Beberapa jam yang lalu saat berita ini ditulis, kami melihat satu cuitan yang lumayan ramai diperbincangkan netizen Twitter. Sebuah akun dengan username @istrebki membagikan video bagaimana seorang karyawan sebuah toko donat terkenal, Dunkin Donuts, membuang donat-donat yang tak laku ke tong sampah sebelum gerai ditutup. Sebenarnya video serupa juga pernah viral di sebuah akun TikTok milik Bryan Johnston, yang menunjukkan dirinya membuang lebih dari tiga ratus donat yang layak makan. Melalui kolom komentar, beberapa netizen yang melihat video-video buang makanan tersebut mengaku miris dan sakit hati. Seharusnya donat itu diberikan pada mereka yang membutuhkan makanan di luar sana. Sebuah akun bernama Jasmin Irish berkomentar, “This is a total waste of food. That is why the world is struggling.” Ini merupakan food waste. Inilah alasan mengapa dunia sedang berjuang.
Untuk melihat fenomena mubazir makanan ini, sebenarnya tidak melulu dari sisi produsen. Mari lihat teman-teman setongkrongan. Supaya lebih reflektif, lihatlah dari kebiasaan anak-anak muda seumuran kami. Menyisakan makanan di piring hampir jadi gaya hidup orang-orang. Di Jogja kami datang ke salah satu gerai fast food terkenal dan sebuah kafe yang biasa jadi tempat nongkrong mahasiswa. Alasannya macam-macam.
Fenomena Saat Dine-in di Salah Satu Gerai Fast Food
Minggu (3/10) malam kami menuju ke salah satu restoran cepat saji. Sesampainya di sana, kami diberitahu oleh salah satu satpam yang bertugas bahwa batas maksimal untuk makan di tempat (atau dine-in) adalah sejam. Jadi, ada waktu sekitar sejam yang kami gunakan selama di restoran tersebut untuk mengamati orang-orang yang juga dine-in.
Sambil memasuki restoran tersebut dan memesan makanan, kami terus mengamati tiap meja. Barangkali ada pembeli yang tidak menghabiskan makanannya. Setelah memesan, mata kami terus memandangi dari satu sudut meja ke sudut lainnya. Ingin memastikan bahwa pengamatan kami tidak ada yang terlewatkan satu pun.
Pesanan kami datang. Kami langsung menuju ke lantai dua dan kembali melanjutkan pengamatan di meja sekitar tempat kami duduk. Baru dua puluh menit mengamati, kami melihat di dua meja sebelah kami ada yang tak menghabiskan makanannya. Meja di sebelah kami diisi oleh ibu beserta tiga anaknya yang masih kecil. Kami taksir usia anak-anaknya antara lima hingga delapan tahun. Setelah mereka pergi, kami melihat nasi dan ayamnya bersisa. Di meja sebelahnya lagi sekumpulan tiga orang anak muda yang sebaya dengan kami yang tak menghabiskan kentang goreng yang mereka pesan.
Tak lama berselang, seorang karyawan berpakaian abu-abu mendatangi meja yang ditinggalkan. Dengan sigap, membersihkan meja dan membuang sisa makanan tersebut. Kami ingin mendatanginya dan berniat untuk sekadar mengobrol tentang tugasnya sehari-hari. Apa daya karyawan tersebut terlihat terburu-buru dan semakin memperjauh langkahnya dari kami. Ah, ya sudah, mungkin nanti bisa mengobrol lebih banyak saat mau tutup, pikir kami.
Tak terasa lima menit lagi sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Waktunya restoran tersebut akan tutup. Seorang satpam yang saat itu bertugas juga langsung memberikan pengumuman kepada pengunjung yang ada di lantai dua, termasuk kami. “Mas dan Mbak semuanya, mohon maaf. Sebentar lagi kami akan tutup. Mohon pengertiannya,” begitu katanya sembari memberikan gestur kedua tangan memohon maaf.
Kami beres-beres agar segera pulang. Sesaat sebelum menuruni tangga, kami kembali menemukan di salah satu meja, dua orang yang kami taksir sebaya dengan kami juga menyisakan makanannya. Setelah dilihat, terdapat dua bungkus kentang yang tidak dihabiskan. Jadi, selama kurang lebih sejam kami di restoran cepat saji tersebut, total kami menemukan tiga buah meja yang makanannya terbuang sia-sia.
Setelah sejam melakukan pengamatan, kami menemui satpam dan meminta izin untuk mengobrol langsung dengan salah satu pegawai kebersihan restoran tersebut. Saat menyampaikan maksud dan tujuan kami, satpam tersebut malah memberikan tatapan sinis dan mengernyitkan dahinya. Kami diminta untuk menunggu di luar, sementara satpam tersebut seperti bicara dengan salah satu pegawai yang ada di dapur. Selama lima menit menunggu, kami hanya melamun dan mencoba pasrah.
Tak lama setelahnya, satpam itu mendatangi kami. “Boleh wawancara, tapi jangan ada ambil foto, ya. Silakan wawancara pegawai yang di parkiran itu,” ucap satpam tersebut memecah lamunan kami sembari menunjuk ke arah parkir gerbang keluar.
“Baik, makasih, ya, Pak,” balas kami.
Kami bergegas menuju ke parkiran yang dimaksud oleh satpam tersebut. Adalah Abyan (21)―bukan nama sebenarnya―karyawan yang sudah bekerja di restoran cepat saji tersebut selama kurang lebih dua tahun. Ia menerima dengan senang hati saat kami menyampaikan maksud dan tujuan mengobrol dengannya. “Kita ngobrol santai aja, ya, Mas,” ucap kami setelah memperkenalkan diri.
Abyan bercerita bahwa selama bekerja, tiap harinya ia selalu menemukan sisa makanan dan minuman dari pengunjung di restoran tersebut. Menurutnya, biasanya hal itu ditemukan di kalangan anak muda seusia kami. “Selalu saya temukan begitu, Mas. Miris, tapi mau bagaimana lagi,” ucapnya.
Saat ditanyakan tentang jenis makanan dan minuman yang biasanya ditemukan bersisa, ia menyebutkan bahwa untuk makanan adalah burger dan minuman yakni minuman bersoda.
“Dua itu yang paling sering, Mas. Kalau (menu) yang lain, kayak kentang atau es krim, jarang saya temukan nggak habis,” tambahnya.
Abyan juga menuturkan bahwa sampah sisa makanan tersebut nantinya bercampur dengan sampah plastik atau bungkus makanan yang akan dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) oleh petugas kebersihan lainnya. Tentu hal seperti ini akan menghasilkan permasalahan baru lagi.
“Iya, Mas. Kalau menurut yang saya lihat, gaya hidup ini tentu akan berpengaruh lagi ke lingkungan. Orang-orang yang mubazir, yang tidak menghabiskan makanannya, semestinya mulai mengurangi kebiasaan itu,” jawabnya.
Mari kita lihat: Apakah sisa makanan akan terbuang sia-sia seperti di gerai fast food ini… atau justru berguna bagi banyak orang? Jikalau berguna, kira-kira bagaimana wujud kegunaannya?
Seorang Pemuda dan Kisahnya Bersama Komunitas Kutub
Untuk membuktikan semua hipotesis kami, pada Selasa (5/10) sekitar pukul 19.00 WIB kami menemui seorang pemuda yang kontaknya kami dapat dari salah seorang teman kami. Niat Daruz (25) ke Jogja memang ingin menjadi penulis. Atas rekomendasi kakaknya, laki-laki asal Tuban itu bergabung dengan Komunitas Kutub. Kutub jadi tempat mereka yang ingin jadi penulis berkegiatan bersama di bawah asuhan Pondok Pesantren Mahasiswa Hasyim Asy’ari yang terletak di Jalan Parangtritis KM 7,5 Cabean, Sewon, Bantul. Di sanalah ia ditempa. Sejak awal ia bertekad untuk lepas dari kiriman orangtua. Demikian pula dengan teman-temannya yang lain. Mereka mesti hidup mandiri dengan menghasilkan uang lewat apa saja, khususnya menulis. Ada juga yang jualan. Saat awal kedatangannya di Jogja ia mengirim beberapa tulisan ke media dan mendapat honor jika dimuat. Ia sadar bahwa upaya tersebut tak bisa jadi satu-satunya yang jadi sandaran. Ia kerap tak mengantongi sepeser uang pun. Tekadnya kuat untuk bisa mandiri. Ia pernah menjajakan koran dan memperoleh upah kisaran Rp20.000 untuk makan hari itu juga. Lapar adalah kondisi yang amat dekat dengan kesehariannya.
Daruz hampir selalu berlima dengan temannya sesama Kutub. Kebetulan mereka kuliah di kampus yang sama dan sering nongkrong di warung kopi. Warung kopi sudah seperti rumah kedua baginya, bahkan ia pernah selama dua bulan tidur di sebuah kafe. Saat nongkrong ia tak pernah memesan makanan.
Kami menyimak masa lalu Daruz di sebuah kafe. Saat kami datang ia sedang menyunting naskah untuk sebuah penerbit. Kini ia sudah punya kerjaan tetap. Sambil setengah menutup laptopnya, ia menceritakan dirinya empat tahun silam.
Waktu itu dini hari. Sejak sore Daruz dengan keempat sohibnya pergi ke Kafe Kopas yang terletak di daerah Sorowajan. Saat itu ia masih naik ontelnya ke mana-mana. Sedang sehari penuh, tak ada isi lain di perut mereka kecuali mangga muda yang dirujak dengan bumbu penyedap, kecap, dan cabai. Dengan perut kosong dan badan gemetar, mereka tak mungkin kuat balik ke asrama. Jadilah mereka menumpang di warkop tersebut.
Meski tak pernah memesan makanan, acap kali meja mereka selalu penuh dengan gelas dan piring makanan sisa pengunjung lain. Sudah biasa mereka memakan sisa pesanan orang. Tidak jijik, tidak malu. Daruz berkata sembari sedikit tertawa, sebenarnya kebiasaan orang-orang yang tidak menghabiskan makanannya di lain sisi berfaedah juga. Ia dan kawan-kawan yang kelaparan bisa menyambung hari dari sisa yang mereka tinggalkan.
Pernah suatu ketika Daruz dan teman-temannya lapar. Terdapat segerombolan orang yang baru saja turun dari mobil memesan beberapa kudapan sambil ngopi. Sudah seperti dibidik, sisa makanan seolah melambai-lambai pada pemuda-pemuda yang lapar itu saat segerombolan orang tersebut beranjak dari kafe. Mereka hompimpa. Yang kalah ialah yang bakal menyahut makanan dari meja itu. Daruz kalah karena tersalip oleh pelayan kafe. Atas dorongan keroncongan perut, Daruz mengejar ke arah dapur si pelayan yang bersiap membawa nampan bekas makanan tersebut ke wastafel.
“Mas, sisa makanan itu jangan dibuang, kami belum makan,” tutur Daruz mengulang kata-katanya kala itu.
Sang pemilik kafe mendengarnya. Daruz ditanya olehnya terkait jumlah kawannya. Sesaat setelahnya, seorang pelayan membawakan nampan berisi segunung nasi, telur, tempe, dan sambal. Plus sebatang rokok. Hari itu mereka mujur dan kenyang. Meminjam kata-kata Daruz: Sebetulnya kebanyakan orang dapat berbaik hati, kalau kita minta pasti dikasih, asal meminta dengan sopan. Rasa malu pada akhirnya akan terdesak oleh asam lambung.
Saat kantong kering Daruz pernah tidak makan dua hari utuh. Kami menanyainya tentang bagaimana rasanya perut kosong selama 48 jam. Katanya, ia gemetar dan sempoyongan. “Mata berkunang-kunang dan tidak bisa tidur,” imbuhnya.
Bagi Daruz, pengalaman tersebut justru membuatnya lebih banyak belajar. Selama kami mengobrol, terdapat dua pengamen yang menghampiri meja kami. Saat mendengar dari kejauhan suara alunan musik, Daruz siap-siap merogoh receh di tasnya. Ia bilang bahwa ia selalu punya dorongan untuk memberi. Kalau ada pedagang asongan yang menjual apapun, ia akan membelinya dengan iba meski tak butuh. Lebih-lebih soal makanan, kalau bisa, pantang ia menyisakannya.
“Keinget dulu,” ungkapnya.
Hipotesis pertama kami sudah terbukti, namun apakah ada kegunaan dari sisa makanan selain hal yang telah dilakukan oleh Daruz?
Bakudapan dan Strateginya
Kenyataan yang membuat kami merasa getir yaitu di Indonesia jumlah limbah makanan tiap orang jomplang dengan tingginya indeks kelaparan. Data ini dikeluarkan oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional berkolaborasi dengan Foreign Commonwealth Office dari Inggris, di mana limbah makanan yang terbuang (atau food loss and waste) di Indonesia sejak 2000 hingga 2019 bisa sampai 48 juta ton per tahun (sama dengan 115-184 kilogram per kapita tiap tahunnya).
Gaya hidup membuang-buang makanan di tingkat konsumen ini dapat dimulai dari tataran lingkungan terdekat, semisal keluarga. Orang-orang tua selalu punya cara untuk menyiasati anaknya yang bandel. Tak sedikit yang menggunakan teknik mengarang kisah fiktif yang bakal melekat di benak anaknya. Terlepas dari cerita-cerita yang menakutkan atau juga konyol, mereka punya motif sendiri untuk menertibkan si anak. Ini kami alami sendiri, sebagai misal, ibu kami dulu selalu mengatakan, “Kalau makan nggak dihabisin, nanti nasinya nangis.”
Hingga kini, entah karena masih percaya bahwa nasi memiliki air mata, ada obsesi untuk menghabiskan makanan yang sudah diambil. Selain doyan, rasanya sayang sekali untuk menyisakan, apalagi membuang-buang makanan.
Obsesi yang sama pun melekat pada Gatari Surya Kusuma (28). Ia banyak belajar tentang isu-isu pangan dari komunitas tempatnya bergiat, Bakudapan. Bersama food study group tersebut, ia pernah menginisiasi proyek yang mengulas soal sisa makanan bernama Living Leftover. Di sana mereka main-main selama dua bulan dengan sisa makanan di dapur hotel. Aktivitas-aktivitas belajar bareng semacam itu secara tak langsung membentuk pola pikirnya. Ia jadi berani mencoba-coba resep masakan dengan bahan yang ada.
“Di rumah aku biasa masak. Aku nggak terbebani dengan resep. Jadi, aku terobsesi untuk ngehabisin makanan itu,” tutur Gatari saat kami temui pada Selasa (5/10) sekitar pukul 15.00 WIB di JNM (Jogja National Museum).
Menurutnya, sikap seseorang terhadap makanan tergantung pada akses. Akses yang ia maksud tak hanya bagaimana seseorang mendapat makanannya, namun juga soal akses pengetahuan. Sebenarnya pun pola konsumsi kita, katanya, sudah menyiasati masalah makanan sisa. Banyak jenis bahan pangan yang memang bisa dimasak beberapa kali, seperti sayur lodeh, jangan gori, sup, dan sejenisnya. Hari itu Gatari bercerita bahwa ia memasak sup ayam yang ia campur dengan kol dan wortel.
Reporter: Dina Tri Wijayanti dan Muhammad Fadhil Pramudya Putra
Getirnya Mahasiswa Kedokteran Hewan yang Menghilangkan Peliharaan Klien
Generasi Permen Karet Menyebalkan di Organisasi Kampus
Bukan LSM atau Start-up, Kerja di Pemerintahan yang Paling Enak
Balada Dinda-Dinda yang Punya Resting Bitch Face
Canlı Gambling Establishment Oyunları Oynayın Ve Çevrimiçi Spor Bahisleri Yapın
1xbet Giriş: En Güncel Ve Güvenilir 1xbet Linkleri Burada!
Kasino Mostbet Hrajte Nejlepší On The Web Automaty A Automaty
Best Online Internet Casinos Canada 2024 Best Sites For Canadian Players