Wedang Bajigur Tamansari, menjadi gambaran bagaimana seorang pensiunan guru berjuang untuk bisa memberikan pendidikan terbaik bagi anak-anaknya. Waktu presidennya masih Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), jadi langganan Istana Presiden Yogyakarta.
***
Roda kecil itu berderak bersentuhan dengan aspal. Bunyi gaduh beradu nyaring dari sendok dan gelas di laci. Di tengah gerobak, panci besar berisi juruh masih mengepulkan asap.
Tangan terampil itu mengambil satu persatu kotak plastik dari laci. Begitu pula sendok dan gelas ditata tengkurap pada bagian datar gerobak. Dua ember berisi air diletakkan di sebelahnya. Terpal oranye yang terlipat diubah menjadi tenda. Enam kursi ditata mengelilingi satu meja plastik. Sore ini, perempuan itu siap untuk berjualan.
Sore di 4 Januari 2021 adalah percobaan ketiga untuk bisa menikmati segelas wedang bajigur. Dua kali sebelumnya gagal karena kecelik, warungnya tutup. Belum terlihat satu pun pembeli duduk atau mengantre dekat gerobak. Mungkin, saya pembeli pertama hari ini.
Perempuan yang menjual wedang bajigur itu akrab disapa Bu Setyanto (69). Sudah satu bulan ini, sejak Desember tahun 2021, ia menggantikan suaminya berjualan wedang bajigur. “Jari tangannya pecah-pecah. Bapak sudah tidak berjualan, perih,” ungkap Bu Setyanto membeberkan alasannya.
Dulu, Bu Setyanto dan suaminya berbagi tugas. Jika suaminya menjaga wedang bajigur pukul lima sore sampai tujuh malam, maka ia akan menggantikan pada pukul tujuh malam sampai sembilan malam. Kadang suaminya menawarkan diri menjaga penuh dari pukul lima sore sampai sembilan malam. Alhasil, ia hanya kebagian tugas meracik wedang bajigur di rumah.
Tutup panci terbuka. Aroma santan bercampur dengan jahe memasuki hidung. Saya menarik nafas dalam. Ada perasaan tak sabar untuk segera mencicipi. Bajigur Tamansari, begitulah tulisan pada spanduk di bagian depan gerobak kayu. Spanduk merah dengan huruf hitam itu terlihat jelas dari kejauhan. Nama Tamansari selain karena letaknya, juga mengandung filosofi. Diharapkan dengan nama tempat, wedang bajigur ini dapat abadi.
Sembari menunggu wedang bajigur, ekor mata saya melihat sekeliling. Terdapat deretan ruko, kios penjaja makanan, toko kelontong, dan apotek. Bajigur Tamansari berada di Jalan Letjen S. Parman, Notoprajan, Ngampilan, Kota Yogya.
Kepada Mojok.co, Bu Setyanto membagikan kisah berjualan wedang bajigur sejak tahun 2002. Saat itu, desa tempat tinggalnya, belakang Apotek Garsen, di jalan yang sama mengadakan pasar sore bulan puasa. “Kebetulan, kebutuhan anak masih banyak, tapi suami sudah pensiun,” kata Bu Setyanto.
Waktu itu, anak-anaknya masih mengenyam pendidikan. Anak pertamanya berkuliah di ASMI Santa Maria. Anak keduanya berkuliah di ATMI Surakarta. Anak ketiganya masih kelas satu Sekolah Menengah Atas. “Bahkan, anak kedua tinggal di kos,” tambahnya.
Bu Setyanto dan suaminya memutar otak. Harus melakukan sesuatu agar pendidikan tiga anaknya dapat selesai. Pasutri itu menjajal berjualan wedang bajigur.
Bajigur, bahaya jika nganggur
Wedang bajigur tersaji di hadapan saya. “Diminum dulu,” kata Bu Setyanto mempersilahkan mencicipi racikannya. Sesapan pertama, rasa hangat mengalir di kerongkongan. Sesapan kedua, rasa manis santan dengan aksen pedas dari jahe menempel di lidah. Sesapan ketiga, aroma kopi menjadi pelengkap. Ditambah potongan roti tawar, cacahan kelapa, dan kolang-kaling, menjadi perpaduan tepat. Tidak salah jika Bajigur Tamansari ramai pembeli.
Satu gelas wedang bajigur hampir tandas. Bu Setyanto melanjutkan ceritanya. “Pernah lihat orang buat wedang bajigur,” ungkapnya. Menurut Bu Setyanto, orang itu mencampurkan santan, gula, dan kopi hitam kental. Ndilalah, saat dicoba malah gagal. Rasanya pahit, tidak enak. Bu Setyanto pun mencari sendiri resep wedang bajigur.
Nyaris setiap hari, Bu Setyanto bergulat di dapur. Mencampur santan dengan rempah. Dibuatnya kopi yang tidak terlalu kental. Wedang bajigur itu pun jadi dan siap dipasarkan.
Pertama kali jualan, tidak langsung laku. Saat itu, harga enam ratus rupiah saja. Tiba-tiba datang seorang laki-laki ingin membeli wedang bajigur. Jumlahnya sampai empat puluh bungkus. “Tapi ditawar. Empat ratus rupiah,” ungkap Bu Setyanto. Daripada tidak habis terjual, ia pun setuju.
Laki-laki itu tidak datang satu kali. Melainkan, sampai tiga kali dengan interval satu minggu. Katanya wedang bajigur yang berjumlah empat puluh itu diberikan kepada anak-anak yatim piatu. Tidak apa-apa, sedekah.
Semenjak kedatangan laki-laki itu, wedang Bajigur Tamansari laris. Pembeli sampai berkerumun di sekitar gerobak. “Kok bisa ya? Saya waktu itu juga bertanya-tanya,” ungkap Bu Setyanto dengan raut penasaran.
Kemudian datanglah rombongan ibu-ibu. Mereka dosen di salah satu perguruan tinggi negeri. Jumlahnya sekitar lima orang. Duduk melingkar di kursi bakso. Ketika suami Bu Setyanto menyiapkan wedang bajigur, salah seorang dari mereka menghampiri. Ibu yang terlihat paling muda itu bertanya arti nama bajigur. “Bapak bilang, bajigur itu bahaya jika nganggur,” ujar Bu Setyanto tertawa.
Bu Setyanto menikah tahun 1972. Di matanya, suaminya yang kini berusia 83 tahun itu, seorang pekerja keras. “Sebelum jualan wedang bajigur, sudah jualan macam-macam,” ungkap Bu Setyanto.
Suaminya lulusan sekolah guru. Tiga puluh dua tahun mengabdi sebagai pendidik Bahasa Inggris di Sekolah Menengah Pertama St. Albertus Godean. Bahkan predikat kepala sekolah pernah disandangnya.
“Guru yang utama, tapi pekerjaan sambilan tetap dilakukan agar tidak rekoso,” ungkap Bu Setyanto membeberkan suaminya pernah menjadi peternak ayam petelur merah, peternak burung puyuh, penjaja soto dan tempe goreng, serta pedagang beras. Bahkan, di rumah pernah ada ayam petelur merah jumlahnya mencapai dua ratus ekor.
Paling di ingat Bu Setyanto adalah saat berjualan beras. Ia dan suaminya menjual dari pintu ke pintu. Berasnya diambil dari Godean. Setiap pulang mengajar, pasti ada beras lima puluh kilogram yang ikut terangkut. “Dulu pernah malu, kata orang kepala sekolah kok jualan beras,” ungkap Bu Setyanto. Alhasil, meski sudah selesai mengajar pukul satu siang, suaminya baru pulang saat matahari terbenam.
Suaminya pensiun tahun 1992. Namun, sampai sekarang, mantan muridnya masih sering berkunjung. Beberapa datang membawa buah tangan. Ada pula yang langganan di Bajigur Tamansari. Mereka membantu mempromosikan lewat media sosial. “Kemarin (red : Desember 2021), ada yang datang memberi kado Natal. Lalu beli wedang bajigur dan di posting ke Instagram. Besoknya, beberapa orang ikut beli wedang bajigur,” cerita Bu Setyanto.
Tak mau buka cabang demi jaga kualitas
Saat pertama buka, yang berjualan wedang bajigur Bu Setyanto dan suaminya saja. Melihat peluang pasar bagus, Bu Setyanto menawarkan untuk membuka cabang. “Wegah, mengko penghasilane kene kesedot. Kono neng Kalasan wae nek meh bukak cabang,” ucapnya mengikuti perkataan suaminya menolak buka cabang.
Bahkan ketika ada yang menawarkan membantu berjualan di tempat lain yang jauh pun, suaminya menolak. Katanya, takut jika dicampur dengan air dan merusak citra Bajigur Tamansari.
Menurut Bu Setyanto, tahun 2005 menjadi paling ramai penjualan wedang bajigur. “Panci sampai penuh sudah seratus gelas, saat itu sampai bolak-balik ke rumah bawa panci karena kurang,” ungkapnya. Bu Setyanto tidak menyimpan stok di rumah. Jika habis, ia harus membuat ulang dari awal. Mulai memarut kelapa, membuat santan, dan meracik juruh. Perkiraan Bu Setyanto, hampir menyentuh dua ratus gelas per hari.
Tahun 2010, Wedang Bajigur Tamansari berpindah tempat. Kontraknya habis. Tempat barunya berada di sebelah Soto Pak Marto. Wedang bajigur dijual lima ribu per gelas. Masih tetap ramai.
Bu Setyanto dan suaminya tidak menutup diri dari masukan pelanggan. “Kadang ada yang bilang kurang serai, minta di tambah jahe supaya pedas, semua akan dicoba,” ungkap Bu Setyanto. Inovasi resep terus dilakukan, harapannya wedang bajigur racikannya semakin enak.
Persiapan membuat wedang bajigur dilakukan sejak pagi. Pukul tujuh, Bu Setyanto pergi ke Pasar Legi untuk belanja. Sampai di rumah, kurang lebih pukul sembilan, Bu Setyanto memilih tidur sebentar. Barulah pukul dua belas siang, ia memarut kelapa dan meracik wedang bajigur.
Kadang Bu Setyanto merasa ngantuk. Matanya sering terasa pedas. Susah, tapi ia mengatakan jika kulina semuanya menjadi ringan. “Pokoknya tepat pukul lima sore, saya sudah harus mulai berjualan,” tegas Bu Setyanto.
Tahun 2017, Bu Setyanto pindah ke tempat yang sekarang. Tempat sebelumnya digunakan pemiliknya untuk jualan ayam goreng. “Kok ra mundak-mundak?” tanya pembeli melihat harga wedang bajigurnya tetap sama. Bu Setyanto hanya menjawab dengan senyum. Ia tahu bahwa harga bahan baku mahal. Namun, menurutnya, tak apa untung sedikit, asalkan orang-orang masih bisa menikmati wedang bajigur dengan harga terjangkau bin cepat terjual habis.
Baru satu tahun, wedang bajigur menyentuh harga enam ribu rupiah. Meski dihadang pandemi Covid-19, Bu Setyanto tetap berjualan. Seberapa pun dapatnya, yang penting ada pekerjaan, itu pesan suaminya. Jika dulu membuat satu panci penuh, akhir-akhir ini hanya setengah. “Eman, kalau sisa,” kata Bu Setyanto. Pasalnya ia sering membuang sisa wedang bajigur.
Bajigur Tamansari laris pukul tujuh malam. Menurut kepercayaan Bu Setyanto, jika hari Selasa, maka selo-selone manungso, sehingga kemungkinan jualan sepi. Namun, jika hari Sabtu dan Minggu laris. Begitu pula tanggal satu sampai dua puluh atau awal bulan, jualan pasti ramai. Sedangkan, tanggal dua puluh satu sampai tiga puluh akan mengalami penurunan.
Ternyata hari ini beda. Sejak sore saya di Bajigur Tamansari, pembeli datang dan pergi tak berhenti. Ada yang membeli langsung enam bungkus, ada yang menikmati sembari mengobrol santai, dan ada pula yang membawa gelas stainles steel dari rumah sebagai wadahnya.
Kepercayaan niteni menggunakan hari dan tanggal nyaris tidak berlaku. “Zaman tidak bisa diprediksi,” kata Bu Setyanto. Terlebih di masa pandemi Covid-19, banyak yang mengeluh. Beban bertambah banyak, namun penjualan wiraswasta makin menurun. Jualan wedang bajigur ini, hanya agar dapur tetap mengepul.
Antarkan anak lulus diploma
Bu Setyanto bangga. Berkat Bajigur Tamansari, tiga anaknya lulus diploma. Bahkan sekarang, semua sudah bekerja dan menikah. Dua anaknya merantau untuk bekerja di pabrik kertas dan yang bungsu menjadi perawat rumah sakit swasta di Yogya.
Mata Bu Setyanto menerawang. Ia ingat ketika anaknya membantu berjualan wedang bajigur. “Besok, jadi cerita anak dan cucu mereka,” ungkap Bu Setyanto. Terkait siapa yang meneruskan Wedang Bajigur Tamansari, ia tak ambil pusing. Jika nanti tak ada yang meneruskan pun tak apa. Bu Setyanto dan suaminya membebaskan tiga anaknya memilih jalan hidup dan pekerjaan sendiri. Karena itu, tiga anaknya tidak berhenti sampai diploma, melainkan mengambil gelar lebih tinggi dengan usaha masing-masing.
Kadang, anaknya meminta berhenti berjualan. “Suruh orang saja, nanti Bapak dan Ibu tinggal dawuh,” kata Bu Setyanto mengikuti ucapan anaknya. Namun, suaminya menolak. Katanya, ini untuk kesibukan selain berkebun, agar tidak hanya mangan, turu, dan lemu.
Hujan datang, wedang bajigur sulit laku. Terlebih ketika angin kencang dan petir menyambar. Dipastikan tidak ada pembeli yang datang.
Jika hujan, Bu Setyanto menyembunyikan setengah gerobaknya di bawah terpal oranye. Masih tampias, basah dengan air hujan. Di benaknya, belum terpikir menyewa ruko atau bangunan beratap lain. Bahkan kalau ditanya, Bu Setyanto malah ingin membuka di rumah dan memasarkan lewat aplikasi online. Namun, keterbatasan melek teknologi menjadi hambatan.
Tahun 2017, Bu Setyanto dan suaminya dipalak preman saat berjualan. Dua laki-laki berbaju hitam dengan anting di telinga menghampiri gerobak Bajigur Tamansari. Padahal, saat itu sedang beres-beres akan pulang. Mereka minta uang. Namun, suaminya menolak, tak punya katanya.
Dibuka laci tempat penyimpanan. Kosong. Uang hasil penjualan sudah berada di saku celana. Tiba-tiba, pisau yang baru saja diselipkan di atas gerobak oleh suaminya, di rampas. Untung saja, pisau itu tidak dihunuskan, melainkan dibawa pergi oleh Sang preman jalanan.
Bukan kali itu saja, Bu Setyanto pernah menyaksikan sendiri jalan di depannya menjadi arena tawuran remaja. “Mobil di pinggir jalan di lempar dengan batu,” ungkap Bu Setyanto. Sejak saat itu, jika berjualan wedang bajigur, jam sembilan malam pasti sudah tutup.
Menjadi langganan Presiden SBY
Memiliki banyak pelanggan tetap membuat Bu Setyanto adem ayem dalam persaingan wedang bajigur yang semakin ketat. Kebanyakan pelanggan adalah lansia. “Ada yang jadi langganan sejak belum menikah sampai sudah punya anak dua,” ungkapnya. Beberapa dari sekitar Yogya, seperti Madukismo, Jalan Solo, dan Prambanan. Namun, ada juga yang dari Jakarta, Bandung, dan Semarang.
Pembelinya ada dari mancanegara. Waktu itu, yang berjualan suaminya. Ada bule wanita ditemani guide datang. Beli wedang bajigur. Bule wanita itu diajak mengobrol. Guide yang datang hanya bengong melihat suaminya lancar Bahasa Inggris.
Bu Setyanto pernah dimarahi pembeli perkara tidak buka dua hari. Saat itu, ada pelanggan dari Boyolali ngidam Bajigur Tamansari. Kebetulan, dua hari sedang ada acara di luar kota, tempat anaknya menetap. Saat buka, pelanggan itu datang. “Aku wingi peng pindo rene ra dodol, saiki dodol, niate dodol opo ora?” ucap Bu Setyanto menirukan sembari tertawa.
Bajigur Tamansari merupakan langganan mantan presiden Indonesia ke enam. Saat masih menjabat, ketika Pak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) datang ke Yogya, suaminya pasti di undang ke Istana Presiden lengkap dengan gerobak wedang bajigur.
Masuk Istana Presiden harus melewati pos pemeriksaan keamanan terlebih dulu. Suaminya diwajibkan menggunakan pakaian rapi dan sopan. Bukan kaos, apalagi sendal jepit. Namun, ia justru lupa sudah berapa kali keluar masuk Istana Presiden. “Sering, terakhir saat pergantian ke Pak Jokowi,” pungkas Bu Setyanto.
Kebetulan, saya bertemu seorang wanita muda datang bersama suaminya. Wanita itu menikah dua bulan yang lalu. Ani (22), warga asli Gunung Kidul mampir di Bajigur Tamansari selepas dari Alun-Alun Utara.
Sudah lima bulan Ani tidak main ke Yogya. Sejujurnya, ia memang sudah kangen dengan rasa Bajigur Tamansari. Sepuluh tahun yang lalu, ia pernah diajak orang tuanya mencicipi racikan Bajigur Tamansari. Menurutnya, rasa wedang bajigur itu memang khas. Meskipun di Gunung Kidul banyak wedang bajigur, namun baginya tak ada yang bisa menandingi perpaduan rempah dan kekentalan Bajigur Tamansari.
Ani sudah tak bisa menghitung berapa kali membeli Bajigur Tamansari. Jelas sudah lebih dari tiga puluh kali. “Kalau beli wedang bajigur, hanya di Bajigur Tamansari,” pungkas Ani sebelum berlalu bersama suami menaiki sepeda motor hitam.
Reporter : Brigitta Adelia Dewandari
Editor : Agung Purwandono
BACA JUGA Komunitas Jawil Njundil, Menjaga Kota dengan Cara yang Berbeda dan liputan menarik lainnya di Susul.