Hal paling mencolok dari rumah anda adalah sekumpulan pot dari kaleng bekas dan botol plastik di halaman samping. Lalu motor bebek, yang tahun lalu ada di sana dan tahun ini masih ada di sana dengan posisi parkir sama, dan pohon-pohon kecil di gerbang yang membuat rumah anda lebih mencerminkan kediaman petani hidroponik ketimbang penulis. Alangkah wajar kalau Sabit Cahaya Cyberpunk Asia sampai memaksa satpam buka mulut. Seumur hidupnya ia tidak pernah tersesat, kecuali ke rumah anda.
Anda menyambut tamu-tamu, mempersilakan mereka makan bahkan sebelum mereka duduk, dan menimpali obrolan apa saja: Mulai dari tulis-menulis hingga legenda Ikan Pari yang menyelamatkan leluhur Arman Dhani. Omong-omong, kacang mete goreng di atas meja enak. Nastarnya juga.
Di meja dekat dapur ada dua atau tiga kantung kopi dengan jenis berbeda. Di meja lain, potongan lontong tersaji lengkap dengan sebotol bubuk ajaib yang ternyata berbahan dasar kacang kedelai. Opor ayam dan sambel goreng ati menunggu disantap. Sabit Cahaya Cyberpunk Asia tidak merasa berdosa memakan daging, hanya saja kelihatannya ia merasa perlu menjaga wibawa. Cukup dua piring. “Pintu surga terbuka lebar bagi anda wahai hehe sy tida makan banyak biar Mbaknya bisa membawa pulang makanan enak ini.”
Ruang kerja anda dekat dapur, sumber segala yang enak-enak. Anda bilang, “Kalau rehat bekerja, tinggal nyeberang, seduh kopi.” Kopi juga menjadi judul kumpulan cerpen anda yang dipakai Arman Dhani untuk merayu cewek. Kopi juga muncul di Raden Mandasia. Apa kopi favorit anda?
“Tidak ada yang spesifik, sih. Kopi apa saja boleh,” anda menjawab, “tapi belakangan lebih sering kopi gayo Aceh.”
Anda gemar mengundang orang bertamu saat Idul Fitri. Bagi para perantau yang tidak bisa pulang, tentu kegemaran itu membahagiakan. Anda menjelaskan bahwa kegiatan seperti itu tidak mesti Idul Fitri. Kalau kebetulan anda sedang masak banyak, anda mengundang teman-teman untuk menghabiskannya. Sudah 17 tahun anda tinggal di Bumi Kekhalifahan Depok, selama itu pula anda secara berkala memasak enak untuk tamu. Anda memperingatkan, sebaiknya sebelum bertamu berkabar dulu supaya anda dan istri bisa menyiapkan hidangan.
Apakah itu salah satu cara anda untuk memberitahu dunia bahwa masakan istri anda enak?
Anda terkekeh, “Tafsir orang sih terserah, tapi begini … intinya berbagi makanan yang kami suka. Judulnya kondangan atau apa yang jelas berbagi makanan yang kami suka. Perkara kesombongan atau tidak, bukan faktor penting lagi kalau ternyata makanan yang dibagi enak.”
Dari kegemaran berbagi makanan enak itu pula anda jadi tahu: Pemred Mojok, Arlian Suprabana, yang tidak takut dengan Felix Siauw ternyata takut sama pacarnya untuk urusan makan. “Pak Pemred dilarang pacarnya makan Bebek Bumbu Rujak, dan belio menurut saja.”
Ruang kerja anda, secara sekilas, tampak seperti gudang pengepul buku. Di ruang itu buku-buku terbitan Banana diproses sebelum masuk percetakan lalu sampai ke tangan pembaca. Anda menceritakan bagaimana proses berdirinya Banana:
“Banana berdiri tahun 2005, sedikit banyak untuk melanjutkan gagasan ‘memperkenalkan sastra dunia kepada pembaca Indonesia’ di penerbitan Akubaca bersama AS Laksana yang tidak bertahan lama. Banana fokus pada penerjemahan karya-karya sastra yang perlu dibaca. Aku dan Heri Wihartoyo memodali penerbitan itu. Ada delapan orang di dalamnya. Setelah setahun berjalan, aku mengongkosi Banana sendiri.
“Kantor pertama Banana terletak di Beji, Depok, lalu pindah ke Kalibata. Karena menganut model penerbit konvensional yang memanfaatkan jaringan toko buku, tahun-tahun awal itu berdarah-darah. Ya, kami juga baru belajar. Pada periode ini kami juga menjual ke beberapa wilayah melalui distributor, distributornya ada yang benar ada yang nggak. Kalau yang benar, buku tidak laku akan diretur. Kalau yang nggak benar, ya, uang nggak dibayar buku entah ke mana. Toko-toko buku komunitas yang minta dikirimi tapi nggak jelas laporannya. Kalau lewat Gramedia kan susah, tapi ternyata lewat komunitas pun nggak jalan. Sampai sekarang pun masih ada reseller yang nggak beres, tapi berkat pengalaman dengan sendirinya kami potong.
“Perkara penerjemahan lain lagi. Saat itu kami memberi kesempatan mahasiswa-mahasiswa untuk menerjemahkan, dan hasilnya buruk. Akhirnya proses mengedit jadi lebih mirip menerjemahkan ulang.
“Waktu itu belum ada media sosial yang efektif untuk media pemasaran. Karenanya, pada masa awal banyak produk yang penjualannya kurang oke. Beberapa buku yang saat itu kami jagokan tidak disambut pasar. Sederhananya kami mengalami kerugian. Tapi untungnya ada keahlian lain, menulis dan mengedit, jadi kami mulai jawilan, mengerjakan pra-produksi sampai produksi buku-buku dari beberapa lembaga asing atau pun lembaga pemerintah yang berperan mensubsidi Banana sehingga bisa terus jalan.
“Di Kalibata menetap selama enam tahun hingga gangnya dipagari dan menyulitkan akses. Kebetulan rumahku sudah direnovasi jadi, ya sudah, berkantor di rumah saja dan teman-teman berkantor di rumah masing-masing. Ada gudang di rumah dan sebagian di rumah Risdi. Belakangan tidak banyak produk baru jadi relatif aman.”
Akubaca berperan memperkenalkan beberapa penulis asyik, salah satunya Jhumpa Lahiri. Anda pertama kali menulis soal Jhumpa Lahiri di Tempo, tepatnya setelah dia memenangkan Pulitzer Award. Setelah diperkenalkan Akubaca, yang kurang laku, penerbit besar mengambil alih dan mulai menerjemahkan karya-karya Jhumpa Lahiri. “Ya, nasib penerbit kecil biasanya jadi laboratorium penerbit besar saja.”
Sebuah perusahaan biasanya mengganti logo dengan alasan-alasan lucu: Kurang membawa hoki, warnanya terlalu muram sehingga tidak mendatangkan kemakmuran, atau garisnya terlalu melengkung jadi mudah disusupi nasib buruk. Anda tertawa saat membahas logo baru Banana dan menjelaskan bahwa logo pertama Banana (seorang berbaju merah yang memikul setandan pisang) itu buatan anda, kemudian dirapikan seorang ilustrator. Belakangan muncul keberatan dari teman-teman. Pergantian logo Banana, di samping mencoba keberuntungan baru, juga bagian dari mendengarkan keberatan orang-orang.
“The Godfather pasti masuk, cuma semua orang sudah membicarakan The Godfather.” Anda berpikir sebentar ketika diminta menyebutkan lima film favorit anda.
“Pulp Fiction-nya Tarantino, deh. Dan Annie Hall-nya Woody Allen. Terus Jules et Jim-nya François Truffaut. Citizen Kane itu siapa sutradaranya? Ah, Orson Welles. Banyak, lho, lima itu artinya mesti akan melupakan film-film Jepang, Korea, Taiwan. Tujuh saja bagaimana? Almodóvar di All About My Mother itu menarik. Seven Samurai-nya Kurosawa itu penting. Kalau gambar, Pans Labyrinth-nya Guillermo del Toro oke. The Lives of Others juga menarik. Once Upon a Time in Anatolia itu keren. Tujuh ini nggak mungkin, yang teringat cepat saja.”
Orang-orang membawa cenderamata dari Amerika Serikat, anda membawa bekas luka bakar dan cerita di baliknya, yang jenaka sekaligus asam. Cocok untuk bahan cerita pendek anda. Kejenakaan dalam cerita anda muncul karena pengalaman manusia tidak monokrom.
“Kalau kita datang melayat kerabat, mulanya sedih, tapi ya akhirnya saat bertemu teman-teman akhirnya bercanda juga. Pengarang yang kusukai itu cenderung bisa menemukan humor dalam kondisi terburuk sekali pun. Tapi, aku belum tahu apakah aku bisa seperti Kurt Vonnegut yang bisa menceritakan ibunya mati bunuh diri dengan ringan. Sherman Alexie juga begitu, ceritanya getir dan jenaka. Mungkin efeknya … sebuah cerita pasif yang diceritakan dengan gaya efeknya akan lebih bunyi. Ada jeda, kontras, dan sebagainya.”
Anda berpikir sejenak lalu menambahkan mungkin humor yang terselip di dalam cerita-cerita anda hadir karena pengaruh bacaan. Orang kalau ingin memproduksi sesuatu jelas butuh asupan. Kalau asupannya buku-buku mutiara hikmah tentu hasil produksinya akan berupa hikmah. Kalau asupannya bacaan lucu, tentu akan memproduksi tulisan-tulisan yang bisa menertawakan kehidupan.
Kemudian anda menerangkan bahwa pengalaman anda menulis laporan-laporan panjang untuk Tempo membuat anda mendapatkan kenyamanan menulis: Dari sudut pandang orang ketiga yang sebetulnya fokus kepada orang pertama tanpa perlu menyebut ‘aku’. Kenapa menulis laporan panjang dengan gaya seperti itu bisa asyik? Karena bahannya lengkap. Anda mulai menerapkannya di fiksi. Anda memiliki gagasan, mengumpulkan bahan yang diperlukan, lalu mulai menulis. Seperti kebiasaan anak teknik. Sebelum membangun anda mesti memastikan rancan bangunnya jelas, bahan-bahannya lengkap, untuk bangunan berapa lantai dan pondasinya sedalam apa. Setelah bangunan dasarnya beres, baru memikirkan ornamen-ornamennya.
Perkara pertemanan anda dengan AS Laksana, anda menjelaskan begini, “Kalau teman memproduksi sesuatu yang kita sukai, pasti ada dorongan untuk membuat yang sama bagusnya. Syukur-syukur melampaui. Aku pikir dari Sulak juga begitu. Yang tidak diketahui banyak orang ya kami sering ngobrol lewat telepon, membicarakan tulisan, saling kritik, atau berbagi bacaan. Biasanya bacaan yang kusukai juga disukai Sulak. Dalam situasi seperti itu, jika ditemukan irisan dalam tulisan kami jelas tak bisa dihindari, tetapi tentu ditulis dengan gaya yang berbeda. Intinya beginilah, kalau kau mau jadi penulis ya berkumpullah orang-orang yang sama-sama suka nulis.”
Anda lebih suka membuka cerita dengan adegan. Berusaha sebisa mungkin menghindari pernyataan di awal, meski akhirnya anda lakukan, misalnya di cerita Tiga Maria dan Satu Mariam. Deskripsi yang kuat di dalam cerita-cerita anda muncul karena saat bekerja di majalah berita deskripsi merupakan hal penting, dan merasa anda perlu mengasahnya.
Belakangan anda suka lari, setelah sekian bulan malas berolahraga akhirnya anda memutuskan untuk lari dan aerobik dan angkat-angkat beban. “Ya, karena sudah mengalami kemajuan setelah lebaran ini kan agak mengkhawatirkan. Karena aku masih merokok jadi ya aku pengin sehat.”
Setelah kenal Sabit Cahaya Cyberpunk Asia, ternyata apa yang anda pikir getir tidak ada apa-apanya di hadapan belio. Anda dan mereka yang kenal Sabit Cahaya Cyberpunk Asia lantas berdiri di belakang panji belio, “Kalau Sabit bilang ke kiri, anda akan ke kiri. Kalau Sabit bilang kita mesti melawan fasisme, ya, mari kita~”
Soal penokohan dalam cerita, penulis-penulis Indonesia ini mesti berguru kepada Sabit Cahaya Cyberpunk Asia. Pada penokohan dan dialog kadang yang muncul suara pengarangnya, khawatir pembaca mengira pengarangnya tidak pintar maka dia membuat semua tokohnya pintar. Sabit Cahaya Cyberpunk Asia tidak begitu, dia tidak bicara saja semua orang sudah tahu dia spesial. Selain berteman dengan Sabit, membaca serius karya-karya bagus dan berkumpul dengan teman-teman yang suka menulis juga sangat membantu.
“Pak Yusi Avianto Pareanom apakah tyda ingin menjadi Wali Kota atau ulama?” tanya Sabit Cahaya Cyberpunk Asia.
Anda tersipu-sipu, menempelkan tangan di dada, menunduk, dan menjawab: “Begini, Pak Sabit, yang jelas akan ada karya baru dan yang bercerita bukan Sungu Lembu.”
“Pak Yusi Avianto Pareanom apakah pernah dihipnosis? Agar supaya hehe~”
“Nggak pernah. Sekalipun aku punya kawan seorang hipnotis, ya, saya tidak percaya. Saya minta dia menghipnosis diri sendiri supaya tidak takut jarum suntik. Dia tidak mau. Tidak bekerja. Saya tidak percaya.”
Narator anda yang baik hati, yang terkenal karena reputasinya sebagai orang yang dapat dipercaya, nyaris tidak menambah sesuatu apa pun seandainya tidak ada Sabit Cahaya Cyberpunk Asia dalam cerita ini. Hanya kepada beliaulah pujian berlebihan layak diberikan.