“Cita-cita terbesarku adalah kestabilan.”
Tiga tahun berkuliah di Universitas Gadjah Mada (UGM) terasa sangat lambat bagi Feli (21) yang beberapa bulan silam didiagnosis mengalami post-traumatic stress disorder (PTSD) dan bipolar disorder.
Sejak 2018 atau semester pertama kuliah, Feli sudah beberapa kali konsultasi ke psikolog. Pada rentang semester satu sampai tiga ia sempat didiagnosis mengalami PTSD, namun saat itu psikolognya berkata bahwa ia hanya stres berat. Feli juga mengaku bahwa ia tidak langsung membuka diri untuk bercerita. Hal tersebut membuat psikolog bingung dengan kondisinya.
Baru setelah mulai berkonsultasi dengan psikiater sejak semester empat, Feli tak hanya didiagnosis mengalami PTSD, tetapi juga bipolar disorder. Hal ini ia ketahui setelah psikolog dan psikiaternya melihatnya kerap mengalami episode depresif tatkala teringat pada trauma yang dimilikinya. Hingga kini, ia masih rutin mengonsumsi obat-obatan tiga kali sehari. Ia juga rutin kontrol dengan psikolog dan psikiaternya dua minggu sekali di Rumah Sakit Akademik (RSA) UGM.
Susah Payah Selama Kuliah
Mari mundur ke 2018. Saat itu salah seorang lainnya, Aldi (20), masih menempuh semester pertamanya di UGM. Seperti kebanyakan pelajar SMA, ia mencita-citakan kehidupan yang baru dan berbeda dengan dunia SMA. Ia membayangkan ia akan punya pertemanan dan kehidupan sosial yang baik.
Akan tetapi, enam bulan pertama setelah berstatus sebagai mahasiswa justru ia lalui dengan terseok-seok. Ia sering merasa pening. Obat pereda nyeri merupakan kawannya saat itu. Tak jarang ia bertanya pada beberapa temannya apakah mereka memiliki obat untuk ia konsumsi. Memang, sesaat nyeri di kepalanya hilang, namun bukan berarti itu tak akan muncul kembali sewaktu-waktu.
Selama enam bulan pertamanya itu, mood-nya terkadang juga tak menentu. Beberapa kali ia merasa sangat malas dan sama sekali tak bersemangat melakukan apa pun. Suatu waktu ia kesulitan bangun tidur dan malas membereskan kamar kos-nya. Di waktu yang lain ia sama sekali tak bisa melihat kamarnya kotor dan berantakan.
Di satu sisi ia terkadang merasa sangat senang dan antusias berinteraksi dengan orang lain. Di sisi lain adakalanya ia merasakan sedih, cemas, dan ketakutan. Suatu waktu ia bisa kehilangan kemampuan untuk berkomunikasi, ketakutan berlebih, dan terlintas pikiran-pikiran mengerikan yang membuatnya takut bertemu dengan orang, mengurung diri, hingga keinginan untuk bunuh diri.
Perlahan, ia sadar ada yang tak beres dengan dirinya dan ingin mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ia memutuskan untuk pergi ke psikiater. Menurutnya, keluhan yang ia alami sudah memerlukan pertolongan yang berhubungan dengan kesehatan jasmaninya, seperti pusing dan pening.
Setelah beberapa kali konsultasi dan mendapat obat, pada 2019 ia didiagnosis mengalami bipolar disorder tipe 2, yaitu jenis bipolar disorder yang penderitanya memiliki dua kutub suasana hati, yakni depresi dan hipomania.
Mendengarnya, ia menyatakan denial. Panik. Bingung.
Hingga saat ini, ia masih punya jadwal konsultasi dengan psikolog dua minggu sekali dan psikiater satu bulan sekali. Ia juga masih mengonsumsi obat-obatan, seperti yang berjenis mood stabilizer sampai antidepresan.
Menenangkan Diri dan Mencari Tempat “Aman”
Feli dan Aldi punya kiat masing-masing untuk menenangkan diri, baik ketika mengalami episode depresi, mania, maupun setelah trauma. Mengunjungi tempat-tempat yang aman dan nyaman bagi mereka adalah salah satunya.
Aldi, misalnya, punya definisi sendiri tentang tempat aman bagi dirinya. Menurutnya, tempat yang aman adalah tempat yang membuatnya nyaman untuk menyendiri, tidak merasa cemas, dan ketakutan. Tempat yang tidak ada orang-orang yang memandangnya berbeda. Tak selalu tempat yang sepi, namun tempat yang orang-orang di sana cenderung tidak ada yang “peduli” dengan orang di sekitarnya.
Ia mengaku jarang menemukan tempat seperti itu di Jogja, terlebih di daerah perkotaan. Tentunya selain kamar seluas 3 x 4 meter yang jadi satu-satunya tempat ia menyendiri. Tatkala stres, tidur, makan, bekerja, sampai melepas stres pun, ia tetap berada di sana.
Salah satu tempat “aman” menurutnya ada di Gereja Katolik Hati Kudus Tuhan Yesus (HKTY). Letaknya ada di Jalan Ganjuran, Kecamatan Bambanglipuro, Bantul―sebelas kilometer ke selatan dari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.
Meski baru pertama kali, Aldi mengaku ingin segera kembali lagi ke sana. Ia menemukan tempat yang dicari. Ia menemukan ketenangannya.
Beberapa teman yang acap kali beribadah ke sana juga menyebut gereja ini sering jadi tempat healing, pelepas stres, dan mencari ketenangan bagi anak-anak muda.
“Udah dari dulu. Tempatnya memang sepi dan syahdu. Enak untuk deep talk, haha.”
“Sering, sih, nemuin orang yang saking khusyuknya berdoa, sampai nangis. Jadinya seperti curhat.”
Benar saja, Feli sejak 2018 sudah kerap beribadah ke Gereja HKTY Ganjuran dengan teman, saudara, maupun pacarnya. Awalnya, ia hanya mengikuti misa. Lama-kelamaan, ia merasa nyaman dengan tempat tersebut sehingga rutin tiap sebulan sekali berkunjung. Ia menghabiskan waktu selama tiga puluh menit sampai dua jam.
“Aku menemukan keheningan di sana, bisa benar-benar fokus dan legawa untuk ngomong,” katanya.
Feli kerap berdoa di sana saban mengalami stres dan depresi. Meski demikian, dirinya tak serta-merta selalu membaik dan tenang setelah dari sana. Menurutnya, hal tersebut kembali lagi tentang penerimaan diri seseorang. Itu tergantung pada setiap orang. Jika seseorang belum bisa berdamai dengan keadaannya, episode depresifnya akan tetap sama saja dan berlangsung lama. Setidaknya itu berdasarkan keterangannya.
Prinsip Utama Healing
Dina Wahida (34), psikolog di Career Development Center Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (CDC Fisipol) UGM menjelaskan bahwa healing sebenarnya bisa dilakukan dengan mudah dan melalui cara-cara apa saja. Tidak selalu harus mengeluarkan waktu, biaya, dan tenaga yang banyak.
Kita dapat memulai dari hal-hal yang sering kita anggap sepele, namun tetap penting: self-talk. Self-talk bertujuan untuk merasakan, mengidentifikasi diri sendiri, dan menemukan makna dari tiap kejadian.
Selain mudah dan tidak merepotkan, self-talk bisa kita lakukan di mana pun, kapan pun, dan dalam situasi apa pun. Contohnya yaitu merasakan apa yang terjadi pada tubuh, mengingat kembali hal apa yang membuat stres, hingga makan apa saja dalam seminggu terakhir.
Cara yang lain yakni berbelas kasih pada diri sendiri. Ketika melakukan ini, seseorang harus memberikan afirmasi positif dan berhenti mengkritisi diri sendiri. Kalimat-kalimat seperti “Aku keren sudah sampai sejauh ini, aku kuat, aku mampu” lebih baik daripada “Aku kurang banget, bodoh banget, sih.”
Selain itu, seseorang perlu menerapkan common humanity. Ia perlu paham bahwa kesulitan dan kegagalan dalam hidupnya dialami semua orang, bukan hanya ia sendiri. Artinya, berhenti bersikap keras pada diri sendiri. Setelah itu, proses seseorang menerima pikiran dan perasaan, tidak menghakimi, membesar-besarkan, dan menyangkal situasi di dalam dirinya juga merupakan hal-hal penting dalam healing.
Meski demikian, Dina membenarkan pula orang-orang yang memilih healing dengan cara-cara lain, seperti nongkrong, pergi ke suatu tempat, atau berdiam di kamar. Menurutnya, hal tersebut kembali pada setiap individu karena perlakuan pada setiap orang pun berbeda-beda.
Dina pernah menangani klien yang selalu marah-marah dengan memukul tembok. Menurutnya, tak masalah jika kliennya marah-marah, asal caranya diubah. Ia menyarankan ke kliennya untuk pergi ke kamar mandi dan berteriak sekencang-kencangnya di bak air yang terisi penuh tatkala kliennya ingin marah.
Selama seseorang merasa nyaman, terbantu untuk sembuh, dan energinya terisi kembali dengan cara-cara healing yang ia lakukan, hal tersebut sah-sah saja. Prinsip utama healing adalah kita bisa melakukannya dengan cara apa pun, asal jangan melakukan perilaku yang membuat seseorang merasa ada kerugian-kerugian selanjutnya. Contohnya yaitu suka banting-banting barang, memukul tembok, atau melukai anggota tubuh.
Intinya, setiap orang memiliki spirit atau energi yang dipengaruhi oleh lingkungannya. Ketika seseorang tidak memiliki energi atau mental breakdown, ia pasti melakukan healing untuk mencari rasa nyaman bagi dirinya. Jika sudah merasa nyaman, ia akan mengisi kembali energi atau spirit untuk menyembuhkannya secara mental.
Bukan Proses Singkat
Feli dan Aldi punya cara healing mereka masing-masing. Selain pergi ke tempat yang membuatnya nyaman, Feli kerap menelepon temannya untuk bercerita dan berkeluh kesah tatkala episode depresif itu datang. Supaya lebih tenang, acap kali ia mendengarkan musik-musik instrumental, sebagai misal, Yiruma.
Atau Aldi, yang punya kebiasaan nongkrong di beberapa kafe untuk membuatnya lebih tenang dan aman dari rasa takutnya. Rasa takut yang justru kerap datang dari orang-orang di sekitarnya. Dengan nongkrong, ia merasa terbebas dari pandangan, penilaian, dan stigma negatif yang beberapa kali ia alami.
Aldi ingin orang-orang di sekitarnya―teman maupun orang awam―bisa memahami kondisi orang-orang dengan gangguan kesehatan mental. “Aku paham ketika aku depresi mungkin aku mengganggu. Tapi aku juga pengin orang lain paham saat aku lagi enggak mau berinteraksi dan pengin diam, mereka bisa paham dengan keadaanku,” jelasnya.
Pada akhirnya, untuk mencapai cita-cita terbesar mereka kelak―yaitu kestabilan―Feli dan Aldi masih belajar menerima diri apa adanya. “Itu proses yang lama,” ujar Feli pendek. Mereka sudah memiliki kesadaran dan kemauan untuk segera berbenah dan sembuh dari kondisi yang dialami saat ini.
“Aku ingin bergerak menuju kestabilan, aku sadar dengan apa yang aku lakukan, dan aku mulai menerima keadaanku,” tutup Feli.
Getirnya Mahasiswa Kedokteran Hewan yang Menghilangkan Peliharaan Klien
Generasi Permen Karet Menyebalkan di Organisasi Kampus
Bukan LSM atau Start-up, Kerja di Pemerintahan yang Paling Enak
Balada Dinda-Dinda yang Punya Resting Bitch Face
“1win Uzbekistan ⬅️ Rasmiy Sayti Bukmekerlik Kompaniyasining
1win Uz Скачать Apk под Узбекистан 1вин прохода В Казин
New Uk Casinos Not Really On Gamsstop » Latest Non-gamstop Casinos 202
Pin Up Qeydiyyat Oyun Hesabını Necə Qeydiyyatdan Keçirmək Olar