Menjelang Halloween, Berikut Origin Story Hantu-hantu Indonesia yang Perlu Kamu Cermati! Mojok.co
artikel

Menjelang Halloween, Berikut Origin Story Hantu-hantu Indonesia yang Perlu Kamu Cermati!

Siapa bilang hantu Indonesia kalah saing sama hantu Barat?

Oktober telah tiba. Itu berarti kita akan merayakan ulang tahun orang-orang Skorpio dan menghelat Halloween di penghujung bulan. Sebagai orang yang keminggris, saya turut merayakan bulan yang terkenal witchy dan angker ini laiknya orang-orang di belahan dunia sebelah barat sana. Spooky season, istilah kerennya. Meskipun enggak sampai beli labu atau laba-laba palsu buat mendekor kosan, saya sudah mulai nonton ulang beberapa film horor yang saya gemari dan memikirkan karakter apa yang bisa saya sontek untuk Halloween nanti.

Karena bosan dengan cerita hantu ala barat yang itu-itu saja, saya jadi kepikiran merayakan Oktober tahun ini dengan sentuhan local wisdom. Setelah dipikir-pikir lagi, perbendaharaan cerita hantu kita enggak kalah keren, kok. Lagi pula, Halloween pada asalnya memang bukan budaya masyarakat kita, ‘kan? Budaya masyarakat kita adalah ketempelan setan saat study tour sekolah dan bikin utas Twitter tentang penampakan mistis kala KKN. Itu saja sudah menunjukkan betapa erat hubungan yang kita miliki dengan mereka.

Entitas-entitas itu telah bersemayam sekian lama dalam kehidupan bermasyarakat dan rasanya enggak afdol kalau kita enggak tahu sejarah lengkap mereka. Dari entitas-entitas ini, kita bisa juga, loh, berefleksi tentang rasanya menjadi warga Indonesia. Berangkat dari semangat tersebut, saya mengumpulkan origin story lima hantu/setan/makhluk jadi-jadian klasik dari Indonesia dan menceritakannya ulang untukmu.

#1 Pocong

Pocong—yang sering terlihat dengan mata merah, balutan kain kafan, dan kerap meneror warga dengan meloncat-loncat—adalah entitas pertama dalam daftar ini. Kiprahnya di dunia perhantuan Indonesia memang legendaris. Saya ingat betul saya masih menjadi bocah TK enggak ingusan sewaktu pertama kali nonton sinetron Jadi Pocong. Mumun, sang pocong yang menjadi karakter utama dalam sinetron tersebut, sampai menghantui pikiran saya sekian lama. Harus saya akui juga ia berjasa dalam memperkenalkan saya kepada konsep kematian.

Karena kisah Mumun, saya meyakini bahwa pocong adalah arwah penasaran yang enggak bisa mati dengan tenang selama bertahun-tahun. Kasihan juga, ya. Hidup sebagai warga negara Indonesia saja sudah makan hati, ini sampai mati saja masih juga dikejar-kejar konsekuensi keteledoran pihak berwenang (baca: tukang gali kubur yang enggak melepas ikat tali kafan).

Akan tetapi, riset saya tentang pocong ternyata membuahkan fakta berbeda. Menurut satu artikel yang saya baca, pocong ternyata adalah perwujudan makhluk halus alih-alih arwah orang yang sudah meninggal. Katanya, sih, pocong mula-mula terbentuk lewat asap yang keluar dari tengah kuburan sebelum mewujud jadi satu hantu utuh.

Lebih mengagetkan lagi, moda transportasi pocong ternyata adalah terbang. Bukan loncat-loncat seperti yang digambarkan dalam banyak film. Dengan amunisi tersebut, ia siap menakut-nakuti seisi kampung. Plus mengasisteni warung makan kalau empunya butuh dorongan~

#2 Kuntilanak

Kuntilanak biasanya dapat ditemukan dengan setelan terusan putih, kuku panjang, dan suara ketawa yang enggak tertahankan. Ia adalah entitas kedua yang akan saya ulas. Berbeda dengan pocong dan Mumun, saya enggak punya ikatan emosional apa pun dengan hantu yang acap kali diberi nama kode “Mbak K” ini. Saya cuma tahu ia sering dirumorkan menunggui pohon-pohon tua besar dan katanya meninggal saat sedang hamil.

Katanya, tanda-tanda kemunculan mbak kunti dapat diketahui dari bunyi tangisan melengking dan wangi bunga melati atau daging busuk. Ia juga terkenal suka menculik anak-anak sebab enggak pernah berhasil melahirkan anaknya sendiri. Aksinya terhadap anak-anak juga membuat kuntilanak disamakan dengan beberapa hantu lain seperti sundel bolong dan wewe gombel.  

Berdasarkan penelusuran, saya jadi tahu bahwa kuntilanak kerap mewujud mbak-mbak cantik yang berjalan sendirian malam-malam untuk menarik “mangsa”. Betul, siapa lagi kalau bukan laki-laki yang ingin berbuat kurang ajar? Setelah itu, ia akan menghisap darah mereka. Dalam beberapa versi yang saya dengar, ia memang punya dendam kesumat terhadap laki-laki yang memperkosanya. Dendam itu pun dibayarkan ketika ia sudah menjadi arwah gentayangan.

Versi yang terakhir saya rasa sering dipakai sebagai formula dalam film horor. Kalaupun bukan kuntilanak, pasti ada saja perempuan-perempuan korban kekerasan yang berakhir membalaskan dendamnya sebagai hantu. Lagi-lagi, ini takdir yang cukup menyayat hati. Hidup sebagai perempuan di Indonesia saja sudah berat, ternyata masih harus jadi hantu juga buat dapat keadilan.

#3 Babi ngepet

Babi ngepet belum lama ini beken karena berhasil bikin geger satu Kota Depok. Satu Indonesia, sih, sebetulnya. Pada akhirnya, memang ketahuan kalau itu hanya akal-akalan seorang “ustaz” belaka, tapi interest publik terhadap isu ini begitu besar sehingga rasanya agak komikal. Kenapa kita setakut itu, ya, sama babi jadi-jadian? Pertanyaan ini bikin babi ngepet berhak untuk masuk dalam kompilasi ini.

Setelah dipikir-pikir lagi, kayaknya kita bukan takut sama babinya. Kita takut sama apa yang mungkin bisa dilakukan babi tersebut, yakni menjambret harta tetangga dengan ilmu hitam pesugihan untuk memperkaya diri sendiri. Bayangkan, kalau kamu lagi seret uang, kamu enggak perlu ikut serangkaian fase dalam Squid Game untuk bisa mencukupi kebutuhan hidup. Cukup jaga lilin dan jadi babi saja.

Tapi, enggak juga, deng. Ritual yang harus dilakukan untuk dapat sampai di tahap ini ternyata juga ngeri-ngeri sedap kayak main Squid Game. Selain ritus yang rumit, prosesi menjadi babi ngepet juga membutuhkan tumbal yang harus dikorbankan sebagai ganti kekayaan. Enggak jarang, tumbal tersebut adalah anak sendiri. Ya ampun, mau cari duit kok sebegininya banget, ya….

Terlepas dari benar atau enggaknya, kisah-kisah mengenai babi ngepet ini bikin saya kepikiran tentang jurang antar kelas sosial dan ekonomi yang menganga di Indonesia. Menurut saya, masuk akal, sih, kalau legenda babi ngepet jadi sangat dipercaya. Pasti kaget, ‘kan, melihat tetangga sendiri tiba-tiba punya harta banyak tanpa kelihatan kerja? Eh, itu, mah, influencer Instagram, ya.

#4 Jelangkung

Kalau Amerika punya ouija, di Indonesia kita punya jelangkung. Prinsip keduanya kurang lebih sama: memanggil jin atau entitas tak kasat mata lainnya lewat sebuah medium. Setelah dipanggil, ya, enggak diapa-apain juga, sih. Paling ditanya-tanyai oleh orang-orang yang berada di dalam lingkaran. 

Jelangkung yang biasanya dibuat dari batok kelapa diduga merupakan hasil serapan dari salah satu tradisi bangsa Tionghoa. Bentuk tradisi tersebut dimainkan para remaja saat festival bulan untuk memanggil Dewa Cay Lan Gong (Dewa Pelindung Anak-anak). Seperti jelangkung, ritual tersebut juga melibatkan boneka dari tempurung kelapa dan papan tulis yang akan digunakan boneka tersebut untuk menyampaikan pesan. Dalam ritual jelangkung sendiri, ada semacam mantra yang harus diucapkan oleh pemain ketika ingin memanggil arwah masuk ke boneka. Kamu juga pasti familier, ‘kan?

“Jelangkung, jelangkung. Datanglah ke pestaku. Datang tak dijemput, pulang tak diantar.”

Enggak bisa disangkal, saya sebetulnya merinding juga mengetik mantra di atas. Untuk menyiasatinya, saya sengaja nyanyi keras-keras supaya enggak terbaca dalam hati (walaupun gagal juga, sih). Sedihnya, saya baru tahu ternyata itu bukan mantra orisinil yang digunakan untuk memanggil jelangkung. Aslinya pakai bahasa Jawa dan lebih seram. Kamu cari sendiri, ya, saya enggak berani ngetiknya.

Meskipun bukan merupakan bentuk orisinilnya, mantra berbahasa Indonesia tersebut tetap membuat saya kepikiran beberapa hal. Lirik ini, misalnya: Datang tak dijemput, pulang tak diantar. Film Jailangkung menurut saya seram betul, tapi saya juga kasihan membayangkan ia harus pergi dan pulang dengan usaha sendiri. Sebagai orang yang enggak punya motor, saya ikut terenyuh membayangkan berapa uang yang harus ia keluarkan untuk ongkos pulang-pergi dengan ojol. Jangan salahkan jelangkung kalau nanti dia ghosting kamu, ya. Lha wong enggak modal.

#5 Hantu Jeruk Purut

Agak berbeda dengan entitas-entitas sebelumnya, hantu ini mendiami satu lokasi spesifik yakni TPU Jeruk Purut di Cilandak, Jakarta Selatan. Kehadirannya ditandai dengan suara lolongan anjing dan wujudnya dipercaya berbentuk pastor buntung yang gemar menenteng kepalanya sendiri ke mana-mana. Sosok ini menjadi amat terkenal setelah menjadi karakter utama dalam film Hantu Jeruk Purut (2006) dan sekarang turut membuat TPU terkait tenar sebagai lokasi wisata uji nyali. Buset, lokasi wisata….

Satu versi menyebutkan bahwa hantu ini tadinya adalah pastor londho yang dipenggal pejuang pribumi pada masa-masa penjajahan dulu. Ketika sudah jadi arwah, ia enggak bisa pulang ke rumahnya di TPU Tanah Kusir dan terjebak di TPU Jeruk Purut yang merupakan pemakaman Islam. Jadi, sebetulnya ia nenteng-nenteng kepala karena kesasar. Mungkin harus dipertemukan dengan Ayu Ting-Ting kali, ya, sebagai makhluk yang sama-sama pernah salah alamat.

Berdasarkan penuturan juru kunci, arwah sang pastor sebetulnya sudah menghilang dari orbit pergaulan TPU Jeruk Purut bahkan sebelum film tentangnya dibuat. Dugaan beliau, sih, sang pastor akhirnya pergi karena enggak enak sama penghuni lain di pemakaman Islam itu, apalagi ada makam habib dan syekh juga di sana. Waduh, saya jadi mengkhawatirkan potensi intoleransi antarkepercayaan lintas dimensi, tapi senang juga mendengar sang pastor akhirnya enggak kesasar lagi.

Meskipun enggak sedalam ikatan emosional dengan Mumun, saya punya penggalan cerita sendiri soal TPU Jeruk Purut. Pertengahan tahun ini adik saya sempat magang jadi barista coffee shop di Cilandak. Untuk menempuh perjalanan pulang ke rumah kami di Jagakarsa, ia membutuhkan seenggaknya 45 menit (hingga satu setengah jam kalau macet) berkendara dengan motor. 

Beberapa kali saya ikut menemaninya sif malam. Saya cukup terhenyak ketika enggak sengaja mendapati TPU Jeruk Purut berada di sebelah kanan jalan yang kami berdua lintasi dengan motor di jalan pulang. Tentu saya tambah ndredeg sebab waktu itu sudah nyaris tengah malam.

“Dek, kita ngelewatin TPU Jeruk Purut,” kata saya mencoba tenang.

“Iya,” jawabnya cuek sambil terus menyetir.

“Ada hantunya,” kata saya lagi, kali ini sambil membayangkan ia menyetir pulang lewat jalan ini malam-malam tanpa teman.

“Belum pernah ketemu, sih,” jawabnya lagi. Saya menganga. Anak-anak zaman sekarang kayaknya memang lebih takut hantu kapitalisme dibandingkan dengan halus yang enggak punya kepala. Mengingat pengalaman tersebut, saya makin yakin menyusun arsip origin story hantu-hantu Indonesia ini untuk diingat bersama supaya anak muda, tuh, jangan melupakan sejarah bangsa sendiri. Gitu, loh.

Meskipun khazanah hantu di negara ini amatlah kaya dan beragam, saya pikir memahami kisah lima hantu di atas cukup bagi kita untuk memulai tradisi merayakan Halloween dengan identitas kebangsaan Indonesia. Barangkali juga bisa jadi ide kostum saat Halloween nanti, ‘kan? Sejalan lagi dengan imbauan pemerintah untuk mencintai produk lokal.

Yang penting, sih, saran saya, habis baca ini enggak usah lihat jendela. Kagok juga, ‘kan, kalau tiba-tiba mendapati Mumun merengek minta dilepaskan tali pocongnya?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *