Ketika orang tahu saya berasal dari Ambon, mereka akan menanyai saya mengenai konflik yang pernah terjadi di kota Ambon pada 1998. Kebanyakan pertanyaan berasal dari generasi boomer yang kemungkinan mengikuti isu terjadinya konflik pada masa itu. Kemudian mereka merasa penasaran tentang kondisi Ambon dan bertanya pada saya, “Kamu baik-baik saja waktu itu?” Melihat ekspresi penasaran mereka, saya jadi nggak tega kalau jawaban saya mengecewakan.
Meskipun saya berasal dari kota Ambon, saya sebenarnya tidak terlalu tahu tentang konflik Ambon. Loh, kok ada orang Ambon yang nggak tahu tentang konflik di Ambon? Begini ceritanya.
Pertama, saya masih kecil ketika konflik terjadi. Ketika itu, saya masih berusia dua tahun. Jangankan kondisi ketika konflik terjadi, saya bahkan nggak ingat sedang apa saat itu. Saya tumbuh besar di Pulau Geser. Di tahun 2006 saja butuh dua hari naik kapal laut dari Pulau Geser ke Kota Ambon, apalagi ketika tahun 1998 yang transportasi lautnya masih terbatas.
Kedua, tidak ada pembahasan tentang konflik Ambon di buku pelajaran. Rasanya tidak ada pembahasan sejarah konflik Ambon di buku-buku sejarah saat sekolah. Ceritanya pun masih simpang siur. Saya pribadi belajar tentang konflik Ambon justru ketika kuliah karena ketika sekolah buku sejarah dipenuhi dengan cerita kerajaan Majapahit sampai bom di kota Hiroshima. Saya berharap agar cerita konflik Ambon pun bisa dibukukan di buku pelajaran Sejarah.
Ketiga, konflik di Ambon sensitif untuk dibahas. Kalau di buku pelajaran saja tidak ada pembahasan tentang konflik Ambon, jangan berharap obrolan konflik Ambon ada di sela makan bersama atau di tongkrongan. Tumbuh besar dengan berbagai asumsi antarkelompok yang berbeda, rasa ketakutan ke daerah yang didominasi keyakinan yang berbeda, simpang siur adanya kristenisasi di kampus, dan sebagainya membuat ruang gerak kami sebagai warga Ambon terbatas karena rasa was-was.
Saya sebagai anak Ambon tidak tahu tentang konflik Ambon karena memang secara sengaja cerita tentang konflik tersebut tidak dijadikan bahan bacaan untuk generasi saya. Buku Sejarah dari Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas kurang lebih pembahasannya sama saja, padahal kita punya banyak sejarah yang bisa dijadikan bahan pelajaran.
Bukan hanya saya dan teman-teman di Ambon yang mendapatkan manfaat dari belajar tentang konflik Ambon di sekolah, tapi untuk semua generasi muda Indonesia. Beberapa tahun belakangan, konflik intoleransi di Indonesia meningkat. Kita tidak perlu menunggu kejadian serupa terulang kembali agar cerita tentang konflik di Ambon bisa diangkat kembali, kan?
Meski tidak mengalami langsung konflik di Ambon pada tahun 1998, namun saya dan teman-teman tetap merasakan dampaknya hingga saat ini. Tidak hanya itu, kami juga berjuang melawan berbagai stigma antarkelompok yang berbeda karena diwariskannya narasi negatif. Saya berharap bahwa kejadian serupa tidak terjadi di daerah lain. Konflik ini cukup menjadi pelajaran dan dikenang, tapi tidak untuk diulang.
Getirnya Mahasiswa Kedokteran Hewan yang Menghilangkan Peliharaan Klien
Generasi Permen Karet Menyebalkan di Organisasi Kampus
Bukan LSM atau Start-up, Kerja di Pemerintahan yang Paling Enak
Balada Dinda-Dinda yang Punya Resting Bitch Face
“1win Uzbekistan ⬅️ Rasmiy Sayti Bukmekerlik Kompaniyasining
1win Uz Скачать Apk под Узбекистан 1вин прохода В Казин
New Uk Casinos Not Really On Gamsstop » Latest Non-gamstop Casinos 202
Pin Up Qeydiyyat Oyun Hesabını Necə Qeydiyyatdan Keçirmək Olar