Tradisi Bubur Samin di Masjid Darussalam Solo dan Kisah Para Perantau dari Banjar

Proses pembuatan bubur samin di Masjid Darussalam Solo. (Novita Rahmawati/Mojok.co)

Bubur Samin merupakan makanan khas masyarakat Banjar. Namun, di Masjid Darussalam Solo, bubur ini menjadi sajian rutin setiap bulan Ramadan. Bagaimana ceritanya makanan khas Banjar nyasar hingga Solo?

***

Salah satu daya tarik bulan Ramadan di Kota Solo adalah berbuka dengan bubur samin khas Masjid Darussalam, Jayengan, Serengan, Solo. Makanan ini berasal dari Banjar, Kalimantan Selatan. Namun selama hampir 30 tahun Masjid Darussalam telah menyajikan bubur ini bagi masyarakat umum yang sedang melaksanakan puasa.

Setelah dua tahun warga tidak dapat menikmati bubur akibat pandemi Covid-19. Di tahun 2022 para mereka kembali bisa menikmati sajian istimewa ini. Masyarakat bisa menikmati secara cuma-cuma. Takmir masjid hanya meminta mereka membawa wadah masing-masing untuk diisi dengan bubur.

bubur samin mojok.co
Warga mengantre untuk bisa mendapatkan bubur samin di Masjid Darussalam Solo. (Novita Rahmawati/Mojok.co)

Masyarakat yang datang pun rela mengantre untuk dapat menikmati bubur samin. Sebelum azan Asar, antrean sudah mengular. Bahkan sering kali antrean ini sampai keluar masjid melewati gang depan menuju jalan Gatot Subroto.

Warga mengantre berjam-jam untuk menunggu bubur matang. Tak jarang mereka duduk di serambi masjid dan menikmati tontonan pembuatan bubur samin secara langsung. Mereka melihat para takmir masjid yang bergantian mengaduk bubur ini secara perlahan dalam sebuah panci besar.

Azan Asar menjadi penanda bahwa bubur ini matang dan siap dibagikan. Setelah salat selesai, para takmir memindahkan sebagian bubur ke dalam panci yang lebih kecil. Dengan centong besar, satu per satu warga yang mengantre menyorongkan wadahnya untuk diisi dengan bubur.

Bubur gurih kaya rempah

Salah satu warga yang ikut mengantre adalah Afni Duriyahtutu (37) warga Panularan, Solo. Ia mengaku hampir setiap Ramadan datang ke Masjid Darussalam untuk bisa berbuka puasa dengan bubur ini. “Keluarga saya semuanya suka, terutama anak saya. Makanya saya balik terus ke sini,” katanya.

Bermodalkan suka dengan cita rasa bubur yang cenderung asin gurih ini, ia rela menunggu berjam-jam untuk dapat serantang bubur samin. “Rasanya gurih, kalau di makan di badan rasanya hangat. Katanya banyak rempah-rempahnya,” ucapnya.

Warga lainnya yang rela mengantre untuk mendapat bubur ini adalah Sindu (65), warga Solo Baru, Sukoharjo. Ia belum pernah mencoba bubur ini, namun rela mengantre lebih dari dua jam untuk dapat menikmatinya. “Saya dikasih tahu teman, katanya buburnya enak dan sehat. Makanya saya pengin mencoba kemari. Kalau enak, mengantre lama juga nggak apa-apa,” katanya.

Pembuatan bubur samin di Masjid Darussalam Solo. (Novita Rahmawati/Mojok.co)

Tingginya antusias warga untuk menikmati bubur samin seiring dengan kerja keras dari para takmir yang membuatnya. Mereka sudah mulai menyiapkan bubur samin sejak pukul 10.00 WIB. Bahan-bahan disiapkan dan diracik satu per satu. Mulai dari beras, daging, sayur, minyak samin dan rempah-rempah, seperti kapulaga, jinten, cengkeh, dan jahe.

“Berasnya kami sediakan sekitar 40 kilogram. Untuk bahan-bahan lainnya disesuaikan,” kata Ketua Panitia Kegiatan Ramadan Masjid Darussalam, Nur Kholis.

Bubur dan bahan-bahan pendukung lainnya kemudian dimasak. Waktu memasaknya pun sudah pasti, yakni pukul 12.00 WIB usai Salat Duhur. Proses memasak bubur samin melibatkan lebih dari 5 orang takmir. Bubur samin yang dimasak dalam porsi besar harus selalu diaduk.

“Harus selalu diaduk biar tidak gosong di bagian bawah. Proses mengaduknya sekitar dua jam,” katanya.

Setelah matang, bubur ini kemudian dipisah menjadi dua bagian. Satu bagian disisihkan untuk berbuka puasa para jamaah di masjid, sisanya dibagikan pada masyarakat umum yang mengantre.

“Kalau yang disisihkan biasanya kami siapkan 300 porsi untuk jamaah masjid. Untuk yang dibagikan, bisa sampai 1.000 porsi,” kata pria yang juga merupakan Wakil Ketua Takmir Masjid Darussalam ini.

Para perantau dari Banjar

Pembuatan bubur samin sempat terhenti dua tahun akibat pandemi Covid-19. Tahun ini, setelah ada pelonggaran dari pemerintah, Takmir Masjid Darussalam memutuskan untuk membuat bubur kembali. “Tapi kami menerapkan protokol kesehatan juga. Selama di masjid warga harus pakai masker. Selain itu saya juga minta agar antreannya tertib,” ucap Nur Kholis.

Menilik sejarahnya, bubur samin dari Masjid Darussalam ini mulai dibagikan sudah tiga dekade belakangan. Menurut Ketua Takmir Masjid Darussalam Muhammad Rosyidi Muhdor, tradisi buka bersama di Masjid Darussalam ini sudah dimulai sejak masjid ini dibangun pada tahun 1985.

Sejak didirikan, masjid ini selalu mengadakan buka bersama. Namun dulunya, para jamaah membawa makanan masing-masing dari rumah. Biasanya masakan yang dibawa beragam, mulai dari soto banjar, masak kuning, masak abang, lepet, nasi samin, hingga bubur samin.

Setelah tahun 1985, atas inisiatif dari Anang Sya’roni yang merupakan pimpinan Takmir Masjid Darussalam kala itu, disepakati bahwa bubur samin menjadi makanan yang paling cocok untuk dibagikan. “Awalnya dulu hanya 15 kg saja. Tapi tiap tahun jumlahnya di tambah. Hingga tahun 2014 diputuskan 40 kg yang dimasak sampai saat ini,” ucap pria yang juga merupakan sesepuh di Kampung Jayengan ini.

Para takmir Masjid Darussalam Solo sedang membagikan bubur samin. (Novita Rahmawati/Mojok.co)

Jika menarik sejarahnya lebih jauh lagi, Kampung Jayengan sangat lekat dengan suku Banjar. Para perantau (orang Banjar) datang ke Solo sekitar tahun 1980-an. Mereka kebanyakan berprofesi sebagai perajin perhiasan. Secara turun temurun mereka hidup di Kampung Jayengan.

“Bahkan dulu ceritanya, mereka membeli tanah untuk masjid ini harganya sekitar Rp500 ribu rupiah. Kemudian masjid ini bisa dibangun,” katanya.

Saat ini kebanyakan donatur pembagian bubur samin ini berasal dari para keturunan orang Banjar. “Ada yang di Solo dan sekitarnya sampai ada yang di Singapura,” ucap Rosyidi.

Tradisi pembagian bubur samin terus dilestarikan oleh warga Kampung Jayengan. Bahkan saat ini ada paket wisata religi di kampung ini. Selain bubur samin yang menjadi daya pikat, kampung Jayengan tak bisa dipisahkan dari kerajinan permata.

“Sudah jadi Jayengan Kampung Permata, diresmikan Pemerintah Kota Solo tahun 2015 lalu,” kata Ketua Destinasi Wisata Kampung Jayengan, Yusuf Ahmad Alkatiri.

Wisata permata di Kampung Jayengan ini dikemas dengan cerita nenek moyang mereka yang merantau ke Solo. “Dulu kan para raja-raja kalau mengadakan acara butuh perhiasan. Saat itu nenek moyang kami diundang untuk membuatkan perhiasan. Sebab saat itu pembuat perhiasan paling maju ya dari Martapura,” ucap Yusuf.

Yusuf menceritakan, awal mula para perantau dari Banjar yang datang ke Solo ini hanya puluhan orang saja. Untuk membuat perhiasan dibutuhkan waktu yang tak singkat, padahal setiap tiga bulan sekali ada acara di lingkungan keraton. Sehingga mereka tidak bisa pulang. “Akhirnya para perantau yang kebanyakan pemuda ini banyak yang menikah dengan orang Jawa. Makanya di sini dikenal ada budaya Jarwa atau Banjar Jawa.”

Tak hanya itu saja, hubungan dengan etnis lain juga telah terjalin di Kampung Jayengan. “Nenek moyang kami ke Solo ini kan hanya membawa permata saja. Untuk membuat perhiasan juga butuh emas. Karena nggak punya modal, ya mereka kerjasama dengan orang Cina. Makanya ada juga budaya Jarwana di sini, Banjar Jawa Cina,” pungkas Yusuf.

Reporter: Novita Rahmawati
Editor: Purnawan Setyo Adi

BACA JUGA Masjid Pathok Negara Dongkelan dan Misteri Jago Wiring Kuning dan liputan menarik lainnya di Susul.

Exit mobile version