Warong Texas di Jogja, Gara-gara Bule Amerika yang Doyan Makan

Pemiliknya pernah diajak jualan mendoan di Amerika Serikat

Warong Texas Yogyakarta ada gara-gara bule amerika doyan makan

Selama lebih 4 dekade, Warong Texas di Yogyakarta melayani mahasiswa di kawasan Mrican yang punya uang pas-pasan. Nama warung ini tak lepas dari ‘ulah’ mahasiswa asal Amerika Serikat di tahun 1978.

***

Alumni kampus-kampus di kawasan Gejayan, seperti Universitas Sanata Dharma atau Sadhar, Universitas Atma Jaya dan Universitas Negeri Yogyakarta tentu tidak asing dengan nama Texas. Bukan negara bagian Amerika Serikat, tapi sebuah warung makan di utara Lapangan Realino USD. warung yang telah menemani mahasiswa Sadhar sejak tahun 70-an ini merekam kisah para mahasiswa Jogja. 

Warung ini juga menjadi saksi Reformasi ‘98  dan tragedi Gejayan Kelabu. Tempat makan ini sudah mengenyangkan banyak tokoh, public figure dan seniman. Dan kini, Warong Texas tengah bertahan hidup melawan pandemi Covid-19. warung yang pada masa jayanya bisa menanak 150 kg beras sehari kini begitu sepi tanpa mahasiswa yang tidak bisa kuliah tatap muka.

Pertengahan Februari 2022, Mojok datang ke warung ini sekaligus ngobrol tentang sejarah warung legendaris ini.  

Tak sejaya dulu, namun tetap bertahan

Sebelum ke Warong Texas, saya berbincang dengan Bu Retno (50), alumnus IKIP Yogyakarta yang sekarang berganti menjadi UNY. Ketika saya sebut Warong Texas, ia langsung menyebut, “Komplit dan murah,” katanya. Semasa kuliah, Warong Texas adalah tempatnya langganan makan siang. Selain dekat dengan kampus di Karangmalang, harganya yang murah, jadi alasan utama.  

Om Jati (40) sebagai alumnus Universitas Atma Jaya Yogyakarta Kampus Mrican, juga menyatakan hal serupa. Pengacara ini berterimakasih pada Warong Texas yang telah menyelamatkan ekonomi beliau saat kuliah. “Ya kalau nggak ada Texas, saya jajan dimana mas? Paling murah se-Mrican jhe,” kenang Om Jati.

Mbak Dyah (29) juga menjadi pelanggan Warong Texas. Alumnus Sadhar 2011 ini bahkan harus janjian dengan teman-temannya ketika ingin makan siang di Warong Texas. “Kalau nggak janjian dan buru-buru, bisa ga dapat tempat duduk,” kenang Mbak Dyah. Mbak Dyah juga mengenang bagaimana menu di warung ini sangat komplit. Dua etalase lauk penuh dengan berbagai menu berbeda.

Namun, kisah Mbak Dyah ini tidak sesuai dengan apa yang saya lihat. Saat mengunjungi Warong Texas di Februari 2022, hanya ada 17 jenis lauk dan sayur yang jumlahnya cukup sedikit. Memang ada 3 etalase makanan tersedia, namun dua etalase yang lain sepi dan hanya berisi peralatan makan.

Tidak ada keramaian dan desak-desakkan. Yang ada hanyalah saya dan Mbak Dyah sebagai konsumen. “Hanya ini bu (pilihan menunya)?”tanya saya. 

“Iya jhe mas…,”kata Bu Marsanti (55) menjawab lirih. 

“Dulu terakhir ramai pas 2019 mas, sebelum pandemi,” terang Bu Marsanti yang merupakan anak dari pendiri Warong Texas, Bu Arjo (almarhum). Kini Bu Marsanti hanya memasak secukupnya, dan baru memasak lagi ketika habis. Karena semenjak pandemi, omset dan jumlah konsumen benar-benar anjlok.

Mbak Dyah juga terkejut dengan situasi Warong Texas sekarang. Satu etalase lauk yang masih dipakai hanya menjadi rumah bagi 17 jenis lauk dan sayur. Berbeda jauh dengan saat Mbak Dyah jadi mahasiswa baru 11 tahun lalu. “Dulu aku malah bingung kalau sudah di depan etalase,” kenang Mbak Dyah.

Sudah berjualan semenjak ‘60-an

Bu Marsanti mengingat sang Ibunda memang suka berdagang. Sejak tahun ‘60-an, Bu Arjo telah berjualan lotis, kupat tahu, dan gorengan. “Tapi dulu masih di depan sana mas,” ujar Bu Marsanti sambil menunjuk Jalan STM Pembangunan (kini SMKN 2 Depok) bagian utara Lapangan Realino. warung tanpa nama yang menghadap Kampus 1 Sanata Dharma inilah cikal bakal Warong Texas.

Para pelanggan warung Bu Arjo ini sering menyebut warung koboi. Alasannya para pelanggan memang didominasi laki-laki. Beberapa orang juga menyebut sebagai warung senggol karena harus berdesak-desakan ketika memesan dan makan. Pada masa itu memang baru ada satu warung makan di lingkungan tersebut.

“Di Mrican dulu cuma ada 8 rumah saja mas. Salah satunya ibu (Bu Arjo). Ibu ini memang orang asli Mrican,” ujar Bu Marsanti. Pada mulanya, luas tanah eyang dari Bu Marsanti sepanjang Jalan STM Pembangunan ini. Namun, banyak tanah diwakafkan baik kepada kampung maupun pendatang yang menumpang hidup.

Warung milik Bu Arjo yang makin ramai sudah tidak mampu menampung pelanggan. Maka Bu Arjo memindahkan warungnya ke dalam kampung yang kini menjadi lokasi Warong Texas. Awalnya warung Bu Arjo tetaplah gubuk sederhana. Para pelanggan lebih banyak duduk lesehan di lahan kosong kebun Bu Arjo ini. 

“Nama Texas itu gara-gara orang Amerika mas. Menurut dia, warung ibu ini mirip dengan kedai di Texas Amerika sana,” terang Bu Marsanti sambil mengingat nama laki-laki berkebangsaan Amerika Serikat yang doyan makan tersebut. Kebetulan, banyak peserta pertukaran mahasiswa Sadhar dari luar negeri yang diajak makan ke warung Bu Arjo ini.

Selain untuk makan, para mahasiswa mancanegara ini juga belajar bahasa Indonesia dan Jawa. Dari celetukan salah satu mahasiswa Amerika ini, banyak mahasiswa menyebut warung Bu Arjo sebagai Texas. Bu Arjo juga menyukai nama tersebut, dan kebetulan warung tersebut belum bernama. Maka pada 1978, warung tersebut resmi bernama Warong Texas. Lidah bule yang menyebut kata warung menjadi ‘warung’ itu yang kemudian menempel pada nama Warong Texas 1978.

“Tahun 1978 itu ketika memakai nama Texas. Kalau usia warung ini jauh lebih tua. Sejak saya kecil, ibu sudah membuka warung ini,” ujar Bu Marsanti. Nama Texas makin menempel dengan warung Bu Arjo ini. Bahkan ada mahasiswa Amerika lain yang sampai membawakan ornamen ala koboi Texas.

Pernah diajak berjualan tempe mendoan ke Amerika Serikat

 “Bule itu membawa topi koboi, bendera Amerika, sama rantai-rantai gitu buat ibu. Ibu sampai dipaksa memasang hiasan tadi di warung,” kenang Bu Marsanti sambil tertawa. Menurut Bu Marsanti, banyak mahasiswa mancanegara yang menyukai Warong Texas.

 Bahkan ada satu mahasiswa mancanegara yang menjadi pelanggan setia Warong Texas. Bukan untuk makan nasi, tapi hanya makan tempe mendoan. Tidak tanggung-tanggung, mahasiswa tersebut makan 40 tempe mendoan sekali duduk. Tempe sebanyak itu hanya digelontor dengan dua gelas es jeruk tanpa gula. 

“Ibu dulu sering menyembunyikan tempe kalau dia datang. Bukan pelit, tapi takut pelanggan lain tidak kebagian,” ujar Bu Marsanti sambil tertawa.

Saking cintanya dengan tempe mendoan, Bu Arjo pernah diajak ke Amerika Serikat untuk berjualan tempe mendoan di sana. Tapi Bu Arjo menolak dan tetap tinggal di Mrican, Yogyakarta.

Menurut Bu Marsanti, banyak public figure dan seniman yang menjadi pelanggan Warong Texas. Yang paling dikenang adalah Susilo Nugroho (Den Baguse Ngarso), Dalijo sang pelawak senior Jogja, dan Pongki Barata mantan vokalis Jikustik. “Dulu Mas Pongki paling suka makan terong di sini,” kenang Bu Marsanti.

Penulis berbincang dengan Ibu Marsanti, pengelola Waroeng Texas.

Begitu lekatnya Warong Texas dengan Sanata Dharma, keberadaannya pernah diboyong ke Lapangan Realino Sadhar. Waktu itu memang ada acara reuni akbar pada tahun ‘80-an. Alumnus Sadhar ini ingin konsumsi pada acara tersebut adalah makanan yang biasa dikonsumsi saat kuliah. Maka Warong Texas menjadi satu dari 3 warung yang menyediakan konsumsi dalam acara tersebut. 

Punya 58  lauk dan sayur dan tetap mempertahankan harga murah 

Pada masa kejayaannya, Warong Texas bisa menanak nasi 50kg. “Tapi itu sekali masak mas, kadang ibu dulu ngliwet (menanak nasi) sampai 3 kali sehari,” ujar Bu Marsanti. Tidak hanya nasi, Bu Arjo juga menghabiskan ayam sampai 40kg dalam sehari. 

Awalnya Warong Texas bukanlah warung prasmanan. Namun, Bu Arjo dan Bu Marsanti yang melayani pesanan pelanggan. Saking ramainya, mereka berdua tidak sempat melihat siapa yang memesan. Mereka hanya mendengar pesanan yang riuh silih berganti. Sangat klise dengan apa yang saya lihat saat ini.

“Setiap hari kepala saya terpukul piring pelanggan yang desak-desakan. Saya pernah sampai njungkel (jatuh) masuk ke dalam tempat nasi,” kenang Bu Marsanti sambil mengusap rambutnya yang telah memutih.

Pada masa jayanya, Warong Texas menjajakan lebih dari 50 jenis lauk dan sayur. “Paling banyak sekitar 58 jenis mas,” kenang Bu Marsanti. Pilihan yang beragam ini membuat pelanggan selalu penasaran. Sebanyak 58 pilihan makanan ini membuat pelanggan membuat kombinasi sendiri. 

Bu Marsanti juga menceritakan alasan mengapa Warong Texas selalu murah. Alasan utamanya karena menyadari kondisi dompet para mahasiswa rantau. “Setidaknya kalau jajan ke sini, mereka tetap bisa makan enak pakai ayam goreng,” ujar Bu Marsanti.  Memang benar, nasi sayur lauk ayam serta es teh saat ini hanya seharga Rp10 ribu saja.

“Ayam gorengnya sekarang lebih kecil daripada zaman ibu dulu. Tapi biar pelanggan yang uangnya mepet tetap bisa makan ayam. Kalau mau tanduk (tambah makan), tinggal ambil ayam lagi,” jelas Bu Marsanti. Menurutnya, Warong Texas dulu memang terkenal karena potongan ayam goreng yang lebih besar dari warung makan lain.

Dengan situasi yang ramai, wajar Warong Texas sering mengalami pencurian makanan. Namun, dengan banyaknya orang yang tidak membayar, Warong Texas tetap eksis sampai hari ini. 

“Dulu ada dokter datang ke sini. Katanya ingin mengaku dosa karena dulu mengambil tahu dua biji tanpa membayar,” ujar Bu Marsanti sambil tertawa kembali. Memang, obrolan kami ini dipenuhi canda tawa.

Saksi Gejayan Kelabu dan menyumbang makanan untuk demonstran

Bu Eni (51), adik Bu Marsanti, mengenang bagaimana Warong Texas pada masa reformasi. Beberapa kali Bu Arjo dan Warong Texas menyumbang makanan bagi para demonstran saat longmarch dari kampus Sadhar. “Ya kami dulu berdiri di jalan yang buat longmarch mas. Saya dan ibu ngasih bungkusan nasi buat yang lewat,” kenang Bu Eni.

Bu Eni sendiri juga ingat momen Gejayan Kelabu. Momen berdarah antara demonstran dengan aparat keamanan ini terjadi hanya sekian puluh meter dari Warong Texas. “Saya ingat betul, bapak dulu baru membuat pintu baru buat warung saat geger,” kenang Bu Eni.

Ciri khas Waroeng Texas, masuk ke gang sempit. (Dimas Prabu Yudianto)

Suara tembakan dan teriakan terdengar jelas sampai Warong Texas. Waktu itu, warung memang sedang tutup karena situasi yang tidak kondusif. Pintu masuk kampung sendiri juga diblokade. Bukan karena tak acuh pada demonstran yang menyelamatkan diri, namun takut disisir dan digeledah aparat. Bu Eni ingat betul situasi saat Gejayan Kelabu benar-benar kelabu. “Malam harinya saja semua listrik dipadamkan,” kenang Bu Eni.

 Bu Eni juga mengingat tragedi terbunuhnya Moses Gatutkaca. Salah satu Pahlawan Reformasi yang menjadi nama jalan di selatan Sadhar ini dianiaya aparat ketika mencari makan malam. Di tengah kebingungan karena semua warung makan tutup, Moses diciduk aparat dan disiksa sampai dibuang dalam keadaan sekarat di lingkungan kampus Sadhar.

Bu Eni berpendapat, bisa jadi Moses dan para aktivis reformasi adalah pelanggan Warong Texas. Namun karena saking padatnya warung ini, tidak semua pelanggan bisa diingat mereka. Namun Bu Eni tetap bangga bahwa Warong Texas telah menjadi saksi sebuah sejarah besar Indonesia.

Warong Texas terus berkembang seiring dinamika para mahasiswa. Dari gubuk seadanya, pada tahun 2010 Warong Texas dirombak menjadi lebih layak seperti sekarang. Dengan bangunan permanen berdinding kombinasi keramik, Warong Texas kini jauh lebih nyaman untuk pelanggan. Namun Bu Arjo sang pendiri hanya bisa merasakan warung barunya selama 8 tahun saja.

Warong Texas bertahan untuk terus ada

Pada 2018, Bu Arjo sang pendiri Warong Texas meninggal dunia. Dua tahun kemudian, pandemi Covid-19 menghantam Indonesia. Warong Texas ikut terdampak sejak awal pandemi. “Dulu kami harus tutup 6 bulan mas,” keluh Bu Marsanti. Warong Texas Putra yang dikelola salah satu saudara Bu Marsanti juga ikut terdampak dan tutup sementara.

Setelah hiatus tersebut, Bu Marsanti mencoba membuka kembali Warong Texas. Namun tanpa adanya perkuliahan tatap muka, warung yang telah berusia lebih dari 40 tahun ini sepi pengunjung. Hanya warga sekitar dan beberapa pelanggan lama yang mengunjungi Warong Texas.

 “Kemarin ada anak muda kesini. Dia disuruh orang tuanya mencari warung yang jadi langganan mereka pas kuliah. Katanya sampai seminggu baru ketemu,” ujar Bu Marsanti. Beberapa alumnus Sadhar dan kampus lain juga sesekali menghampiri Warong Texas untuk nostalgia.

Bu Marsanti tetap ingin menjaga Warong Texas tetap eksis. Sebagai warisan dari Bu Arjo, Bu Marsanti tetap ingin melayani para mahasiswa dan pelanggan yang ingin makan hemat dan murah. Tentu dengan citarasa yang tetap nikmat dan selalu terjaga. 

“Semoga setelah ini banyak orang yang tahu kalau Warong Texas masih ada. Warung Bu Arjo tetap bertahan sampai saat ini,” tekan Bu Marsanti penuh semangat. 

Reporter : Dimas Prabu Yudianto
Editor : Agung Purwandono

BACA JUGA Menyaksikan Judi Sabung Ayam di Jawa Timur Selatan  liputan menarik lainnya di Susul.

 

Exit mobile version