Yang Berlimpah dan Yang Mengalah: Cerita Miliarder Baru dan Cagar Budaya di Proyek Tol Jogja–Bawen

Foto Dok. Pribadi Pekik Basuki

Rumah, tanah, bahkan warisan sejarah hilang, mobil dan vila terbilang. Itulah yang terjadi di Padukuhan Pundong, Kalurahan Tirtoadi, Kapanewon Mlati, Kabupaten Sleman. Dusun itu seketika ramai menjadi sorotan media dan publik hingga berjuluk kampung miliarder.

Gara-garanya, sejumlah warganya ramai-ramai memborong barang mewah, seperti mobil hingga vila mewah. Tak tanggung-tanggung, mobil yang dibeli tak Cuma satu tapi langsung beberapa biji.

Vilanya pun bukan kaleng-kaleng, melainkan bangunan gedong yang punya danau buatan dan view yang aduhai. Kaum ‘sultan’ dadakan itu baru saja menuai rezeki dari pembangunan infrastruktur pemerintah. Mereka mendapat uang ganti rugi dari proyek pembangunan jalan tol Yogyakarta dan Bawen yang melintasi desa itu.

Sumianto (51), contohnya. Tanah dan rumah seluas 500 meter persegi milik bapak dua anak ini tergerus tol dan mendapat ganti rugi Rp2,4 miliar. “uangnya buat beli mobil, tanah, dan barang-barang,” kata dia saat disambangi wartawan, Jumat pekan lalu.

Ia langsung memborong mobil. Namanya memborong tentu tak cuma sebiji. Sumianto ‘tumbas’ tiga mobil sekaligus, dari honda jazz kelir putih, Daihatsu Expander, dan Suzuki Carry. “Yang pikap ini untuk dagang dan jualan sayur,” kata dia.

Mobil lain buat anak-anaknya. Apalagi satu buah hatinya baru saja diterima di Universitas Negeri Yogyakarta. Hitung-hitung sebagai hadiah—menurut Sumianto. Nah, karena Sumianto bapak yang baik, tunggangan satu lagi juga buat putranya. “Daripada meri (iri),” tandasnya.

Dukuh Pundong III, Pekik Basuki, mesam-mesem saat saya ajak berbincang soal warga padukuhannya yang mendadak jadi kaum jetzet. Ia menjelaskan di empat padukuhan Dusun Pundong ada 145 bidang yang terkena gusuran proyek tol. Di padukuhannya saja, ada 45 bidang, termasuk 25 rumah.

Menurutnya, warga diberitahu bahwa dusun mereka bakal kena jalan tol pada tahun lalu. “Pembangunan kontruksi awalnya mulai Agustus. Tapi mundur katanya akhir tahun ini,” ujar dia. “Tanggal 19 agustus kemarin baru cair ganti rugi.”

Cairnya ganti rugi itu—beberapa menyebutnya ganti untung—menandai perubahan daya beli sejumlah warga Pundong. Mereka mulai membelanjakan uang ganti rugi itu. “Ya makanya sampai dijuluki kampung miliarder,” kata Pekik tak menampik.

Betapa tidak. Menurut Pak Dukuh, warga rata-rata menerima ganti rugi setidaknya Rp100 juta. Ada pula yang menerima di kisaran Rp1 miliar,bahkan di atas Rp5 miliar. “Paling tinggi Rp12 miliar,” ujarnya.

Umumnya aset warga yang tergusur tol adalah rumah, tanah, dan sawah. Penerima nilai ganti rugi terbesar bahkan merelakan sejumlah bangunan, meliputi enam kios, kolam renang, gazebo, hingga gedung untuk pendidikan anak usia dini (PAUD).

Senyum Pekik makin dikulum ketika bercerita tentang dirinya. Rupanya Pak Dukuh juga jadi salah satu OKB—orang kaya baru—di Pundong. Ia memang Cuma kehilangan sebidang sawah 500 meter persegi.

Namun rumah mertua, yang jadi warisan sang istri dan ditinggali bersama keluarga, juga kena gusur. rumah itu berdiri di lahan 2.400 meter persegi. Semula ia enggan menyebut ganti rugi yang diperoleh.

Sampai Rp10 miliar? “Ya kalau digabung, kurang atau lebih sedikit,” kata Pekik semringah.

Meski tak jajan mobil, keluarga Pekik membelanjakan uangnya untuk membeli vila mewah. Vila itu berada di kawasan Jogja Eco Park, sebuah perumahan yang dilengkapi dengan resor dan taman wisata.

“Ada laut dan danau buatannya. Pemandangannya langsung ke Gunung Merapi,” kata Pekik tanpa nada jumawa.

Menurut dia, permukiman elit itu memang kawasan baru yang sedang dijajakan ke publik. Istrinya yang seorang guru dan anak-anak Pekik mengusulkan aset itu untuk kos eksklusif.  “Sempat ditawari dua, tapi baru beli satu,” kata dia, datar.

Namun di luar untuk mencukupi kebutuhan primer, ia menyatakan akan menggunakan uang itu untuk pendidikan. “Anak saya juga masih ada yang kuliah,” kata Pekik.

***

Cagar Budaya Ndalem Mijosastran. Foto Dok. Pribadi Pekik Basuki

Daerah Istimewa Yogyakarta memang tengah menggenjot pembangunan jalan tol. tiga jalur jalan tol dibangun menghubungkan Yogyakarta – Bawen, Yogyakarta -Solo, dan jalur ke bandara Yogyakarta International Airport di Kulonprogo. Desa Tirtoadi, Sleman, menjadi titik temu jalur-jalur tol itu.

Bukan hanya warga, rumah, dan sawah, cagar budaya juga ikut terdampak proyek tol ini. Adalah rumah Ndalem Mijosastran di Pundong II yang turut menjadi korban pembangunan jalan bebas hambatan itu.

Rumah seluas 884 meter persegi di lahan 1.984 meter persegi itu ditetapkan sebagai cagar budaya Rumah Tradisional Limasan pada 6 Februari 2017 melalui Surat Keputusan Bupati Sleman Nomor 14.7/Kep.KHD/A/2017. Keluarga ahli waris rumah ini pun mendapat penghargaan dari Gubernur DIY Nomor 136/PG/2015 sebagai pelestari warisan budaya pada 1 Desember 2015.

“Tapi rumah kami kena separonya untuk tol,” kata pengelola rumah itu, Widagdo Marjoyo (67), bercerita kepada Mojok, Rabu (8/9).

Ia menuturkan rumah itu dibangun sebagai tempat tinggal oleh sang kakek, Mangun Dimejo, seorang glondong, setingkat lurah di masa kolonial belanda. Ayah Widagdo, Mijosastro, satu dari dua anak Mangun Dimejo, mewarisi rumah tersebut.

“Ayah saya yang polisi ditimbali pulang dan meninggalkan karir polisinya untuk jadi lurah dari tahun 1946 sampai 1975,” kata Widago, putra kedua Mijosastro dari delapan bersaudara.

Kala itu, jabatan blondo dapat diturunkan ke keturunan. Alhasil lurah baru menempati rumah tersebut dan menjadi saksi berbagai peristiwa di sana. “Rumah ini sempat jadi pusat tentara dan logistiknya,” kata Widagdo.

Rumah itu pun saksi bisu getirnya perjuangan di masa revolusi. Menurut Widagdo, seorang mata-mata Belanda sempat membocorkan vitalnya Ndalem Mijosastran hingga akhirnya rumah itu dibakar.

“Isinya beras, gula, sampai gamelan habis. Rumah Cuma tersisa satu empyak. Untungnya tidak ada korban jiwa,” tuturnya.

Pada 1959, rumah itu dibangun kembali. Sejak itu, manfaat Ndalem Mijosastran bukannya surut tapi justru meningkat. Rumah itu sempat jadi kantor kepala desa waktu kantor sebenarnya tengah dibikin.

Berbagai kegiatan masyarakat pun dapat digelar di sana. Mulai dari pengajian, perayaan hari besar agama, salat tarawih dan TPA, hingga agenda dinas-dinas di Pemkab Sleman dan pentas seni.

“Halamannya yang luas sampai jadi tempat latihan manasik haji dan tempat main bola anak-anak. Sekarang kan lapangan jarang,” ujar pensiunan ASN ini.

Uniknya, berbeda dari kebiasaan bikin acara di hotel muewah, partai politik juga pernah menggunakan Ndalem itu. “Untuk rapat dan pertemuan. Macam-macam partai,” kata Widagdo, enggan menyebut nama parpol.

Untuk acara-acara itu, keluarga memungut biaya ala kadarnya. “Untuk bersih-bersih dan perawatan saja, tapi tidak dikomersialkan.”

Tahun lalu, saat diberitahu Ndalem Mijosastran tergusur tol, Widagdo mengambil sikap. “Saya berjuang sekuat tenaga supaya rumah ini tidak kena tol. Selain punya nilai sejarah, ini juga wasiat orang tua,” kata dia.

Untuk menolak penggusuran cagar budaya itu, Widagdo menyatakan telah menemui sejumlah pihak di dinas dan mengirim surat, termasuk ke Bupati Sleman dan Gubernur DIY.

“Orang dinas kaget, ‘kok bisa’, ‘kalau bisa dipertahankan’. Petugas tol yang datang bilang, ‘mungkin nanti (jalur tol) digeser’. Tapi kenyataannya, tetep kena,” katanya.

Widagdo dan keluarga pewaris Ndalem Mijosastran akhirnya mengalah. Seluruh rumah digeser sekitar 500 meter dari lokasi asli. Widagdo mengaku tak tahu nilai total ganti rugi karena diurus adik bungsunya selaku pemilik sah ndalem Mijosastran.

Yang jelas, lantaran cagar budaya dan harus melalui sejumlah prosedur, ganti rugi itu belum cair. “Semoga ini jadi amal ibadah orag tua saya,” kata dia.

Meski menerima pemindahan rumah bersejarah itu, Widagdo masih masygul dengan proses penetapan jalur tol yang melintas di Ndalem Mijosastran. “Mestinya pemerintah menyelamatkan cagar budaya. Buat UU tapi dilanggar sendiri, tetap ditabrak. Saya juga tidak dipanggil, surat (keberatan) tidak ada balasan.”

***

Pemda DIY belakangan menyoroti soal laku para OKB dari proyek tol supaya tak konsumtif. Sementara aspek sejarah seperti cagar budaya belum mendapat perhatian.

“Uang itu didapat dengan menjual aset. Saya juga ikut senang kalau punya nilai yang lebih tinggi daripada investasinya sendiri. “Bukan berati duit itu dihambur-hamburkan. Yang tidak penting, ya tidak perlu (dibeli),” ujar Gubernur DIY sekaligus Raja keraton Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X, Selasa (7/9).

Ia meminta warga mengutamakan kebutuhan utama setelah tempat tinggal mereka digusur. Apalagi saat ini tengah pandemi Covid-19.

“Rumahnya sudah enggak punya, ya bikin rumah dulu. Rumah belum dilakukan, sudah pakai mobil, mobilnya mau diapakke (diapakan). Wong tidak punya rumah kok pakai mobil. Mungkin dia punya rumah lebih dari satu. Ya boleh saja (beli mobil). Tapi jangan jadi konsumtif. Hemat saja dalam pengeluaran di kondisi seperti ini,” tuturnya.

Saat dikonfirmasi, Pak Dukuh Pekik Basuki pun menjelaskan bahwa perilaku boros itu hanya ulah sebagian warga. “Yang konsumtif hanya beberapa orang, padahal yang terdampak ada 145 bidang,” kata dia soal ucapan Sultan.

Pekik berkata, warga siap mengikuti titah Sultan. “Untuk warga kami tetap seperti kersanipun (keinginan) Pak Sultan, yaitu mengutamakan untuk tempat tinggal dan membelanjakan uangnya untuk kembali ke tanah,” tuturnya.

Saat ini warga Pundong sudah mulai diminta mengosongkan rumah dan pindah. “Warga kami sekarang fokus untuk membangun tempat tinggal yang baru. Tidak untuk konsumtif. Memang ada tapi hanya beberapa orang,” ujarnya.

 

BACA JUGA Penelurusan Kisah Tanah Jawa: Dari Jembatan Cirahong hingga Tersesat di Alas Purwo dan liputan menarik lainnya di rubrik SUSUL.

 

Exit mobile version