Tukang Cukur Tradisional Vs Barbershop: Beda Kelas, Beda Kualitas?

Tukang cukur mojok.co

Pemangkas rambut di Arfa Barbershop

Barbershop kini telah menjadi pangkas rambut yang populer di kalangan para pria muda kelas menengah ke atas. Tidak heran bila di kota-kota, gerai barbershop kian berkembang dan berlipat ganda, termasuk di seluruh wilayah Yogyakarta. Lantas bagaimana nasib tukang cukur tradisional?

***

Di Jogja, kita bisa dengan mudah menemukan gerai-gerai cukur yang bagian depannya senantiasa dihiasi tanda khas berupa tabung berputar dengan garis-garis melingkar berwarna putih, biru, dan merah itu, di pinggir-pinggir jalan.

Selama ini, banyak dari kita barangkali mengenal barbershop sebagai tempat pangkas pria yang lebih mahal dan ruangan serta peralatannya lebih eksklusif ketimbang tempat pangkas rambut yang tergolong masih tradisional. Bila berbicara tempat pangkas rambut tradisional, kita akan cenderung membayangkan ruang yang relatif sederhana, dengan fasilitas sebatas cermin besar, kipas angin, peralatan cukur standar, teknik pangkas yang asal pendek, kursi yang tidak bisa dibikin naik-turun, dan rambut sisa kegiatan cukur, menumpuk di bawahnya.

Aktivitas pangkas rambut di Arfa Barbershop Jogja. (Galih Yoga Wicaksono/Mojok.co)

Sementara barbershop identik dengan ruangan ber-AC, rapi, alat-alat pangkasnya lebih banyak dan, lebih mutakhir, memiliki kursi hidrolik yang bisa dibikin tinggi atau pendek, dan para tukang cukurnya tidak sekadar menjual jasa memendekkan rambut, tetapi juga keramas, pijat, serta paham berbagai macam gaya rambut anak-anak muda terkini.

Namun dengan segala perbedaan itu, apakah barbershop lantas lebih unggul ketimbang tempat pangkas yang relatif masih tradisional? Apakah tren barbershop mengancam eksistensi pangkas biasa? Pertanyaan-pertanyaan ini membuat saya terdorong untuk mengobrol sedikit dengan sejumlah pemangkas (barber) di Jogja seputar barbershop dan tempat cukur tradisional.

Saya lalu menyambangi Kompak, Rabu (19/1), yang beralamat di Kocoran, Caturtunggal, Depok, Sleman, dekat dengan Universitas Gadjah Mada. Kompak ini termasuk tempat pangkas legendaris yang konon sudah ada sejak 1997. Slogannya amat populer di kalangan mahasiswa: ‘Tempat Cukur Cowok Cerdas’. Waktu ke sana, saya ketemu dan mengobrol dengan salah satu tukang cukur seniornya yang bernama Waluyo (44).

Menurut lelaki asal Sleman itu, Kompak adalah tempat pangkas biasa, bukan barber, meskipun sama-sama hanya menerima pangkas rambut pria. Kalaupun ada perempuan yang pangkas di Kompak, biasanya itu memang perempuan yang sedang kepengin potong model pria.

Waluyo, tukang cukur di Kompak. (Akhyat Sulkhan/Mojok.co)

Waluyo memandang bahwa menjamurnya barbershop tidak lantas membuatnya lebih unggul atau mengancam eksistensi tempat-tempat cukur tradisional. Ia memiliki dua alasan terkait itu. Pertama, soal segmentasi pasar, kedua, terkait kualitas pangkas. Soal yang pertama, menurut Waluyo, karena barbershop cenderung menargetkan anak-anak muda, kalangan tua yang tidak nyaman dengan model rambut kekinian biasanya pun enggan pergi ke sana. Hal ini ia dengar sendiri dari sejumlah pelanggan tetapnya.

“Kalau di Jogja, banyak kasus orang tua masuk ke barber terus komplain karena potongannya kekinian semua. Saya banyak dengar dari konsumen. Mungkin mereka penginnya potong rapi formal buat instansi, makanya jadi komplain,” tutur Waluyo.

Kedua, soal kualitas, Kompak sendiri sebenarnya cenderung menargetkan pelajar atau mahasiswa. Namun seiring berlalunya waktu, imbuh Waluyo, ternyata banyak juga pelanggan yang orang tua dan anak-anak. Ia lantas berkesimpulan bahwa ramai atau tidaknya sebuah tempat pangkas lebih dipengaruhi oleh kualitas hasil pangkasnya. Alih-alih fasilitas, kualitas hasil pangkaslah yang justru akan membuat klien datang ke tempat pangkas itu, lagi dan lagi.

Perlengkapan pangkas rambut di Arfa Barbershop. (Galih Yoga Wicaksono/Mojok.co)

“Untuk kualitas hasil tetap tidak bisa dibohongi, Mas. Kalau persaingan tempat cukur biasa (tradisional) dengan barber saya kira enggak begitu masalah, karena punya segmen sendiri-sendiri. Paling ya kemudian pelanggan yang menilai di kualitas hasil potong,” demikian pungkas Waluyo.

Malamnya, saya mengobrol dengan Hasan Bisri (23) yang bekerja sebagai pemangkas di Arfa Barbershop, salah satu waralaba barber yang besar di Jogja. “Sebenarnya kalaupun papan nama barber diganti pangkas rambut saja enggak apa-apa juga. Barber kuwi kan bahasa lainnya tukang cukur kok, Mas,” ujarnya sambil tertawa. Tapi sayangnya Bisri lupa asal istilah barber tersebut berasal dari mana.

Sejarah panjang tukang cukur

Mengenai sejarah dan istilah barber, tentu sudah banyak media dan literatur yang membahasnya. Joe Briggs, misal, seorang tukang cukur di kawasan Illionis yang mengabadikan setengah abad perjalannya menekuni dunia perpangkasan dalam buku berjudul Shear Experience dan menerbitkannya pada 2018. Dalam buku tersebut, Joe Briggs mencatat bahwa barbershop termasuk salah satu jenis pekerjaan tertua di dunia. Kata barber sendiri mengacu pada bahasa Latin “barba” yang berarti jenggot.

Kegiatan memangkas jenggot ini konon berkembang di antara masyarakat Yunani, Roma, dan Mesir kuno sejak ribuan tahun silam. Menurut Briggs, dulu di Roma, orang-orang merdeka memangkas bersih jenggot mereka, sedangkan para budak diminta tetap memeliharanya. The Colonial Williamsburg Foundation, dalam The Wigmaker in Eigteenth-century (1959), juga mengulas sejarah cukur jenggot, dan mengatakan kalau para tukang cukur Roma sebenarnya mengikuti kolega-kolega mereka yang dari Yunani.

Arfa Barbershop nampak depan. (Galih Yoga Wicaksono/Mojok.co)

Masyarakat Yunani dulu tidak biasa merapikan jenggot sampai Alexander yang agung menyuruh para prajuritnya melakukan itu dengan dalih agar jenggot mereka tidak ditarik oleh musuh perang selagi melakukan pertempuran jarak dekat. Setelahnya, kemudian tonstrina (ruang cukur) di Yunani mulai mengembangkan pelayanan mencukur rambut dan jenggot, bahkan sampai pijat, serta operasi kecil-kecilan.

Dalam perkembangannya, selama berabad-abad, barbershop mengalami sejumlah pergeseran status. Misalnya, para pemangkas di abad pertengahan Eropa, dulu juga seorang ahli bedah, sehingga mereka tidak hanya bisa merapikan rambut serta jenggot, melainkan bisa pula melakukan operasi ringan dan cabut gigi. Jadi seorang barberman dulu sangatlah terhormat.

Namun kemudian, ketika profesi ahli bedah dan pemangkas dipisah sekitar tahun 1745, barbershop sempat menjadi tempat yang kurang prestise dan bahkan memiliki reputasi yang tidak sehat. Hal ini lantaran barbershop kemudian menjadi pusat berkumpulnya orang-orang nganggur yang gemar bergosip dan bikin gaduh. Di Eropa abad ke-20, bahkan barber pernah pula menyediakan jasa esek-esek.

Intinya, perjalanan barber sebagai ruang cukur bagi pria sudah sangat-sangat lama. Dalam konteks Indonesia, sebagaimana artikel berjudul Mengukur Sejarah Tukang Cukur yang dirilis Historia.id, barbershop sudah mulai ada sejak zaman Belanda masih menjajah. Umumnya, barbershop menempati tempat-tempat yang eksklusif, seperti hotel, dan pelanggannya kebanyakan para pejabat Belanda atau orang Eropa.

Sementara Orang-orang pribumi yang berkantong tipis lebih memilih cukur di tukang pangkas yang mangkal di bawah-bawah pohon. Budayawan cum akademisi Umar Kayam menyebut tukang cukur model ini dengan sebutan “cukur pitingan” atau “barber rakyat”.

Pada masa itu, barangkali barbershop dengan pangkas biasa tidak hanya merefleksikan perbedaan kelas, tetapi juga yang menjajah, dan terjajah. Meski demikian, agaknya, sisi eksklusifitas barbershop masih tetap terasa hingga sekarang.

Beda segmen, beda pelanggan

Kembali pada obrolan saya dengan Bisri. Mengenai perbedaan keduanya, Bisri berpendapat kalau status barbershop dan pangkas biasa hanya berbeda dari segi segmentasi pasar dan modal. Walau demikian Bisri mengakui bahwa, bila sebuah tempat pangkas menggunakan nama barbershop, secara umum masyarakat pasti mengharapkan tempat itu memiliki standar-standar keunggulan yang membedakannya dengan tempat pangkas tradisional. Pendeknya, sekarang barbershop juga dipandang sebagai tempat pangkas rambut yang lebih modern.

Selain soal interior serta fasilitas yang lebih eksklusif, barber juga, misalnya, harus  memiliki kapster-kapster (pemangkas dan penata rambut) yang up to date mengenai gaya serta perawatan rambut. Sehingga mereka pun tidak sebatas mahir merapikan rambut, tapi juga bisa mengeramasi, menyemir, bleaching, dan lain-lain. Bahkan tak jarang para kapster ini dituntut supaya bisa diajak konsultasi mengenai gaya rambut apa yang cocok dengan bentuk kepala pelanggan.

Hasan Bisri di Arfa Barbershop, Jalan Kenari, Muja Muju, Umbulharjo, Yogyakarta. (Galih Yoga Wicaksono/Mojok.co)

Tentu saja itu bukan perkara mudah, mengingat ada berbagai macam bentuk rambut dan kepala manusia.  Karenanya, untuk mengasah keterampilan pangkasnya, Bisri kerap menonton video-video seputar rambut di kanal Youtube seperti Haijoel, Hairnerds Studio, dan Rudiantoko 1320. Selain itu, pemuda berusia 23 tahun ini juga berusaha meningkatkan kemampuannya dengan mendengarkan masalah-masalah rambut para pelanggannya.

“Sekarang banyak barber juga mulai mengadopsi masalah-masalah yang dulu lebih banyak ditangani salon, Mas, seperti perkara kebotakan dan rambut rontok,” ujarnya. “Jadi dari segi pelayanan, barber sekarang bisa dibilang mengadopsi pangkas rambut (tradisional) dan salon yang dulu identik dengan tempat potong cewek.”

Saat ini, Bisri memandang bahwa perbedaan barbershop dan pangkas rambut tradisional relatif lebih cair. Soalnya, banyak tempat pangkas di daerah-daerah pinggir kota yang tidak menggunakan embel-embel barbershop, tapi sudah mulai meningkatkan pelayanan maupun fasilitas hampir setingkat barber.

Tempat-tempat pangkas biasa di pinggiran kota kini tidak hanya bisa cukur rapi ala bapak-bapak pegawai, tak sedikit dari mereka yang juga sanggup menyesuaikan gaya rambut sesuai permintaan pelanggan atau sesuai kecocokan bentuk kepalanya, dan kemudian melayani semir, keramas, pijat-pijat kecil. Beberapa pangkas biasa, lanjut Bisri, juga sudah memiliki ruangan ber-AC dan dibuat serapi barber. Dan, lagi, mereka mematok harga lebih terjangkau.

Sementara pangkas yang menggunakan nama barbershop tetap menyebar di daerah pusat-pusat kota dan umumnya menargetkan anak-anak muda kelas menengah ke atas. Harga yang dipatok barber pun relatif mahal, bisa 30-50 ribu sekali potong. Menyesuaikan segmentasi dan modal yang dikeluarkan investornya, tegas Bisri sekali lagi.

Namun demikian, ia memiliki pendapat yang sama dengan Waluyo mengenai itu. Yakni, terlepas dari perbedaan modal dan segmentasi pasar, kualitas potong tetap menjadi faktor utama apakah pelanggan merasa cocok, lantas kembali atau justru tidak.

“Ada pelanggan yang cocok dengan tukang pangkasnya, ada yang cocok dengan tempatnya. Kalau cocok sama tukang pangkasnya, biasanya pasti orangnya yang dicari terus. Walau dah pindah, pasti dicari pindah ke mana. Kalau cocok sama tempatnya, ya terus di situ siapa pun tukang pangkasnya,” tutur Bisri.

Pandangan serupa mengenai kualitas pangkas disampaikan oleh Muhammad Rais Kamal (25), pemuda asal Temanggung yang kini mengelola tempat pangkas rambutnya di sekitar Degolan, Sleman.

Muhammad Rais Kamal. (Galih Yoga Wicaksono/Mojok.co)

Kamal pada mulanya hendak membuka barbershop, dengan segmentasi pelajar, tapi karena modal belum cukup, akhirnya ia sementara membuka pangkas biasa lebih dulu sambil pelan-pelan menambah modal. Namun dengan keterampilannya, Kamal kini malah bisa menjangkau pelanggan dari berbagai kalangan.

“Enggak cuma kalangan pelajar, tapi orang-orang tua di sekitaran kampung juga banyak yang langganan ke sini, malah mereka yang sekarang mendominasi,” kata pemuda tersebut, lalu sembari bergurau ia menambahkan, “Saya mikir, wah ini kalau buka barber mungkin pelanggan saya yang orang tua jadi takut kalau mau masuk.”

Kamal pernah kerja di barbershop, setengah tahun di Temanggung, dan setengah tahunnya lagi di Bali. Sehingga ia pun memiliki skill atau, katakanlah, teknik cukur ala-ala barberman yang telaten. Jadi meski sekarang ia hanya memiliki tempat pangkas biasa, tapi gaya pangkasnya tetaplah barber. Kamal enggan seperti para pemangkas tradisional yang asal pakai clipper untuk memendekkan rambut orang dengan cepat seperti memotong rumput.

“Dengan kualitas hasil yang bagus, nanti pasti orang bakal promoin dari mulut ke mulut, Mas,” ia bilang. “Nah, biasanya kan orang lebih percaya rekomendasi temannya. Mas, juga begitu, kan?”

Papan nama tempat pangkas Kamal. (Galih Yoga WIcaksono/Mojok.co)

Salah satu tantangan terberat Kamal dalam menjalankan bisnis pangkas seorang diri, tentu saja adalah menangani pelanggan, apa lagi saat sedang ramai yang mengantri. Selain itu, sebagaimana bisnis jasa lain, tantangan berikutnya adalah menaikkan mood. Beruntung kalau ia ketemu pelanggan yang enak diajak ngobrol. Jika tidak, selama belasan menit ia mesti pandai-pandai mengatur suasana hati.

Mood pengaruh sekali, Mas. Karena bagaimanapun, pangkas rambut kan seni,” pungkasnya.

Sore itu, sambil memangkas rambut saya, Kamal menyarankan sejumlah gaya potongan yang cocok dengan wajah saya. Ia melakukan itu agar saya tidak merasa kecewa. Soalnya, di pangkas-pangkas rambut biasa, yang tukang cukurnya tidak paham kemauan pelanggan, sering terjadi misskomunikasi. Contoh, si pelanggan minta potong undercut, tapi si tukang pangkas malah membikin pendek seluruh rambutnya sampai bagian atas kepala.

Saya bilang, saya sering mengalami itu, dan kami tertawa.

Reporter : Akhyat Sulkhan
Editor : Purnawan Setyo Adi

BACA JUGA Penulis Zodiak Berbagi Rahasia Dapurnya, Mengarang Bebas hingga Dapat Pacar dan liputan menarik lainnya di Susul.

Exit mobile version