Toko Kecil dari Poris yang Menjaga Peradaban Tembakau

Toko Maestro dikenal sebagai agen tembakau besar di wilayah Jabodetabek. Namun, siapa sangka sebelum usahanya maju seperti sekarang, toko ini dijalankan karena ketidaksengajaan dari pasangan Agus dan Jumiati. Lantas bagaimana kisahnya? Berikut liputannya.

***

Jarum jam hampir menuju pukul 10.30 WIB. Sebuah toko seluas 5×8 meter mulai beroperasi. Seorang ibu berkerudung berdiri di teras sambil menata sejumlah tumpukan kardus dan karung yang berisi tembakau kering. Dari mulutnya terdengar untaian doa. “Bismillah semoga hari ini lancar, ya Allah.”

Ia adalah Jumiati (49), pemilik Toko Tembakau “Maestro”, Poris Gaga, Kota Tangerang, Banten. Setelah menata kardus, ia langsung berjalan menuju ruang etalase. Pagi itu ia sudah ditunggu seorang pelanggannya. Ia meraih kalkulator besar. Sambil mendengar jumlah barang yang dibeli pelanggan, ia cekatan memencet tombol kalkulatornya.

“Semuanya jadi Rp52.000,” kata Jumiati dengan dialek Jawa ngapak kepada pelangganya, Jumat (8/4/2022). Toko Maestro menjual berbagai produk tembakau. Seperti tembakau kemasan, tembakau ori, alat cetak rokok linting, kertas tembakau (papir), lem papir, dan filter.

Saban hari, toko yang berada di Jalan Maulana Hasanudin Nomor 5 itu ramai dikunjungi pelanggan. Bahkan sebelum toko buka, pelanggan sudah mengantre. Mereka berasal dari Jabodetabek yang datang menggunakan sepeda motor dan mobil pribadi.

“Yang datang ke sini kebanyakan dari Jabodetabek. Bahkan, orang dari Balaraja, Ragunan, sampai orang Karawang pada belanja di sini,” kata Jumiati dengan antusias sambil melayani pelanggan.

toko maestro mojok.co
Pelanggan mengantre di Toko Maestro. (Jonathan Alfrendi/Mojok.co)

Lokasi Toko Maestro cukup strategis. Ketika saya menyusurinya, lokasi toko berada di pinggir jalan besar. 5 meter ke arah utara merupakan Jalan Raya Daan Mogot—jalan penghubung Kota Tangerang dan Jakarta. Lalu, sekitar 850 meter ke selatan ada Stasiun Poris—tempat naik turun penumpang KA Lokal dan KRL. Karena letaknya, para pelanggan dari luar Tangerang bisa dengan mudah datang ke Toko Maestro.

Sementara itu, ketika saya berdiri di teras toko, aroma harum tembakau begitu semerbak. Melangkah ke dalam, suasana pengap begitu terasa. Itu karena toko yang tak seberapa besar ini penuh sesak oleh berbagai produk tembakau. Di teras, tumpukan karung putih besar berisi tembakau dibiarkan tergeletak. Dan sejumlah kardus rokok ukuran 12 yang berlakban berisi tembakau kemasan tersusun rapi.

Toko memiliki dua etalase. Etalase panjang dan pendek. Isinya produk tembakau dan turunannya. Etalase panjang dijaga dua perempuan muda, Devi (18) dan Hani (22). Mereka bertugas melayani pelanggan saat memilih barang. Di dekat mereka ada sebuah timbangan digital, spidol, dan dua kalkulator besar.

Di atas etalase panjang terdapat 26 toples besar berisi tembakau bubuk yang disusun membentuk segitiga. Masing-masing toples ditandai nama dengan spidol, seperti Marlboro, Mild WS, Kasturi, dan Dunhil. Sedangkan etalase pendek digunakan oleh Jumiati sebagai meja kasir sederhana. Perempuan asal Purwokerto ini ramah terhadap siapa saja yang datang ke tokonya.

Bisnis yang tidak disengaja

Saya berkesempatan bertamu ke rumah Jumiati di Desa Belendung, Kecamatan Benda, Kota Tangerang, Banten. Jaraknya sekitar 5 kilometer dari Toko Maestro. Rumahnya dikenal dengan sebutan bos tembakau. Benar saja, dengan mengendarai sepeda motor, saya dengan mudah menemui rumahnya. Pertemuan ini saya gunakan untuk berbincang lebih dalam ihwal usahanya.

Begitu tiba, saya langsung disambut oleh Agus Ananda (58) suami Jumiati. Jam dinding menunjukkan pukul 14.11 WIB saat kami mengobrol. “Awalnya, saya ikut-ikutan teman saja berjualan tembakau. Enggak disengaja.” ujar Agus membuka cerita.

Pada tahun 2000, Agus memiliki toko eceran tembakau di dekat tempat kerjanya dulu. Ia hanya menjual tembakau ori dan tembakau kemasan secara eceran. Sejak awal, nama tokonya Maestro. “Kenapa Maestro karena itu nama anak kedua saya. Maestro artinya besar. Saya juga berharap usaha saya ini besar,” ucapnya tersenyum bangga.

Agus Ananda saat ditemui di tempat kerjanya. (Jonathan Alfrendi/Mojok.co)

Agus menjalani usaha itu sebagai pekerjaan sampingan, karena ia dan Jumiati masih bekerja sebagai karyawan pabrik garmen di Jurumudi, Tangerang, sejak 1990-an. Pada tahun 2000, istrinya terkena PHK. Empat tahun berselang, giliran Agus terkena PHK. Kehilangan pekerjaan membuat mereka memutar otak mencari usaha lain. Saat itu, penjual tembakau masih bisa dihitung jari.

Medio tahun 2004, Agus mulai mengembangkan usaha tembakaunya. Ia memindahkan toko ecerannya itu ke Poris Gaga sampai saat ini. “Sewaktu itu kebetulan ada rumah kosong di Poris. Ya, saya sewa sampai sekarang.” kata Agus.

Tak disangka, toko tembakau miliknya berkembang pesat. Tembakau dan produk turunan yang dijualnya semakin bervariasi. Empat tahun kemudian, Toko Maestro berubah status menjadi agen tembakau di Tangerang Raya. Bahkan, berubah menjadi distributor tembakau dan produsen alat cetak rokok linting pada tahun 2019.

Kini, pasangan suami istri dengan tiga anak ini berbagi tugas. Jumiati menjaga Toko Maestro. Sedangkan Agus menjalankan produksi alat cetak rokok linting dari rumahnya.

Berdayakan tetangga

Agus menjadikan rumahnya tidak hanya untuk tempat tinggal. Ia juga memfungsikannya sebagai tempat produksi alat cetak rokok linting. Rumah seluas 300 meter itu dibagi dua sekat. Ruangan berukuran 100 meter untuk hunian keluarga. Sedangkan ruangan seluas 200 meter lagi untuk tempat produksi alat cetak rokok.

Ruangan alat cetak rokok terdiri dari 5 kamar yang digunakan sebagai tempat penyimpanan tembakau, alat cetak rokok, dan papir. Setiap kamar dipenuhi kardus besar berisi alat cetak rokok, kardus tembakau kemasan, tembakau ori, serta tumpukan kertas papir.

Tak bekerja sendirian, Agus dibantu 2 karyawan dan 2 supir untuk menjalankan produksi rumahan alat cetak rokok dan papir. Ciri khas alat cetak rokok milik Agus yaitu terdapat tulisan timbul Maestro sebagai merek. Setiap hari, mereka menurunkan barang dari truk kargo yang datang dari berbagai kota. Karyawan juga menempel ujung papir dengan lem pemanis dari gula buatan.

Dalam sehari, seorang karyawan bisa menempel papir sekitar 20 rim. Kertas papir itu ada yang warna putih dengan simbol merek tertentu. Ada papir putih polos. Ada papir hitam tanpa merek. Setelah diberi lem, papir dikeringkan. Lalu dikemas lagi dan dikirim ke toko tembakau yang ada di Jabodetabek.

Alat cetak rokok linting yang diproduksi Toko Maestro. (Jonathan Alfrendi/Mojok.co)

Sementara, alat cetak rokok didatangkan dari pabrik dalam bentuk barang setengah jadi. Beberapa hari sekali, Agus menerima puluhan kardus berisi alat cetak setengah jadi yang diantar kargo. Alat cetak rokok itu harus dirapikan lagi agar layak jual. Karena itu Agus memberdayakan tetangga untuk menyusun alat cetak rokok setengah jadi menjadi barang jadi.

Pria asal Jember ini mempekerjakan sekitar 20-25 kepala keluarga untuk bekerja borongan. Setiap keluarga biasanya mendapat satu dus berisi 1.000 pcs alat cetak rokok yang perlu disusun. Upah satu pcs sebesar Rp50. Jadi bila seorang warga mengerjakan satu dus, ia mendapat Rp 50.000.

Jelang sore, saya singgah ke beberapa rumah tetangga Agus. Sepanjang jalan terlihat sepi. Tapi, saya merasakan roda ekonomi sedang berputar. Hampir setiap rumah, para ibu duduk bersila menyusun alat cetak rokok. Ada yang kerja sendiri. Ada yang dibantu anaknya. Rata-rata mereka bisa menyelesaikan satu dus sekitar 3 jam. “Lumayan untuk bantu membeli kebutuhan sehari-hari,” kata Yuli (35) sambil menyeka keringatnya.

Jadi agen tembakau besar

Matahari bersinar terik siang itu. Walau demikian, para pelanggan tak henti-hentinya berdatangan ke Toko Maestro. Saya membuka catatan di ponsel. Rata-rata sekitar 15 pelanggan datang ke toko setiap jam.

Saking banyaknya pelanggan, Jumiati dan para pekerjanya hampir tak sempat berleha-leha. Jumiati juga harus melayani pelanggan yang memesan barang melalui ponselnya. Belum lagi, ia harus mengecek stok dan barang yang baru datang dari kargo. Selain dibantu dua pekerja perempuan, Jumiati juga dibantu dua pekerja laki-laki, Solihin (48) dan Ganda (52). Keduanya, bertugas sebagai jasa angkut barang kepada pelanggan.

Toko Maestro buka dari Senin–Sabtu pukul 10.00 sampai 17.30. Kadang, Jumiati harus menutup tokonya lebih lama karena melayani pelanggan. Jumiati menjual barang dagangannya secara eceran dan grosir. Tembakau yang dijualnya berasal dari berbagai daerah.

Tembakau ori berasal dari Temanggung, Kudus, Boyolali, Banjar, Purwokerto, Solo, Bondowoso, bahkan Aceh. Disebut tembakau ori karena berasal dari petani tanpa campur bahan lain. Warnanya biasanya kuning gading. Di toko, saya membeli seperempat tembakau Temanggung seharga Rp3.000. Sebagai orang bukan perokok yang baru mengenal dunia tembakau, saya menghirup dan mengecap tembakau yang baru dibeli. Rasanya aromatik dan terasa sekali di kerongkongan.

Sementara itu, Menurut Agus, tembakau ori dari daerah mana saja memiliki kualitas bagus. Semuanya tergantung selera konsumen. Harga satu kilonya bervariasi. Karena setiap daerah mempunyai level dan harga berbeda.

Teras di Toko Maestro yang penuh dengan produk tembakau. (Jonathan Alfrendi/Mojok.co)

Tembakau ori dari Temanggung dan Boyolali harganya antara Rp100.000-Rp180.000 per kilogram. Tembakau Gayo Rp180.000 per kilogram. Toko ini juga menjual tembakau Srintil KW Super seharga Rp2 juta per kilogram—setara dengan harga dua gram emas 24 karat. Lalu, tembakau Kayumas sekitar Rp600.000–Rp900.000 per kilogram.

“Tapi kalau orang biasa membeli tembakau linting yang murah. Yang penting bisa ngisep rokok,” kata Agus setengah bercanda.

Untuk tembakau kemasan berasal dari Bandung, Sumedang, Blitar, dan Kudus. Tembakau kemasan mengandung bahan campuran lain sehingga memiliki aneka rasa. Contohnya, Camlok, Dragonfly, Jago Rasa, dan Queen Bee.

Stok tembakau kemasan biasanya cepat ludes dalam hitungan minggu. Misalnya, stok Dragonfly datang sekitar 2 ton dengan truk ekspedisi dari pabrik setiap pekan. Kadang, tembakau kemasan diangkut menggunakan kereta api seperti tembakau Cap Tawon dan Cap Jago, masing-masing 3 kuintal dan 4 kuintal dalam sepekan.

Di Toko Maestro, kebanyakan pelanggan membeli tembakau dan produk turunannya secara grosir. Mereka biasanya adalah reseller atau penjual tembakau skala kecil. Rata-rata mereka datang seminggu sekali, dari berbagai daerah di Jabodetabek.

Salah satu pelanggan, Bori (39) asal Kosambi, Jakarta Barat, belanja setiap dua kali seminggu. Sekali belanja ia bisa mengeluarkan duit sekitar Rp1,5 juta. Di rumahnya, ia menjual tembakau grosiran. Setiap kali belanja, Bori membawa pulang banyak barang, yang ia ikat di jok depan sepeda motor revo tua miliknya.

Lain lagi cerita Rosyid (29). Lelaki asal Pondok Kacang, Tangerang, Banten, berjualan tembakau eceran di rumah. Hampir seminggu sekali, ia datang mengendarai motor matic selama lebih 60 menit. Ia sering belanja tembakau ori, tembakau kemasan, alat cetak rokok, papir, dan lem perekat. “Beli di sini karena harganya murah dan kualitas tembakaunya bagus,” ujarnya.

Hidupi Keluarga

Toko Maestro dikenal sebagai agen tembakau terbesar karena dua hal. Pertama, karena harga tembakau dan alat cetak rokoknya tergolong murah. Kualitas tembakaunya juga terjaga sejak dulu. Kedua, lokasi Toko Maestro yang strategis ikut mendorong banyak orang dari daerah datang membeli. Pembeli pemula biasanya datang untuk mengecek harga, mencicipi tembakau, tertarik, lalu menjadi pelanggan.

Menurut Agus, Toko Maestro sering kali mengirim tembakau dan alat cetak rokok dalam partai besar ke sejumlah pelanggan yang ada di berbagai daerah di Jawa dan Medan. “Satu pelanggan saja bisa membeli tembakau dan alat cetak rokok lebih dari Rp17 juta,” kata Agus sambil menunjukkan bukti kuitansi dari pembeli.

Ibu Jumiati (Tengah) bersama Devi (Kiri) sedang melayani pelanggan di Toko Maestro. (Jonathan Alfrendi/Mojok.co)

Anomali dengan usaha lainnya, pelanggan Toko Maestro justru meningkat saat pandemi. Pendapatan Agus dari penjualan tembakau di Toko Maestro cukup baik. “Dalam sehari, penjualan tembakau bisa mencapai 1 kuintal. Tergantung rezeki dari Allah,” ujar Agus.

Jumlah itu belum termasuk dari penjualan alat cetak rokok yang dikelola dari rumahnya. Dari usaha tembakaunya, Agus bisa menghidupi keluarganya. Ia mampu menyekolahkan tiga anak dan membayar cicilan sewa toko sebesar Rp20 juta setahun.

Festival Tembakau Nusantara

Reputasi Toko Maestro sebagai agen tembakau besar tak diragukan lagi. Dari toko kecil inilah peradaban tembakau dijaga. Tembakau dikirim ke ratusan pedagang sampai ke tangan para penikmat tembakau. Hingga Toko Maestro diundang sebagai peserta Festival Tembakau Nusantara 2022 yang diadakan Komunitas Tingwe Nusantara pada 5–6 Maret 2022 di Mangga Dua Square, Jakarta.

Festival ini dihadiri sejumlah penjual tembakau dari berbagai daerah di Indonesia. Selain tembakau, Agus  juga memamerkan alat cetak rokok Maesto di ajang tersebut. Tidak sedikit pengunjung yang kemudian memesan alat cetaknya. Bahkan sampai festival itu selesai, Agus masih sering dihubungi pelanggan yang memesan alat cetak rokok ke daerah.

Dengan reputasi besar semacam ini, rasanya tak ada alasan bagi Toko Maestro untuk tak dapat bertahan. Kecuali kalau mereka mengamini permasalahan klasik yang biasa menghinggapi bisnis keluarga: regenerasi. “Harapannya, usaha saya ini dijalankan oleh ketiga anak saya sebagai penerus,” ujar Agus.

Reporter: Jonathan Alfrendi
Editor: Purnawan Setyo Adi

BACA JUGA  Mantan Penghuni Lapas Bercerita Bagaimana Rokok Menjadi Mata Uang di Penjara dan liputan menarik lainnya di Susul.

Exit mobile version