Bayangan Nenek-Nenek Penunggu Kos di Balik Tirai Jendela

Bayangan Nenek-Nenek Penunggu Kos di Balik Tirai Jendela

MOJOK.CO Mana kutahu kalau kos baruku bakal sedikit creepy? Padahal, aku kan tidak mengganggu penunggu kos di sini!

Di hari kepindahannya dari kos, Isti berpesan padaku untuk bersikap baik-baik di kamar peninggalannya. Aku hanya menanggapi dengan tertawa karena—yah—di kos putri pinggir jalan begini, hal buruk apa, sih, yang bisa terjadi?

“Ya pokoknya hati-hati aja ya, Put. Jangan nakal. Nanti penunggu kos di sini marah.”

“Eh, jangan nakut-nakutin, dong!” Aku agak panik sendiri setelah Isti bicara dengan raut muka serius, meski kemudian tawanya pecah.

Isti adalah kawanku yang hari ini lulus dan akan pindah kembali ke kampung halamannya. Aku, yang masih kuliah, baru saja pindah dari kos lamaku ke kos Isti—lebih tepatnya ke kamar bekas Isti.

Malam-malam pertamaku di kos baru biasa saja—semua berjalan normal dan menyenangkan. Tidak ada hal-hal aneh seperti yang Isti peringatkan padaku. Hanya saja, sesuatu yang agak mengherankan terjadi kala aku sedang memboncengi Nana, kawanku, dan kami berniat memasukkan motor ke dalam kos.

Kebetulan, saat itu pukul lima sore, menjelang Magrib. Jalanan sedang sepi—entah kenapa. Waktu aku berniat membuka pagar, Nana tiba-tiba bicara, “Wah, Mbak-Mbak yang tadi kulitnya putih banget. Orang Korea kali, ya?”

“Yang mana?”

“Yang tadi, waktu kita lewat belokan situ.”

Di dekat kosku, memang ada sebuah belokan kecil. Di sana, di sudutnya, ada sebuah kuburan. Nana pasti tidak tahu karena ia baru pertama kali lewat daerah sini.

“Na,” jawabku pelan, “daritadi kita lewat, nggak ada orang sama sekali.”

“Ada, kok. Di sana itu, Put,” serunya bersemangat sambil menunjuk ke arah kuburan yang tertutup pohon rindang.

“Itu kuburan,” sahutku cepat-cepat. Nana langsung diam. Wajahnya pucat. Aku mendadak teringat kata-kata Isti soal penunggu kos. Tanpa lama-lama, kami segera masuk ke dalam.

Kejadian berikut bukannya lebih baik. Suatu malam, seorang kawan kosku, Citra, tiba-tiba masuk ke kamarku dengan tergesa-gesa.

“Kenapa?” tanyaku heran.

“Tadi ada yang turun nggak?”

Sebagai gambaran, kamarku tepat berada di depan tangga di lantai satu. Sementara itu, kamar Citra ada di lantai dua. Setiap kali ada orang yang naik atau turun tangga, tentu aku bisa melihatnya dengan jelas, apalagi sore itu aku sedang membuka pintu dan jendelaku lebar-lebar.

“Nggak ada,” jawabku, sambil memindah saluran televisi.

Citra diam, lalu berkata sedikit gemetar, “Tadi pas aku ke atas, kamar Neni jendelanya kebuka dan lampunya nyala. Karena aku terlalu ingin ke kamar mandi, aku nggak sempat cek dan langsung masuk kamarku sendiri. Waktu aku keluar, jendela kamar Neni sudah tertutup dan lampunya mati.”

“Nggak mungkin,” sahutku cepat. Neni adalah kawan kos kami yang lain, yang sudah mudik sejak dua hari yang lalu. Di lantai atas, hanya Citra saja yang masih tinggal, sementara kamar lainnya kosong. Kami berpandang-pandangan, dan malam itu berakhir dengan Citra tidur di kamarku setelah kami menebak-nebak sendiri apakah ini semua ulah penunggu kos yang misterius.

Tapi mungkin, yang paling tak terlupakan adalah malam setelah aku begadang mengerjakan skripsi. Tanpa sadar, aku melek sampai jam 3 pagi dan suasana kos sudah sepi sekali. Karena mengantuk, aku pun segera mematikan lampu kamarku.

Masalahnya, kalau lampu kamarku dimatikan, bayangan dari luar pasti akan terbentuk jelas di tirai jendelaku karena lampu ruang tengah selalu dinyalakan. Mulanya, buatku, ini bukan masalah besar. Tapi malam itu telah mengubah semuanya.

Tanpa suara, ada bayangan orang berbadan bungkuk berjalan pelan-pelan sekali, dari arah kanan kamarku ke sebelah kiri. Bayangannya terpampang nyata di tirai jendelaku, seperti seorang nenek-nenek yang sedang melintas pelan-pelan.

Aku keheranan, awalnya, hingga lama-lama sedikit merinding. Itu nenek siapa?! Seingatku, yang menyewa kamar di kos ini hanya kami—mahasiswi-mahasiswi berusia 20an yang jalannya masih tegap.

Kutunggu bayangan itu kembali: dari arah kiri ke kanan. Tapi, hingga bermenit-menit berlalu, si “nenek” ini tak kunjung melintas lagi.

Mendadak, aku baru sadar. Kamarku ini letaknya di ujung lorong. Artinya, di sebelah kiri kamarku tak ada apa-apa kecuali dinding yang terbentang dan tak lazim dilewati siapa pun.

Aku keluar kamar. Tidak ada seorang pun di depan kamarku. Mendadak aku teringat pesan Isti soal penunggu kos yang ia ceritakan sambil tertawa. (A/K)

Exit mobile version