Gunung Gede Pangrango: Sebuah Desa yang Muncul dari dalam Tanah (Bagian 3)

Kakek tua itu menanyakan kenapa kami keluar dari jalur hutan Gunung Gede Pangrango dengan Bahasa Sunda yang kental.

Gunung Gede Pangrango: Sebuah Desa yang Muncul dari dalam Tanah (Bagian 3) MOJOK.CO

Ilustrasi Gunung Gede Pangrango: Sebuah Desa yang Muncul dari dalam Tanah. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.CO – Sedetik kemudian, saya merasa Gunung Gede Pangrango berubah menjadi sebuah tempat yang terasa asing dan mengancam. Saya terdiam, tidak mampu berbicara.

Baca dulu bagian 2 di sini: Gunung Gede Pangrango: Dituntun Macan Kumbang, Disedot Suara dari Tengah Hutan (BAGIAN 2)

Ditarik oleh suara

Sebetulnya kami berada dalam dilema. Apakah sebaiknya kembali ke tenda atau mencari sumber suara itu. Siapa tahu, ada pendaki Gunung Gede Pangrango yang tersesat dan terluka. Bisa jadi pula itu teman-teman kami yang terpisah.

Di tengah dilema itu, suara minta tolong itu justru terdengar lebih jelas dibandingkan sebelumnya. Apakah mungkin orang yang minta tolong ini berjalan mendekati kami? Sementara itu, kami berdua juga sadar bahwa berada di tengah gunung ketika waktu sudah lepas 2 malam, lalu mendengar sesuatu yang janggal itu artinya tanda bahaya.

Bingung. Kami hanya mematung sambil mengamati kondisi sekitar. Entah bagaimana, kedua kaki kami melangkah ke arah suara itu. Dorongannya sangat kuat dan sulit untuk kami tolak. Kami tidak ingin melangkah. Namun, kaki saya dan Rio seperti disedot oleh kegelapan hutan, oleh suara yang terdengar sangat janggal itu.

Kami hanya bisa menurut, lalu melangkah….

Langkah demi langkah kami menelusuri kegelapan hutan. Bermodalkan sebuah senter, saya dan Rio mencari sumber suara. Desakannya terasa sangat kuat untuk terus saja menembus gelapnya hutan. Di kemudian hari, ketika mengingat peristiwa itu lagi, saya dan Rio sepakat kalau kami seperti merasa “tidak enak hati” kalau mengabaikan suara itu. Entah kenapa….

Selain itu, Rio sendiri punya jiwa sosial dan empati yang tinggi. Oleh sebab itu, keraguan yang tadinya terlihat, perlahan menghilang dari raut wajahnya. Saya sendiri sebetulnya ingin mengabaikan suara itu. Namun, saya seperti disedot oleh suara itu. Seakan-akan, suara dari kegelapan malam Gunung Gede Pangrango itu memiliki magnet tersendiri. 

Itu… manusia, tapi

Saya mencoba untuk tetap berpikir jernih sembari pelan-pelan menelusuri hutan gelap. Tiba-tiba, seperti ada kesadaran yang datang, saya menarik lengan Rio. Saya agak ragu mengatakannya, bahwa tidak seharusnya kita meninggalkan Teuku sendirian di tenda. Rio memahami hal ini dan berjanji kalau sampai jarak 100 meter sumber suara belum ketemu, kita akan kembali ke tenda.

Saya hanya mengangguk, dan kami berjalan lagi. 

Malam itu hutan Gunung Gede Pangrango berkabut. Semakin melangkah ke dalam hutan, semakin tebal pula kabut yang mengganggu pandangan kami. Rasa was-was, gelisah, dan takut membuat saya mengurungkan diri untuk meneruskan dan memilih kembali ke tenda. Rio, dengan sedikit rasa enggan, mengiyakan desakan saya. Rio memberi tanda di pohon lalu setelah itu kami berbalik arah. Kami memutuskan untuk balik ke tenda.

Sedikit kewalahan akibat kabut yang tebal, akhirnya Rio terpaksa menyalakan mode jarak jauh di senternya. Sinarnya memang bisa sedikit menembus kabut-kabut yang menghalangi jalan. Namun, jalur balik ke tenda terasa berbeda sekali.

Sekitar mungkin 50 meter dari tenda, ada hawa dingin yang menerpa tubuh kami berdua. Hawa dingin yang jujur saja membuat kami terkejut. Sedetik kemudian, kami mendengar suara yang sama. Kali ini bukan suara minta tolong, tetapi suara seperti orang tua yang memanggil. 

Saya yang mendengar itu sontak menoleh ke arah kiri. Sekelebat saya bisa melihat sosok nenek tua terdiam di pinggiran agak jauh dari posisi kami. Melihat itu saya langsung lari terbirit-birit, menarik tangan Rio untuk segera pergi dari sana. Itu… manusia. Atau setidaknya saya ingin berpikir seperti itu. Namun, saya justru merasakan tidak nyaman setelah melihat sosoknya. 

Sesampainya di tenda, saya langsung masuk dan membungkus diri ke dalam sleeping bag. Rio sendiri pun enggan untuk menanyakan ada apa dan memilih untuk tidur. 

Pagi yang indah di balik “bencana” tersesat

Pagi harinya, saya terbangun sebelum pukul 6 pagi masih dalam keadaan setengah sadar. Hawa Gunung Gede Pangrango terasa dingin sekali. Saking dinginnya, saya langsung mengeluarkan jaket dari dalam tas dan mengenakannya. Padahal saya sendiri sudah pakai sweater

Setelah nyawa terkumpul, saya keluar dari tenda dan mendapati Teuku yang sibuk membuat sarapan. Dia juga menawarkan segelas kopi hangat. 

Sumpah, pemandangan di sekitar Gunung Gede Pangrango sungguh menakjubkan. Benar-benar beda dari yang lain. Walau jalur Selabintana ini terbilang berat, rasa lelah pasti terbayar ketika bisa menikmati pagi di sana. Sayangnya, di tengah keindahan ini, kami malah tersesat, baik secara faktual maupun “alam lain”.

Sebetulnya saya malas untuk memikirkannya. Memikirkan fakta bahwa kami tersesat, terpisah dari rombongan, dan belum menemukan solusi untuk kembali ke jalur yang benar ketika mendaki Gunung Gede Pangrango.

Setelah duduk, saya berusaha menikmati segelas kopi hitam sebisa mungkin. Menikmati kicauan burung di pagi hari, ditambah pemandangan yang sangat tak ternilai harganya ini. Walaupun masih sedikit berkabut, tapi pepohonan rimbun yang hijau cukup menyegarkan pikiran yang kusut.

Dugaan Teuku

Teuku menanyakan keberadaan kami semalam. Ketika terbangun, Teuku tidak mendapati kami berdua di dalam tenda. Saya menjelaskan kepada Teuku apa yang terjadi semalam, suara meminta tolong, dan sosok nenek-nenek yang sempat saya lihat. Teuku terdiam sesaat, lalu sedikit beringsut mendekat ke kami berdua. Dia membuka cerita sambil bisik-bisik.

“Semalam, gue itu kebangun gara-gara di luar tenda itu kayak rame gitu. Ramenya itu kayak banyak orang berlalu-lalang, terus juga ada yang kayak mukul-mukul tenda dari luar. Karena Rio dan lo itu nggak ada di sebelah gue, ya gue pikir itu kalian. Jadi ya gue ga peduliin. Lanjut tidur lagi.”

Rasa takut terasa sekali dari nada bicara Teuku. Dia tidak bisa membayangkan jika saat itu dia membuka tenda. Entah horor seperti apa yang akan dia lihat. Setelah berbincang cukup lama dengan Teuku, Rio datang dari arah belakang tenda. Sudah kuduga, pasti dia langsung cek ke sebelah sana. Saya menanyakan apakah Rio menemukan orang yang meminta tolong itu, Rio hanya diam lalu duduk. Dia pun meminum kopi yang diseduh Teuku. 

“Setelah selesai sarapan, kita langsung berangkat balik ke arah sebelumnya,” kata Rio yang mulai sedikit gelisah. Kami jelas setuju dengan idenya.

Kami langsung buru-buru sarapan dan membereskan tenda. Satu jam kemudian kami melanjutkan perjalanan. Formasinya, saya di tengah, Teuku belakang, dan Rio depan. Kecemasan masih terasa dari gerak-gerik Rio. Saya jadi semakin cemas setelah sebelumnya gelisah memikirkan kondisi kami bertiga. Gunung Gede Pangrango di pagi hari memang indah, tapi kami tersesat.

Mencari jalan turun gunung

Kami sudah berjalan sekitar 2 jam, tapi kami juga belum menemukan jalur yang benar. Setiap pohon saya amati betul. Namun, tidak tanda yang saya tinggalkan.

Lingkungan yang terasa lembab, kurang tidur, dan beban bawaan membuat kamu cepat lelah dan haus. Kami memutuskan untuk banyak beristirahat mengingat tersesat dan kelelahan adalah kombinasi mematikan. Kami harus tenang. Namun, ketika lebih tenang, saya malah baru sadar kalau stok air kami semakin menipis.

Rio yang juga menyadari hal itu memutuskan untuk mencari sumber air terdekat. Dia mau melakukannya meski dengan rasa kesal karena sudah 2 jam berjalan tapi jalur pendakian yang benar di Gunung Gede Pangrango nggak ketemu juga.

Sebelum meninggalkan saya dan Teuku untuk mencari sumber air, Rio mengutarakan idenya. Rio mengajak kami untuk mengarah turun, jangan mendaki lagi. Menurutnya, sangat mungkin Bayu, Miska, dan Kang Damar sudah ada di basecamp. Kami berharap itu yang terjadi dan mereka sudah menghubungi ranger gunung untuk melapor bahwa ada pendaki Gunung Gede Pangrango yang tersesat.

Rio tidak terlalu lama pergi mencari air. Hasilnya? Nihil. Dia tidak menemukan sumber air sama sekali. Dia juga tidak berani mencari terlalu jauh. Potensi semakin tersesat semakin meningkat kalau sembarangan melangkah di gunung. Saya dan Teuku bisa memahaminya. 

Tidak mau membuang waktu terlalu lama, kami memutuskan segera turun gunung. Kami hanya bisa berdoa jalur turun yang kami pilih itu jalur yang benar. Kami berharap bisa ketemu desa di kaki gunung. Intinya, kami harus segera ketemu manusia, yang benar-benar manusia.

Kami menyusuri jalur hutan yang terasa asing dan semakin menekan kesadaran kami. Rio menduga kami masih di sekitar jalur Selabintana, tapi bergeser dari jalur yang benar. Dia mencoba mengangkat mood kami dan dirinya sendiri.

Mental yang ambruk

Saya tidak menghitung lama perjalanan untuk mencari jalur turun Gunung Gede Pangrango. Namun, yang pasti, saya yakin kami sudah sangat lama berjalan dan masih belum ketemu warga. Kondisi yang membuat mental saya kena hantam. Jantung mulai cepat berpacu karena bingung harus ke mana. Mood yang coba dibangun Rio ambruk dengan cepat. Saya merasakan betapa berbahayanya tersesat di gunung. Panik dan kelelahan jadi masalah terbesar.

Vegetasi hutan semakin rapat, begitu pula tanah yang gembur membuat kami agak kesulitan berjalan. Hari semakin sore dan cuaca juga tidak mendukung, hawanya menjadi dingin, makin lembab dan gerah karena sepertinya akan turun hujan.

Saya merasa akan semakin berbahaya jika memaksa berjalan. Oleh sebab itu, saya mengusulkan untuk mendirikan tenda mengingat sebentar lagi gelap. Rio, yang emosinya menjadi tidak stabil karena kelelahan, menjawab saya dengan gerutuan. Intinya, dia masih ingin berjalan lagi mumpung masih ada cahaya matahari meski redup.

Melihat itu, saya mengingatkan Rio bahayanya berpikir dengan emosi ketika tersesat. Yah, padahal saya sendiri baru sekali ini merasakan pengalaman tersesat di gunung. Entah kenapa Rio yang berpengalaman malah mudah hanyut dalam emosi. Saya tahu, dia ingin segera turun dan berkumpul dengan 2 kawan kami. Saya juga merasakan hal yang sama, tapi tidak ada gunanya emosi dan memaksa.

Rio memahami argumen saya dan memutuskan membantu Teuku yang mulai membongkar tas untuk mendirikan tenda. Sekitar pukul 5, tenda sudah berdiri dan persediaan kayu bakar akan dibereskan oleh Rio. Sementara saya harus hati-hati membagi persediaan air.

Desa yang muncul dari dalam tanah

Setelah tenda beres, Rio kebagian tugas mencari kayu bakar. Saya dan Teuku menghitung persediaan makanan dan minuman sekaligus nanti memasak makan malam. Rio mencari kayu agak jauh dari lokasi tenda. Dia bilang siapa tahu nemu sumber mata air.

Beberapa saat kemudian, kami mendengar teriakan Rio. Dia berlari mendekati kami sambil berteriak bahagia. Katanya, dia menemukan sebuah desa. Jaraknya tidak terlalu jauh dari lokasi tenda. Tentu kami tidak mau buang waktu. Secepat mungkin membereskan tenda dan menuju desa yang dilihat oleh Rio.

Memang agak sulit untuk mencapai desa itu. Kami harus berhati-hati menuruni jalur yang cukup terjal. Mirip seperti kalau kita turun lewat tanjakan setan via jalur Putri. 

Rio yang memang anak mountain climbing mulai menunjukkan keahliannya. Dia mengikat tali cukup kencang di pepohonan yang besar dan melempar tali ke arah bawah. 

Ketika Rio sibuk mengurus tali, saya tanpa sadar mengucapkan kalimat, “Jangan ke sana.” Teuku yang mendengar itu pun keheranan. Saya juga tidak sadar telah mengucapkan itu. Tapi saat itu, dada saya terasa sesak dan mengalami perasaan yang tidak enak. Entah kenapa hal ini datang secara tiba-tiba. Pada detik ini, kalimat dari suami saya tentang firasat buruk terngiang lagi.

Samar-samar saya mendengar seseorang berbisik, jelas di telinga saya.

Jangan ke sana!

Bisikan itu terasa nyata hingga saya menyentuh kuping sebelah kanan saya, memastikan bisikan itu memang saya dengar dan nyata. Teuku dan Rio yang melihat saya duduk lemas di tanah segera menghampiri dan membantu saya untuk bangun. Mereka khawatir dan menanyakan ada apa. 

Saya segera mengatakan apa yang saya dengar dan rasakan. Seperti ada sesuatu yang aneh tentang desa itu. Saya tidak yakin dan ragu. Rio mencoba meyakinkan saya, mungkin saya sudah terlalu kelelahan atau mungkin “mereka” yang ada di hutan tidak ingin kami keluar dari hutan di Gunung Gede Pangrango ini.

Seakan-akan, desa itu muncul dari dalam tanah. Intinya, sejak trauma masa kecil yang saya alami di rumah nenek, saya jadi mendengar bisikan. Kadang positif, kadang negatif, meski sangat jarang terjadi. Seperti ada yang menjaga saya.

Namun, mengingat mendung dan semakin gelap, kami tak punya pilihan lain selain masuk ke desa itu. Ketika berjalan dengan perasaan was-was, kami dikejutkan oleh sosok kakek tua yang berjalan dari balik pohon.

Desa yang terlalu sunyi

Kakek tua itu menanyakan kenapa kami keluar dari jalur hutan Gunung Gede Pangrango dengan Bahasa Sunda yang kental. Untung Rio asli Bandung, jadi bisa memahaminya.

Rio menghampiri dan menyapa kakek tua itu. Dia menjelaskan bahwa kami tersesat di hutan ketika hendak mendaki ke puncak. Rio juga menjelaskan kami terpisah dengan teman lainnya karena tiba-tiba ada macan kumbang di tengah perjalanan.

Kakek tua itu menjelaskan bahwa macan kumbang adalah hewan langka. Sangat jarang dilihat pendaki. Mengingat rintik hujan sudah turun, kakek tua itu pun mengajak kami ke rumahnya.

Saya, Rio, dan Teuku saling berpandang sejenak. Kami tak punya pilihan. 

Detik itu, entah bagaimana, suara “Jangan ke sana” kembali saya dengar. Rasa enggan sangat terasa. Namun, seperti kejadian tersedot oleh suara dari tengah hutan, kami melangkah begitu saja. Seperti ditarik untuk masuk ke desa yang terasa terlalu sunyi ketika kami sampai di gerbang masuk.

Kabut datang tiba-tiba. Tebal. Senja yang janggal. Senja yang memanggil kami untuk semakin masuk ke dalam labirin misteri Gunung Gede Pangrango.

BERSAMBUNG

BACA JUGA Gunung Semeru: Lagu Pilu di Balik Keagungan Mahameru dan kisah menegangkan lainnya di rubrik MALAM JUMAT.

Penulis: Agnes Putri Widiasari

Editor: Yamadipati Seno

Exit mobile version