menyadari keberadaan kami.

Rio dan saya pun mundur perlahan. Namun, karena banyak ranting pohon di tanah, kami tidak sengaja menginjak ranting itu. Bunyi patahan ranting membuat macan kumbang itu semakin waspada. Karena saya dan Rio sudah setengah mati ketakutan, akhirnya tanpa disadari, kami langsung berlari kencang tanpa memperhatikan arah. Satu yang hanya kami pikirkan saat itu: KABUR!

Harusnya kami tetap tenang dan jangan lari. Tapi maaf, mental dan nyali kami tidak sekuat itu. Jalanan setapak Gunung Gede Pangrango yang tadinya sulit itu jadi terasa sangat mudah. Mungkin, adrenaline rush membuat kami tiba-tiba mempunyai kemampuan dan ketangkasan di atas rata-rata. 

Karena melihat saya dan Rio berlari, Teuku, Bayu, Miska, dan Kang Damar juga ikut berlari. Kami berlari di dalam kegelapan hutan. Saya masih ingat betul keadaan saat itu, di mana kami berlari membabi buta tanpa arah. Intinya yang ada di kepala kami hanyalah menyelamatkan diri.

Terpisah dari rombongan

Kami berlari tanpa arah, tak sempat memperhatikan satu sama lain. Gelap dan hanya mengandalkan sinar headlamp, kami tidak memperhatikan keadaan sekitar sampai akhirnya terpisah. Saya, Rio, dan Teuku memilih jalur yang berbeda dengan lainnya.

Setelah cukup jauh berlari, kami berhenti untuk mengatur napas. Kami juga menyadari, macan kumbang itu tidak lagi mengejar (atau cuma bayangan kami saja macan kumbang itu mau memangsa kami). Rio langsung merebahkan dirinya ke tanah dan membuka percakapan dengan napas yang tidak beraturan. 

Dia bilang kalau ini pertama kalinya dalam sejarah mendaki Gunung Gede Pangrango lalu bertemu hewan buas nan langka. Teuku duduk bersila dan menatap ke arah langit. Saya sibuk memegangi perut yang terasa sakit karena berlari sambil mengamati sekeliling kami. 

Saya bingung karena hanya mendapati kami bertiga saja. Setelah memahami situasi, akhirnya saya mengatakan kepada Rio dan Teuku sepertinya kita bertiga terpisah dengan yang lainnya. Rio yang kaget pun langsung bangkit dan melihat sekitar.

Kami tidak tahu di mana saat itu meski secara sadar ada di sekitar Gunung Gede Pangrango. Sudah jelas kami salah mengambil jalur. Rio yang mengamati keadaan sekitar tidak menemukan jalan setapak. Sementara saya tidak menemukan tanda arah.

Rio yang lebih berpengalaman mencoba untuk menenangkan saya dan Teuku. Jujur, saya sangat panik dan gelisah. Tapi, mengingat ini adalah alam liar dan di Gunung Gede Pangrango pula, hal-hal buruk bisa saja terjadi apabila saya mengatakan hal yang serampangan dan aneh-aneh. Jadi, sebisa mungkin saya menata emosi dan mental. Mencoba untuk tetap tenang dan berusaha mencari jalan keluar.

Menenangkan diri hukumnya wajib

Karena berlari tanpa memperhatikan sekeliling, kami tidak mengingat arah jalan yang kami lalui. Malam itu, jam sudah menunjukkan pukul 8 malam. Lapar dan lelah menjadi 1. Pada akhirnya kami sepakat mencari tempat yang cukup datar untuk mendirikan tenda.

Sekitar 10 menit mencari, akhirnya kami menemukan tempat yang pas untuk mendirikan tenda. Karena terpisah dengan Kang Damar, pemandu sekaligus porter logistik selama pendakian Gunung Gede Pangrango, kami hanya bisa pakai alat dan perlengkapan seadanya. Kami akhirnya mencoba mengeluarkan semua barang yang kami bawa. 

Untungnya, saya saat itu membawa logistik makanan, tenda, matras, dan beberapa perlengkapan survival lainnya seperti flint and steel, sedikit minyak tanah, juga pisau. Teuku membawa panci dan makanan instan seperti bubur, ayam suwir, dan sosis siap makan. Untuk Rio sendiri, dia hanya membawa flysheet dan logistik makanan juga. 

Walaupun dalam keadaan seperti itu, kami cukup kompak dan mengerti tugas masing-masing. Teuku sibuk mengurusi api unggun dan mencari kayu bakar, Rio mendirikan tenda, sementara saya yang sibuk menyiapkan makanan. Saat itu, di sekeliling kami tidak ada sumber air. Jadi kami hanya bisa mengandalkan air seadanya.

Kami bertiga duduk termenung, memandangi api unggun yang menyala. Saya yang memikirkan hari esok, akhirnya mencoba untuk menyalakan ponsel. Ketika ponsel menyala, saya buru-buru cek sinyal tapi nahas sekali, tidak ada sinyal saat itu. Walaupun begitu, saya tetap berusaha untuk mengirim pesan ke Dave. Berharap barangkali terkirim.

Trauma masa kecil yang terpanggil

Saya melihat Teuku hanya terdiam dari tadi. Sepertinya dia cukup shock karena tidak menyangka bisa juga tersesat. Saya mencoba untuk menghibur dan membuka pembicaraan untuk rencana esok pagi. Berusaha untuk tetap tegar dan tidak takut, walaupun kenyataannya saya ingin sekali menangis. Apakah ini maksud dari firasat buruk yang dirasakan oleh suami saya sebelumnya?

Malam itu cukup dingin dan mungkin akan turun hujan. Rio dan Teuku berjaga di luar, sedangkan saya sendirian di dalam tenda. Sepertinya mereka sedikit canggung harus satu tenda dengan perempuan. Saya mencoba tidur dan bisa terlelap sejenak. Tak lama saya tertidur, Rio tiba-tiba masuk ke dalam tenda. Karena kaget, saya terbangun dan menanyakan ada apa. Wajah mereka pucat sekali. 

“Bro, kenapa? Muka lu pucet banget!”

Rio diam sejenak, lalu menjelaskan apa yang terjadi. Rio bilang dia melihat bola api yang terbang sekelebat. Dia pikir cuma halusinasi saja karena kelelahan. Namun, ketika menggeser pandangan, dia melihat seorang perempuan berdiri agak jauh dari tenda yang saya pakai untuk tidur. Perempuan itu melambaikan tangannya, meminta Rio untuk mendekat.

Tatapan Rio masih tertuju ke perempuan itu ketika dia bertanya kepada Teuku. Namun, Teuku hanya diam dan menggelengkan kepalanya. Seketika itu juga, Rio beranjak dan bilang ke Teuku kalau dia masuk ke tenda karena ngantuk.

Saya yang mendengar hal itu langsung gemetaran. Trauma masa kecil seperti terpanggil datang. Sekujur tubuh saya tidak henti-hentinya bergetar. Melihat saya panik dan teringat akan trauma masa lalu, Rio mencoba menenangkan saya. Tak lama, Teuku ikut masuk tenda. Dia bilang kalau hujan sudah mulai turun. Wajahnya datar dan seperti sibuk memikirkan sesuatu

Benar saja, tiba-tiba turun hujan deras. Badan saya menggigil, campuran serangan trauma dan kedinginan. Melihat itu, teman-teman saya berinisiatif untuk saling berdekatan. Kami membentuk lingkaran di dalam tenda. Saya pun terlelap dalam tidur.

Suara minta tolong

Sekitar pukul 2 pagi, saya terbangun karena desakan berkemih sementara di luar sudah tidak hujan. Entah kenapa kalau sedang tegang begini, ada saja dorongan untuk kencing. Sebetulnya saya sangat takut karena trauma masa kecil. Namun, desakan untuk kencing sangat sulit ditahan.

Oleh sebab itu, saya mencoba membangunkan Teuku dan Rio. Teuku tidak memberi respons dan tetap tidur. Sepertinya dia sangat kelelahan. Sementara itu Rio terbagun dan mengiyakan permintaan saya meski setengah sadar.

Kami keluar dari tenda menerobos dinginnya malam Gunung Gede Pangrango. Kami berjalan mengarah ke sebidang tanah di antara pepohonan di belakang tenda. Saya lantas menggali sedikit tanah sambil meminta Rio untuk balik badan. Dia menurut saja.

Sebelum kencing, sudah pasti saya “permisi”. Sesuai nasihat orang tua, permisi dulu sebagai bentuk rasa hormat kepada penunggu Gunung Gede Pangrango. Namun, nyatanya, setelah permisi pun saya masih diganggu. Pusing.

Selesai kencing dan sedang beres-beres, saya mendengar suara minta tolong dari dalam hutan.

“Tolong. Tolong. Siapa saja. Tolong. Saya kedinginan.”

Suara itu terdengar lirih dan lemah. Saya nggak bisa memastikan entah itu suara laki-laki atau perempuan. Rio juga mendengar suara minta tolong itu. Kami berdua mencoba berpikir positif.

DItarik oleh suara

Sebetulnya kami berada dalam dilema. Apakah sebaiknya kembali ke tenda atau mencari sumber suara itu. Siapa tahu, ada pendaki Gunung Gede Pangrango yang tersesat dan terluka. Bisa jadi pula itu teman-teman kami yang terpisah.

Di tengah dilema itu, suara minta tolong itu justru terdengar lebih jelas dibandingkan sebelumnya. Apakah mungkin orang yang minta tolong ini berjalan mendekati kami? Sementara itu, kami berdua juga sadar bahwa berada di tengah gunung ketika waktu sudah lepas 2 malam, lalu mendengar sesuatu yang janggal itu artinya tanda bahaya.

Bingung. Kami hanya mematung sambil mengamati kondisi sekitar. Entah bagaimana, kedua kaki kami melangkah ke arah suara itu. Dorongannya sangat kuat dan sulit untuk kami tolak. Kami tidak ingin melangkah. Namun, kaki saya dan Rio seperti disedot oleh kegelapan hutan, oleh suara yang terdengar sangat janggal itu.

Kami hanya bisa menurut lalu melangkah….  

BERSAMBUNG

BACA JUGA Sejarah Gunung Gede Pangrango dan Makhluk Gaib Pengganggu Pendaki dan kisah menegangkan lainnya di rubrik MALAM JUMAT.

Penulis: Agnes Putri Widiasari

Editor: Yamadipati Seno

Exit mobile version