Rasa penasaran pada wayang beber membawa saya ke Pacitan. Bertemu dan berbincang dengan Komunitas Wayang Beber Sabendino.
***
Perjumpaan saya dengan Wayang Beber Sabendino diawali keisengan saya mencari akun di Instagram yang memiliki unsur wayang. Ketemulah saya dengan akun bernama: “WBS.brotherhood”. WBS merupakan singkatan dari Wayang Beber Sabendino. Setelah sedikit banyak bertanya pada akun tersebut, saya memutuskan berangkat ke Desa Bangunsari, Pacitan pada awal puasa tahun ini.
Di sana, saya disambut oleh Mas Rauf (20) dan Mas Mashuri (25). Setelah sampai di satu rumah, kami menaiki anak tangga menuju lantai dua kediaman pakar wayang beber di Pacitan, Mas Ganjar (34).
Mas Ganjar sebenarnya bukan asli Pacitan, beliau asli Malang dan memilih tinggal di Pacitan semata karena ketertarikannya pada wayang beber.
Sejak SMP, Mas Ganjar sudah beberapa kali berkunjung ke rumah Mbah Mardi, dalang ke-13 wayang beber yang berdomisili di Kelurahan Gedompol, Kecamatan Donorojo, Pacitan. Sekitar satu jam dari tempat kami ngobrol.
Setelah putus kuliah, Mas Ganjar memutuskan untuk nyantrik selama dua tahun ke Mbah Mardi. Ketertarikannya dipicu dari masa kecilnya di Malang yang dekat dengan wayang topeng. Setelah menemukan benang merah antara wayang topeng dan wayang beber, dia mantap menetap di Pacitan untuk mengembangkan wayang beber sekaligus menjadi aktivisnya.
Mbah Mardi kini sudah almarhum, dan digantikan oleh Mbah Supani, generasi ke-14 yang meneruskan tradisi menjadi dalang wayang beber.
Mas Ganjar sendiri mulai meneliti wayang beber sejak tahun 2008, dan memutuskan menetap di Pacitan sejak 2012. Selama dua tahun nyantrik, Mas Ganjar paham betul aktivitas sehari-hari Mbah Mardi sebagai dalang. Mulai kehidupan pribadi sampai cara beliau mendalang dari satu gambar ke gambar lain. Kebetulan Mas Ganjar juga yang terakhir nyantri di Gedompol sana.
Wayang beber yang ada di Kelurahan Gedompol, Kecamatan Donorojo, terdiri atas 24 jagong dari 6 gulungan. Jika ingin membukanya gulungan tersebut, harus ada ubo rampe atau sesaji seperti gula dan kopi.
Perihal bahan, wayang beber terbuat dari dasar kertas, bukan kulit. Lengkapnya, kertas daluwang, sekarang disebut dluwang.
Memburu naskah wayang hingga ke Leiden
“Awalnya sejak kapan, saya tidak bisa menebak, karena wayang beber merupakan salah satu wayang tertua. Nah kalau kita membicarakan wayang beber, berarti kita membicarakan ’tradisi membaca gambar’ Yang sudah dilakukan orang purba, seperti yang ada di dinding-dinding gua,” katanya ketika saya tanya kapan wayang beber ada.
“Lha, wayang beber yang ada di Pacitan ini sejak kapan Mas?” Saya kembali bertanya.
“Kalau di sini, kita tidak bisa mengatakan pastinya sejak tahun berapa, tetapi kita akan membicarakan Mataram,” kata Mas Ganjar ketika saya tanya, sejak kapan wayang beber ada di Pacitan.
Menurut Mas Ganjar, wayang beber yang ada di Pacitan ini sudah ada sejak era Mataram Islam. Tertulis di jagong ke-empat gulungan pertama lewat satu candra sengkala yang kalau diterjemahkan ke angka, tertulis di sekitar tahun 1700-an.
“Dulu, Pacitan adalah daerah pelarian Pangeran Mangkunegoro, makanya wayang beber yang ada di sini ada hubungannya dengan Geger Pacinan.”
Pada pertengahan abad-18, Geger Pacinan melibatkan Sunan Kuning, atau Mas Garendi yang melawan Pakubuwono II. Sebelumnya, Pakubuwono II ada di pihak warga Tionghoa. Namun, Pakubuwono II kemudian membelot setelah melihat VOC yang tampak unggul. Kala itu, Sunan Kuning ikut melindungi pelarian Tionghoa dari Batavia yang dibantai habis-habisan oleh VOC. Dalam perjalanannya, Pangeran Mangkunegoro kemudian bergabung ke pihak Sunan Kuning. .
“Tentang wayang beber di era Majapahit dan era Singosari, kita sudah tidak tahu. Karena semua artefak dan naskah-naskah Jawa dibawa semua ke Leiden. Makanya kita sinau Jawa itu ke Leiden,” keluh Mas Ganjar.
Selama mendalami wayang beber, Mas Ganjar juga mencari naskah pedalangan hingga ke Leiden. Karena di Jawa sendiri sudah tidak ada data baik berupa artikel, tulisan, atau naskah kuno yang berisi tentang wayang beber.
Karena hal itu pula, banyak orang mendekati Mas Ganjar untuk mendapatkan informasi tersebut. Mas Ganjar pun tidak mudah membagikannya, karena proses mencarinya susah. Sejenak saya bertanya, apakah ada kemungkinan kalau wayang beber dibawa ke sini karena motif agama.
Mas Ganjar pun menjelaskan kalau Islam yang berkembang di Pacitan tidak ada hubungan dengan masuknya wayang beber. Namun, ketika wayang beber masuk ke Pacitan, itu sudah pada era Mataram Islam. Hal itu dibuktikan lewat gambar tambur atau terbang yang menjadi ciri kebudayaan Islam di dalam wayang beber.
“Karena yang menggambar tidak asing dengan bentuk itu. Nggambar kan nggak ngawur Mas, nggak ngrepek, nggak nyonto, nggak apalan.” Lanjut Mas Ganjar.
Selain belajar kesenian ke beberapa negara lewat program residensi, salah satunya ke Jepang di tahun 2012, beliau juga mencoba mencari naskah dan foto yang berhubungan dengan wayang beber di Leiden lewat koneksi dari dosen-dosen yang dia kenal.
Kini, artefak wayang beber yang otentik di Jawa hanya tersisa di Pacitan dan Gunung Kidul. Jika di Pacitan fokus pada tokoh Joko Kembang Kuning, di Gunung Kidul fokus pada tokoh Remeng Mangunjaya. Artefaknya sendiri, menurut Mas Ganjar lebih tua di Pacitan.
“Keadaan artefak wayang bebernya sekarang sudah embuh, Mas. Seharusnya negara punya kewajiban menyelamatkannya. Karena itu artefak terakhir.”
Dalam angan Mas Ganjar, kesadaran untuk menyimpan benda seperti itu di Indonesia masih kalah jauh dengan negara lain, khususnya Jepang.
Mas Ganjar juga sering kedapatan tamu dari luar negri. Baru-baru ini, ada peneliti dari Kroasia yang kerja di UNESCO. Jika sudah seperti itu, Mas Ganjar akan menyelenggarakan diskusi di Pendopo Kabupaten, atau di rumah teman. Harus disambut ramai-ramai supaya ilmunya sama-sama tambah.
Kini, sehari-hari Mas Ganjar aktif menyelenggarakan diskusi, belajar, dan mengembangkan sendiri wayang beber versinya. Dengan cerita tentang kritik sosial yang disesuaikan dengan fenomena dan keadaan sekarang.
Jagong terakhir yang tak boleh dibuka
Cerita Panji dalam Wayang Beber Pacitan berfokus pada kisah Joko Kembang Kuning dengan Dewi Sekartaji, kekasihnya yang mau dinikahi Klana Sewandono.
Terkait nama yang familiar dengan cerita dalam Reog Ponorogo, saya mencoba mengklarifikasi apakah ada hubungan dalam dua cerita ini.
“Semua cerita tentang kebudayaan Panji, seperti itu. Setiap daerah konfliknya akan beda, otomatis lakonnya juga beda.” Mas Ganjar dengan pelan menjelaskan.
Cerita Panji berkembang dalam banyak versi yang hidup dan beradaptasi sesuai zaman dan daerah dia berada. Sehingga, ketika bicara Wayang Beber Pacitan, kita juga membicarakan Pacitan. Begitupun dengan Wayang Topeng di Malang. Pola ceritanya pun sama.
Menariknya, cerita Panji yang berkembang di Jawa, terdapat sejarah yang dilegendakan dan ada legenda yang disejarahkan. Pada poin sejarah yang dilegendakan, contohnya seperti seorang tokoh punya jasa, kemudian ditulis dan dimitoskan. Tetapi juga ada yang awalnya fiksi, kemudian dipercaya menjadi sejarah.
Di empat keraton trah Kerajaan Mataram Islam juga ada cerita Panji. Di Bali, Panji diceritakan lewat media wayang, bernama “Malat”. Di Thailand, Panji diceritakan lewat tarian bernama “Inao”. Begitu juga yang diceritakan di daerah lain seperti Klaten, Indramayu.
”Dulu, wayang beber menceritakan Mahabarata dan Ramayana, kemudian berganti menjadi cerita Panji ketika era Majapahit, sekitar abad ke-15.” Tentang pementasan wayang beber, hal tersebut telah tertulis di jurnal Tiongkok berjudul Ying-Yai-Sheng-Lan karya Ma-Huan dan Fei-Xin yang memuat kunjungan Cheng Ho ke Jawa sekitar tahun 1413-1415.
Dilansir dari Wikipedia, berikut cuplikan isi catatan Tionghoa tadi: “Mereka menyaksikan orang-orang berkerumun dan mendengarkan seseorang bercerita mengenai gambar-gambar yang ditampilkan pada lembaran kertas yang sebagian tergulung. Pencerita memegang sebilah kayu yang dipakai untuk menunjuk gambar-gambar yang terdapat pada lembaran tersebut.
Dalam cerita Panji di Wayang Beber Pacitan, terdapat 6 gulung berisi 24 jagong dalam artefak lama yang asli. “Jagong itu episode.” Terang Mas Ganjar.
“Gulung itu apa season?” Mas Mashuri yang sedari tadi diam tiba-tiba bertanya.
“Ya enggak, ada yang satu gulung juga isinya tiga jagong, nggak mesti. Dan jagong yang terakhir tidak boleh dibuka, sampai sekarang. Dalangnya juga tidak tahu seperti apa bentuknya, dan itu keyakinan mereka.” Mas Ganjar bicara dengan nada berbeda.
“Bisanya cuma berangan-angan itu isinya apa?” Mas Mashuri kembali menimpal.
“Mungkin isinya kosong,” saya nyeletuk.
“Mungkin isinya cermin. Ketika kamu lihat itu kamu tahu wajahmu sendiri. Oh ternyata kayak bedes.” Ucap Mas Ganjar diikuti tawa. “Seperti di film Kung Fu Panda, dimana jurus terakhir dalam gulungan yang diperebutkan itu berisi cermin yang ternyata disuruh introspeksi.” Hingga kini, Mas Ganjar juga berangan tentang isinya.
Wayang Beber Sabendino yang pernah pentas tiap hari
“Lha kalau di Pacitan sini, pentasnya kapan Mas?” Saya kembali bertanya.
“Nah, pentas wayang beber biasanya diadakan untuk ritual-ritual tertentu, masyarakat umum juga kadang mengadakan ketika ada nadhar tertentu yang terkabulkan.” Sedangkan untuk pentas tahunan sendiri, sampai sekarang belum ada.
“Padahal Wayang Beber Pacitan sangat otentik,” nada Mas Ganjar kembali pelan.
Dalam setahun, nggak pasti ada pentas wayang beber. Biasanya ditanggap kalau orang yang nazar, tapi tiap satu suro, biasanya warga bikin pagelaran di desanya.
Perihal keadaan tersebut, saya diminta supaya jangan berekspektasi tentang keadaan desa Donorojo. “Kalau ke sana, sampean kayak lihat peradaban jawa entah tahun berapa. Sinyal pun nggak ada. Aku pun kalau ke sana, berangkat sore, pulang besoknya.” Tutur Mas Ganjar.
Jarak ke fasilitas kesehatan pun juga jauh, dan orang di sana masih percaya dukun. Satu waktu Mas Ganjar pernah menderita demam, kemudian dukun di sana memberi daun dhadhap serep. Ajaib, Mas Ganjar tiba-tiba sembuh.
“Menurut orang dulu, semua benda dari keraton dianggap jimat, Mas. Peparing ingkang sinuwun itu kan sangat berharga. Misalnya sampean ada pulpen dari Jokowi, walaupun mereknya pilot. Pasti sampean simpan. Kecenderungan kita kan seperti itu. Bayangkan apalagi bentuknya wayang, dipuja puja sampai jadi kebudayaan, hingga disajeni. Makanya, wayang beber juga disebut sebagai pusaka keraton yang tercecer sampai Pacitan.”
Demi mengenalkan kembali wayang beber ke masyarakat, Mas Ganjar dan beberapa temannya membuat pagelaran WBS (Wayang Beber Sabendino).
“Sakbendino itu intensitasnya setiap hari. Kita pentas di mana-mana. Satu tahun aku mendalang nggak butuh dilihat, dan gak butuh ditonton.” Tempat pentasnya pun cukup beragam, bisa di pasar, di alas, di kuburan, di gereja juga.”
Kegiatan satu tahun itu dimulai dari 5 Agustus 2016 sampai 5 agustus 2017. Pelaksanaannya ada di berbagai kota, termasuk Pacitan, Jogja, Solo, Malang, Mojokerto, Jombang, dan lainnya. Itu semua dilakukan dengan misi supaya kesadaran akan pentingnya wayang beber bisa dirasakan orang banyak.
“Satu tahun Mas,” Mas Ganjar menekankan. “Di situ akhirnya WBS punya banyak santri, termasuk juga anak punk. Selesai wayangan, kita kemudian ngobrol, berdiskusi.”
Cerita Joko Kembang Kuning
Gayeng ngobrol, Mas Ganjar memanggil satu kawannya yang juga malang melintang di dunia wayang beber, namanya Mas Topan (25).
Saya kemudian mengambil satu miniatur wayang beber yang ada di atas meja dekat situ. Sembari menunjukan gambar tersebut ke Mas Topan, saya bertanya tentang Joko Sembung Kuning itu yang mana.
Miniatur jagong pertama wayang beber. Tampak kerusakan yang ikut tersalin dengan tambalan kertas semen pada bagian kanan bawah. (Prima Ardiansah/Mojok.co)
Mas Topan kemudian menunjuk salah satu tokoh, sembari menjelaskan jika di sana ada raja, pesuruhnya, dan beberapa punakawan dari Joko Kembang Kuning.
“Sampean pernah nonton lukisan relief? Kan langsung interpretasi suasana yang ada di situ, nah ini enggak Mas. Ada urutan-urutan keluarnya. Adegan pertama itu dari sini.” Mas Topan kemudian menunjuk gambar dengan memberi batas antara satu gambar dengan gambar lainnya.
Dalam awal cerita, terdapat punggawa keraton yang melapor ke Raja bahwa Dewi Sekartaji menghilang. Raja pun juga bertanya-tanya mengapa Putrinya bisa menghilang. “Setelah itu, raja membuat pengumuman supaya orang-orang berkumpul. Kemudian beliau membuat sayembara.”
“Barang siapa yang bisa menemukan, kalau perempuan saya jadikan saudara, kalau laki-laki, saya jadikan menantu,” Mas Topan menirukan.
Mas Topan masih menunjuk bagian gambar sembari mengatakan kalau Joko Kembang Kuning juga turut hadir dalam sayembara lewat satu gerbang yang juga digambarkan di jagong tersebut.
Saya sebenarnya merasa tidak asing dengan alur ini. Dalam cerita Menak Sopal di Trenggalek. Kata sayembaranya juga persis seperti yang diceritakan Mas Topan. Mungkin cerita Menak Sopal juga bisa berasal dari sejarah yang dilegendakan, atau justru dari legenda yang disejarahkan.
“Ya, ada benang merahnya Mas. Sebenarnya pola-pola seperti itu hampir sama semua. Termasuk cerita Panji ini yang fokusnya ke Joko Kembang Kuning dan Dewi Sekartaji. Mereka dipisahkan karena satu peristiwa, kemudian satu waktu dipertemukan kembali. Cuma kronik peristiwanya ada yang ditambah sesuai kondisi geografis, politis, atau keagamaan di sana.”
Cerita selanjutnya, Joko Kembang Kuning akan menyamar sebagai pengamen, dan Dewi Sekartaji juga menyamar menjadi rakyat biasa. Mereka kemudian bertemu di pasar.
“Di gulungan pertama ada empat jagong. Nanti ketemunya di jagong pasar, Mas. Jagong tersebut termasuk sakral juga, karena merujuk angka tahun dengan banyak peristiwa di sana.”
Mas Topan masih melanjutkan kalimatnya. “Prostitusi, adu pitik, judi, pengamen dan sebagainya. Nah, mengapa tempatnya di pasar? Karena pasar itu kompleks, tempat berkumpulnya semua elemen tanpa ada kelas. Di situ hanya ada pedagang dan pembeli. Dalam banyak cerita, pasti adegan-adegan yang netral dan melepas kelas sosial itu ada di pasar.”
Perkataan Mas Topan tersebut juga mengingatkan saya tentang cerita Mbah Nur. Beliau juga pernah menyinggung bahwa di saat itu, pasar menjadi pusat banyak hal, bukan cuma judi dadu, berbagai bentuk judi lain sampai sabung ayam juga ada.
Mas Ganjar yang baru saja bersih-bersih rumah, tiba-tiba muncul dan menyela. “Makanya, kalau mau lihat akhlak imannya masyarakat itu jangan lihat di Masjid.”
“Tapi di pasar,” balas Mas Topan diikuti suara tawanya yang memenuhi sudut pelataran lantai dua tempat kami ngobrol.
Setelah pertemuan antara Joko Kembang Kuning dan Dewi Sekartaji di jagong pasar, keduanya akan kembali berpisah dan bertemu kembali setelah melewati kronik-kronik lain. Lebih lengkap tentang cerita ini, Anda bisa membacanya dalam jurnal berjudul: “Analisis Struktur, Tekstur dan Permasalahan Politis Wayang Beber Jaka Kembang Kuning” karya Wahid Nurcahyo.
Kisah Joko Kembang Kuning yang dipaksakan menjadi tarian.
Selama tiga tahun ini, wayang beber sedang gencar-gencarnya dilakukan revitalisasi menjadi tarian. Mas Ganjar dan teman-temannya kini sedang fokus mengusahakan supaya pemerintah setempat meninjau kembali keputusan tersebut. Mengingat pelaksanaannya begitu mentah, tanpa meninjau nilai-nilai yang ada dalam cerita wayang beber.
Dari kiri ke kanan, Mas Ganjar, Mas Mashuri, Mas Topan, dan Mas Rauf sedang serius membicarakan revitalisasi yang kurang tepat. (Prima Ardiansah/Mojok.co)
“Sebenarnya program itu sejak 2020 Mas,” ungkap Mas Topan yang juga lulusan Seni Rupa Universitas Negeri Surabaya.
“Revitalisasi itu seharusnya ada observasi dulu, sementara ini tidak ada. Dengan waktu yang singkat, revitalisasinya dibuat menjadi tari, karena kebanyakan praktisi seni di Pacitan itu penari,” Mas Topan meneruskan.
Mas Ganjar menambahkan, wayang beber direvitalisasi dalam bentuk tari karena mudah untuk dipentaskan dan menarik. Harapannya bisa membangun pariwisata di Jawa Timur. “Nah ini pola yang salah. Seharusnya untuk menuju ke situ ada kajian dulu, dibaca dulu. Cari literasi,” katanya.
Program revitalisasi ini masih belum ada rujukan data yang bisa dipertanggung jawabkan tentang wayang beber. Sehingga, ketika gambar dalam beberan wayang tersebut ditransformasikan menjadi gerak. Tiap sanggar pun memiliki idealisme sendiri-sendiri untuk memvisualisasikannya. Tanpa ada pertimbangan dulu dengan nilai-nilai yang ada di dalam gambar tersebut. Takutnya, masyarakat akan melihat wayang beber dengan tafsiran yang ada ditarian dan bisa menggeser sejarah dan nilai-nilai di dalamnya.
Ke depan, Mas Topan mau maju dalam kajian seni pertunjukan dan seni rupa di UGM. “Paling tidak, harus ada disiplin lain dari arkeologi, filologi, sejarah, pertunjukan, dan seni rupa. Supaya sehabis itu ada antitesis dari argumen kami.” Lanjut Mas Topan.
Hal tersebut cukup sukar ditempuh karena Mas Ganjar dan teman-temannya berasal dari organisasi non-profit, tidak ada hubungan langsung dengan mimbar akademis. Padahal dalam perjalannya, data-data yang menjadi dasar tulisan-tulisan mereka tadi berasal dari pengembaraan Mas Ganjar, Mas Topan, dan beberapa kawan.
“Ngumpulke data seperti itu nggak cuma-cuma, Mas. Aku ke luar negeri bawa bahan, dan yang dari luar negeri juga bawa bahan supaya kita sama-sama tambah.” Mas Ganjar kembali menceritakan pengalaman residensinya.
Perihal mencari data di Leiden pun juga menghabiskan dana yang lumayan karena aksesnya berbayar. Satu foto bisa dihargai hingga Rp7,5 juta. Rekaman dengan format Mp3 dengan durasi 1 jam 27 menit, harganya juga mencapai Rp10 juta. Sejenak Mas Ganjar juga berpendapat bahwa penjajah di zaman itu begitu pintar membaca masa depan. Mereka mungkin sadar di masa depan akan ada pemuda seperti Mas Ganjar dan Mas Topan yang akan mencari jati diri dari bangsanya.
Tontonan yang seharusnya juga menjadi tuntunan
”Karena aku punya keyakinan bahwa tontonan dan tuntunan. Bahwa pertunjukan yang kita anggap kesenian itu beda dengan hiburan. Kesenian ya harus ada unsur pendidikan dan ilmunya.” Lanjut Mas Ganjar.
Mas Ganjar sendiri merujuk pada negara Jepang yang memperlakukan kesenian bukan sebagai hiburan. “Di sana, kalau ada pertunjukan seni, konsepmu akan dibedah, dan akan dipertanggung jawabkan. Berarti, kalau ngomong kesenian, kamu ngomong pendidikan. Di sini kan orang lihat kesenian itu hiburan.“
Dalam persepsi Mas Ganjar, beliau melihat bahwa banyak kesenian telah dikapitalisasi, sehingga yang keluar hanya hiburannya. Ciri dari kesenian yang sudah dikapitalisasi, menurutnya adalah ketika kesenian tersebut telah mengeksploitasi wanita. “Mohon maaf, sekarang penyanyi dangdut kan tidak butuh suara bagus.” Ungkap Mas Ganjar.
Setelah diam beberapa detik, Mas Ganjar kembali berujar: “Dalam wayang beber, rasa ingin tahu itu harus ada dan wajib. Makanya kita diwajibkan membaca. Tradisi membaca gambar itu ada sulukannya namanya “moco layang tanpo sastro”. Artinya membaca tanpa ada tulisan.”
“Bacanya cuma di angan Mas?” Saya menimpal.
“Bukan. Artinya, kita harus bisa membaca fenomena dan keadaan. Bukan berarti kita tidak butuh tulisan, itu tetap penting. Karena kita pakai sastra dulu, supaya bisa baca layang tanpa sastro. Seperti perintah pertama dalam Quran itu lo Mas. Iqro. Kita disuruh membaca, disuruh belajar, disuruh ngaji. Bukan cuma joget-joget.”
Mas Ganjar berkeyakinan bahwa perubahan dari bangsa ini tidak bisa hanya dengan satu pakem tertentu. Seniman pun harus bisa membuat perubahan.
Walaupun begitu, Mas Ganjar sudah bersyukur karena di jaman ini sudah banyak pemuda yang mencoba mencari tahu identitas bangsanya. Banyak mimbar diskusi yang tercipta dimana-mana.
“Kalau kita baca prediksi dari serat Joko Lodang, tentang amenangi jaman edan. Fenomena itu pasti akan terjadi ketika anak-anak mulai banyak mempertanyakan. Dan suatu saat nanti, negara kita akan kembali mulia, akan kembali berwibawa, ketika sudah lahir anak-anak yang kritis. Bernama Joko Lodang. Lodhang iku artinya longgar, sudah selesai,” kalimat-kalimat yang keluar dari mulut Mas Ganjar, persis seperti dalang yang sedang memimpin pagelaran.
“Sehingga nanti, kalau ngomong Jawa, menjadi bukan klenik. Kita rajut itu budaya modern dan tradisional. Itu yang saya lakukan sekarang.” Tutup Mas Ganjar.
Penulis: Prima Ardiansah
Editor: Agung Purwandono