Trans Jogja dan Asa di Kota Wisata

Trans Jogja Asa di Kota Wisata

Trans Jogja pernah jadi harapan sebagai transportasi publik yang akan memecah kemacetan di Yogyakarta. Sebagai kota wisata, sistem transportasi yang tertata dan ramah pada penggunanya seharusnya tak bisa ditawar.

***

Semisal Jogja tidak lagi istimewa, saya ingin berada di dekat pacar saya dan memeluknya sembari menciumnya dengan khusyuk. Semisal asa sudah tidak kunjung ada di kota ini, yang ingin saya lakukan hanyalah melihat para wisatawan datang ke Jogja dengan mobil-mobilnya, menyesakki penjuru kota, dan membuat beberapa orang asli kota ini mengumpat karena kemacetan.

Dengan mencium sang kekasih, setidaknya saya masih berpikir masih ada sejumput harapan di Jogja walau kecil kemungkinannya. Ya, kecil. Sama kecilnya seperti UMR Jogja yang… Ah, maksud saya, sama seperti Trans Jogja yang terus mengitari kota Jogja, tanpa jeda, walau kecil kemungkinannya mengurai kemacetan di kota ini yang sudah merajalela.

Mojok.co mencoba bertanya kepada masyarakat pengguna Trans Jogja dan juga wisatawan perihal kepuasan mereka menggunakan transportasi massa ini.

Keramahan petugas loket amat menentukan kenyamanan

1 Mei 2021, Jogja bagian pinggir tampak padat pada pukul tujuh pagi. Dari arah Jalan Imogiri Timur menuju Terminal Giwangan guna menaiki Trans Jogja, ketika naik motor via Ring Road Gondowulung, saya sudah disapa oleh para pengamen yang matanya masih merah, suara sumbang, dan tentunya menunggu belas kasih para pengguna kendaraan yang terjebak lampu merah agar memasukan uang ke dalam wadah yang telah disiapkan.

Hadirnya para pengamen dan pengemis, seakan menambah semringah nan semarak Kota Jogja di pagi hari. Kesumringahan yang tak pernah dilantunkan oleh KLA Project atau Adhitia Sofyan. Hal-hal minor seperti ini tidak akan pernah masuk dalam narasi besar keistimewaannya akun-akun romantisasi centang biru itu.

Melaju perlahan menyebrangi Ring Road Selatan, saya masuk ke dalam Terminal Giwangan. Sedikit trauma menghampiri batin saya. Trauma yang hadir kembali lantaran saya pernah dimintai uang oleh salah satu calo “nakal” ketika sedang liputan “Calo Terminal: Lengang Mencari Penumpang”.

Terminal Giwangan, menurut penuturan salah satu calo, kini terbagi menjadi dua. Milik Pemprov dan Pemkot. Trans Jogja berada di kawasan milik Pemkot, di sisi Barat. Sedang bus-bus AKAP berada di sisi sebaliknya, yakni di kawasan Pemprov, sisi sebelah Timur.

Sambil menikmati mie instan seharga tujuh ribu rupiah di salah satu kios bagian bawah Blok E Terminal Giwangan, bersama pacar saya yang juga hendak meliput aksi demo Hari Buruh di Kilometer Nol, tak terasa jam sudah bergerak ke angka sembilan. Maklum, selain makan, banyak calo baik yang mendekat kepada kami, ada yang menawarkan jasanya, ada pula yang singgah hanya sekadar bercerita tentang aturan mudik yang mencekik mereka secara perlahan.

“Mau makan apa coba, Mas?” Begitu kata salah satu di antara calo itu. Dengan sebal-sebul rokok lintingan hasil cipta karya lengan-lengan terampil para calo, bumbungan asap terbang dan menghilang di udara, seperti harapan baju baru anak-anak mereka di hari raya.

“Lho, mas kenal para calo itu?” Begitu kata pacar saya. Diam adalah jawaban, lantaran selagi sesama proletar dan kelas pekerja, kami akan mengenal satu sama lain tanpa musti tahu nama dan latar belakang masing-masing.

Kami langsung masuk ke dalam halte Trans Jogja yang berada di bawah Blok E, Terminal Giwangan. Tak ada sapa ramah dari para petugas yang jumlahnya tiga banyaknya. Mereka duduk, sibuk ngobrol perihal banyak hal. “Kalau ke Taman Pintar, naik jalur bus apa, Bu?” tanya saya.

Petugas makin riuh bercanda satu sama lain. Saya ulang pertanyaan dengan nada yang lebih keras. Tatap mata petugas itu mendelik, dan jawaban singkat keluar dar mulutnya. “2A, nanti transit 3A di Jokteng,” begitu kata petugas dengan ramah dan melanjutkan gelak tawa bersama petugas lain—ini oksimoron, tentu saja.

Ketika saya duduk, ada seorang kakek tua mendekati petugas tiket yang jumlahnya tiga berjejer tadi. Ia bertanya rute, boro-boro membantu kakek itu berjalan, mereka hanya menjawab sekenanya. Padahal, kakek itu terlihat letih berjalan dengan tongkatnya, menyusuri halte yang riuh akan penumpang.

“Komunikasi itu amat perlu, apalagi petugas loket kepada para calon penumpang,” ujar Septi (23) ketika ditanya perihal kepuasan terhadap servis petugas loket. “Kan Trans Jogja ini banyak jalurnya, jadi ya mbok lebih perhatian. Apalagi ini Terminal Giwangan, saya yakin di sini adalah titik paling ramai. Banyak pengguna jasa yang bingung, tentu saja,” jelasnya.

Bagi Septi yang sudah hapal rute, tidak bertanya adalah pilihan wajib. Ia berdalih takut makan hati karena petugas yang cuek. “Mungkin petugasnya capek, ya. Atau ada alasan lain seperti ngerumpi. Tapi petugas loket di tempat lain baik banget, kok. Contohnya petugas loket di depan SDN Pujokusuman, mereka melayani dengan sopan banget walau hanya sendirian,” tuturnya.

Septi berpesan, “Kalau ada satu atau dua petugas di loket tertentu yang layanannya kurang—atau cenderung menyebalkan, jangan pukul rata dulu. Masih banyak petugas di halte yang baiknya kebangetan. Percaya sama saya.”

Mengapa wisatawan dan masyarakat Jogja tidak tertarik naik Trans Jogja?

Di dalam bus, tubuh saya bergerak mengikuti lajunya dengan nyaman. Nggak ada yang salah dengan kenyamanan Trans Jogja. Dingin, bangku cukup empuk, dan petugas bus yang memberikan intruksi halte dengan jelas, lantas kenapa para wisatawan atau masyarakat Jogja tidak bergantung kepada layanan jasa ini?

Penumpang tengah menunggu Trans Jogja. Foto oleh Gusti Aditya/Mojok.co
Penumpang tengah menunggu Trans Jogja. Foto oleh Gusti Aditya/Mojok.co

Lina (40), salah satu penumpang yang sama dengan saya, punya asumsi tersendiri, “Trans Jogja nyaman, adem, dan nggak bisa dimungkiri adalah bus yang masih baik dan terawat. Alasan masyarakat nggak memilih itu hanya satu; waktu.

Bagi Lina, waktu adalah kebutuhan masyarakat modern, masyarakat Jogja tidak terkecuali. “Manusia modern berpacu dengan waktu, sedang Trans Jogja nggak bisa memberikan jaminan itu,” katanya. Lina meneruskan, “Banyak titik macet di Jogja dan jalan di Jogja kebanyakan kecil-kecil, Trans Jogja pun nggak punya lajur khusus seperti Trans Jakarta.”

Dengan penuh semangat, Erwin (32) juga mengatakan hal yang serupa. Melempar kritik, Andri, salah satu pengguna jasa Trans Jogja berujar, “Ya, harusnya pemerintah daerah yang dipikiran jangan bagaimana mengajak wisatawan ke Jogja sebanyak-banyaknya melulu, dong. Tapi juga mikir bagaimana caranya memecah kemacetan dan membuat transportasi publik yang lebih menyeluruh.”

Andri mengatakan bahwa masalah transportasi di Jogja ini sudah pelik. Menurutnya, “Mahasiswa, ke Jogja. Wisatawan, ke Jogja. Pencari kerja dari kabupaten-kabupaten, ke Jogja. Ketika nggak ada transportasi massal yang memuaskan, semua berlomba pakai motor atau mobil. Ya, penuh sudah jalanan. Itu yang bikin Trans Jogja nggak tepat waktu. Pada dasarnya ya pemerintah daerah yang seakan melakukan gali lobang tutup lobang.”

Ketika dimintai pendapatnya perihal langkah tepat, Andri yang mengambil studi teknik ini menuturkan, Nrimo ing pandum saja. Tapi saestu, KTP-ku Jogja.”

Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh Pakar Transportasi Publik Masyarakat Transportasi Indonesia, Djoko Setijowarno. Menurutnya, kota seperti Yogya harus ada program yang tepat dengan angkutan umum. Trans Jogja yang ada saat ini tidak mempan, karena belum bisa menyeluruh.

Hal yang lebih membuat tawa, adalah penuturan salah satu wisatawan yang saya tanya ketika mentas di Kilometer Nol. Ditanya apakah tahu Trans Jogja adalah opsi untuk jalan-jalan dengan murah dan praktis, pemuda yang nggak mau disebut namanya ini berkata, “Jogja tercipta dari rindu, pulang, dan angkringan. Bukan Trans Jogja.”

Jawaban yang lebih serius diterangkan oleh Diana (28), ia mengungkapkan bahwa transportasi publik itu harus jelas. “Kapan datang, kapan sampai. Berapa menit lagi bus sampai, dan berapa menit jeda menuju bus selanjutnya. Terdengar berlebihan, tapi di kota yang melabeli diri sebagai kota wisata, aspek moda transportasi itu amat penting sekali.”

Diana juga mengungkapkan, “Gembar-gembor bahwa Jogja itu romantis, harusnya dipadukan dengan kenyataan melalui berbagai sektor, salah satunya moda transportasi massal. Aku paham loh, Jogja bukan hanya sekadar Tugu.”

Menikmati Jogja seharian dari dalam Trans Jogja

Jogja itu sejatinya nggak romantis-romantis amat, yang membuatnya berarti adalah dengan siapa ia menghabiskan waktu di kota ini, begitu ujar Lembayung (21). Menuju ke Utara dari Wirosaban menuju Lowanu, Lembayung tak henti-hentinya melihat jendela. Ia mengamati sudut demi sudut, bangunan demi bangunan. Ada pendar cahaya yang berlinang dari matanya. Sesekali ia tersenyum, lantas beradu dengan Jogja yang saat itu sedang berjuang menahan sinar matahari yang hendak karam digantikan oleh gelap.

“Saya bosan dengan konten-konten romantisasi Jogja. Terutama tempat hits yang benar-benar tidak menggambarkan realita,” katanya. Alfita berpendapat, seharunya pihak Trans Jogja membuat konten TikTok perihal seharian menikmati Jogja dengan menggunakan Trans Jogja. “Namanya juga TikTok, satu influencer membuat, semua bakal ikut-ikutan seperti domino berjejer yang berjatuhan,” katanya.

Lembayung yang juga merupakan pengguna TikTok itu menjelaskan bahwa akan ada dampak baik dari siasat memanfaatkan media sosial yang sedang nge-trend. “Semua muda-mudi akan berbondong-bondong naik Trans Jogja pada weekdays, lantas jalanan akan sedikit lengang. Trend ini akan sangat berguna kepada dua belah pihak. Baik para muda-mudi, maupun Jogja-nya itu sendiri. Jika pariwisata terus dipromosikan, mbok ya sekali-kali putar otak pada sisi transportasi. Asa kota wisata ya di Trans Jogja,” tutupnya.

Dari Jalan Kolonel Sugiyono, kami bergerak menuju Jalan Brigjen Katamso. Jogja bagian pesisir, diganti dengan pemandangan bangunan-bangunan Belanda yang kini alih fungsi menjadi toko-toko yang berjejeran. Mata Lembayung menyapu semua yang sedang tersaji di depan wajahnya. Baginya, Trans Jogja adalah tempat yang tenang untuk ngalamun. “Kalau rame, harus tetap waspada,” imbuhnya.

Di Kilometer Nol, menghadap arah Barat, seperti namanya, Lembayung, cahaya di Jogja kian redup digantikan oleh lampu-lampu jalanan yang masuk ke dalam bus. Matanya seperti tak lepas dan selalu awas atas setiap daerah yang Trans Jogja ini lewati. Jogja romantis atau tidak, itu bukan soal, bagi saya saat itu, menatap mata Lembayung seakan mengisyaratkan bahwa kota ini masih ada keindahan untuk sekadar menikmati di sore hari.

Masih ada harap, walau kecil harapannya. Untuk sekadar hidup, mungkin bisa. Namun untuk menjadi manusia, masalah mayor—selain ketimpangan—seperti transportasi harus menjadi sorotan utama.

Dengan melihat saya, membelakangi senja yang sedang berlangsung sepanjang Jalan Wates, melalui senyum paling manis, Lembayung berkata, “Saya sedang merapalkan mantra-mantra agar seisi Jogja penuh dengan kenang bersama orang yang saya cinta, Mas. Di dalam Trans Jogja, ya, setidaknya asa kota pariwisata itu masih menyala.”

Hari itu, ketika banyak narasi yang mengatakan bahwa Jogja hanya menyimpan luka bagi kaum urban dan hanya menyenangkan pihak-pihak tertentu saja, saya menemukan sedikit asa dari sorot mata seorang Lembayung. Bahwa harapan itu masih ada. Walau seperti lagu yang ditulis oleh Endah N Rhesa “Harapan” dan juga album milik Monita Tahalea “Dari Balik Jendela”. Ya, harapan dari balik jendela Trans Jogja.

BACA JUGA Kisah Sopir Jogja-Kaliurang yang Tak Lagi Punya Penumpang dan artikel SUSUL lainnya.

 

Exit mobile version