Tobeko dan Anak Muda yang Memilih Melinting Tembakau Sendiri

Kehadiran Tobeko Cigarette Shop membuat tren tingwe semakin berkembang. Kini anak-anak muda tak lagi malu melinting tembakau. Harga rokok pabrikan yang meroket jadi salah satu sebab tingwe kembali dilirik.

***

Sudah satu bulan ini saya aktif melinting tembakau sendiri. Hampir tanpa jeda. Sejak awal kuliah, sekitar akhir tahun 2017, saya memang suka melinting tembakau. Biasanya saya membeli tembakau di Tobeko Cigarette Shop, Nologaten, yang terletak tak jauh dari kampus saya.

Tembakau favorit saya bermerek Bunga Matahari yang dibanderol Rp5.000 atau tembakau origin Darmawangi Super seharga Rp13.000 per setengah ons. Kedua jenis tembakau itu biasanya bisa saya habiskan dalam rentang 4-7 hari untuk setiap 50 gramnya.

Etalase Tobeko Cigarettes Shop mojok.co
Etalase dan rak pajang rokok, tembakau, dan cerutu di Tobeko. (Sidra Muntaha/Mojok.co)

Akhir Desember 2021, menjelang tahun baru saya kembali mendatangi Tobeko. Ia adalah toko yang menjual segala macam jenis tembakau, merek rokok, dan cerutu. Mereka juga menjual berbagai perkakas seperti kertas, pipa dan kaleng rokok, asbak, cangklong, korek zippo, dan sebagainya.

Saya masuk ke dalam toko melihat tiga pegawai di kasir yang sedang melayani pembeli. Saat itu cukup ramai. Salah satu pegawai dengan sigap bertanya ke saya, “Beli apa, Mas?”

“Darmawangi Super,” kata saya.

“Mau berapa banyak? Kami jual 13 ribu per setengah…”

“Saya beli dua ons,” jawab saya setengah meyakinkan dan agak murung.

Saya mengeluarkan selembar uang Rp. 50.000 untuk dua ons Darmawangi Super. Pegawai lantas mengambilkan tiga kepalan tangan tembakau dan memasukkannya ke dalam plastik bening berukuran sekira 30 x 50 cm. Nyaris penuh.

Tak seperti biasanya, hari itu saya sengaja beli lebih banyak. Saya berniat menahan diri untuk membeli rokok pabrikan arus utama yang kian mahal dan menghisap rokok lintingan sendiri setiap hari.

Rasanya menyedihkan, meski sebetulnya saya tipe perokok yang bisa menghisap rokok jenis apapun. Sebab hari itu ada fakta tak terbantahkan: pilihan rokok dan tembakau saya ditentukan oleh harga dan tebal dompet.

Usai menyelesaikan transaksi, saya keluar dari toko dan berpikir, “Gini amat ya jadi perokok.”

Ambisi Tobeko dan tren tingwe di kalangan anak muda

Pembukaan di atas sebetulnya semacam keluhan ketika awal kali saya memutuskan membeli tembakau lebih banyak dan merelakan diri untuk menyiasati uang bulanan. Memang, sejak pandemi melanda banyak orang beralih menghisap rokok pabrikan yang lebih murah, terutama ketika harga rokok terus naik.

Selain menghisap rokok murah pabrikan, banyak kalangan kini memilih untuk ngelinthing dhewe (tingwe). Tren tingwe ini bahkan menjadi kian populer di kalangan anak muda masa kini. Anang Budi Nugroho (50), owner Tobeko Cigarette Shop, mengiyakan hal tersebut. Ia juga mendaku Tobeko berikut lima outlet yang tersebar di Jogja dan satu di Solo adalah salah satu toko yang memopulerkan tembakau di kalangan anak muda.

“Toko tembakau lain memang ada yang lebih tua, tapi segmennya terbatas. Tobeko populernya di kalangan muda,” ujar Anang.

Anang Budi Nugroho saat ditemui Mojok di ruangannya. (Sidra Muntaha/Mojok.co)

Dua anak muda yang aktif membeli tembakau bernama Giyaz Al-Aziis Prayitno (19) dan Adam Muhammad Al Ghifari (19). Mereka adalah mahasiswa yang mengenal tembakau dari organisasi kampus.

Giyaz pada mulanya hanya aktif mengonsumsi rokok pabrikan. Secara bertahap ia mengonsumsi rokok, pada mulanya, dari yang paling ringan seperti Esse lalu pindah ke agak berat seperti Gudang Garam Surya, Gudang Garam Filter dan sejenisnya. Terakhir, ia mengonsumsi rokok kretek seperti Sampoerna Kretek sebelum akhirnya menjajal tradisi tingwe usai dikenalkan teman-temanya di organisasi kampus.

Bagi Giyaz dan teman-temannya, tembakau bukan sekadar barang substitusi. Tembakau sudah menjadi gaya hidup. Tembakau, buat mereka, bahkan lebih cocok buat ngumpul ramai-ramai karena lebih awet.

“Waktu awal-awal sukanya tembakau Temanggung atau yang ada rasa-rasanya. Sering nyoba yang lain juga” terang Giyaz. “Berhubung kosanku dekat Tobeko, aku juga sering eksplor jenis-jenis rokok dan tembakau di sana.”

Begitulah kegemaran Giyaz, berburu rokok baru. Tiap datang ke Tobeko, ia selalu menanyakan rokok-rokok yang baru rilis dan mencoba setiap sampelnya. “Enaknya Tobeko, tuh, gitu. Selain bisa nyoba tembakau, mereka juga sediain sampel rokok yang baru keluar,” jelas Giyaz.

Menurut pengakuan Giyaz, Tobeko cukup cepat merespons rokok keluaran baru. Giyaz, sebagai pengikut akun Instagram resmi Rokok Indonesia (Roki), kerap mendapati Tobeko menyediakan rokok keluaran baru, tak lama setelah diunggah dan dipromosikan Instagram Roki.

Serupa dengan Giyaz, Adam juga melalui pengalaman yang sama. Ia mulai menyukai tembakau karena dikenalkan teman dari organisasi. Ia juga akrab dengan tembakau, dengan Tobeko, dengan cara yang sama seperti Giyaz.

Tobeko bisa dibilang sukses bila kita merujuk harapan awal Anang ketika pertama kali mendirikannya pada Juli 2015: menyediakan rokok dari yang mainstream hingga yang langka di pasaran, termasuk yang baru keluar.

Rokok langka yang dipajang di Tobeko. (Sidra Muntaha/Mojok.co)

Anang sendiri mengaku gemar mengoleksi rokok. Ia berambisi menyediakan segala jenis rokok dari setiap daerah di Indoneisa. Dan ia juga pengin Tobeko dapat memajang dan menjual segala jenis produk turunan tembakau.

“Nggak mesti terjual, nggak mesti orang datang beli, tapi yang penting orang datang terpuaskan ketika masuk dan lihat-lihat,” harap Anang.

Kecintaan Anang terhadap dunia kebal-kebul memang bukan sekadar isapan jempol. Kegemaran itu dapat terlihat ketika saya memasuki ruangannya. Saat itu Kamis (20/1). Anang menyambut saya dengan gayanya yang kasual, mengenakan kaos hitam dan celana jeans.

Sebelum mulai mengobrol, Anang membakar Surya Pro merah dan mengebulkan asap. Ia mulai bicara dari meja kerja yang di atasnya tertata berbagai barang dengan rapi: tempat alat tulis, meja, dokumen, kaktus dan–paling mencolok–beberapa korek serta beberapa bungkus rokok. Di belakangnya, terpacak rak yang diisi berbagai aksesoris perokok dengan merek Tobeko, mulai dari tempat rokok, wadah tembakau, hingga asbak.

Melihat Anang dan Tobeko dengan segala ‘gimik’-nya, saya takjub. Tembakau, dengan segala pengetahuan di dalamnya, terlihat sangat bergaya di toko ini.

Tiap memasuki Tobeko, saya selalu disambut dengan suasana khas. Wangi tembakau yang kuat dan segar menguar memenuhi seisi ruangan. Kebanyakan pengunjung yang saya temui masih muda. Sebagian dari mereka terlihat belum familiar dengan tradisi tingwe, dan belajar melinting di sana, bersama para pegawai Tobeko.

Menurut penuturan Anang, memang seperti itulah SOP pegawai Tobeko. Para pegawai itu, tak hanya bertugas menyelesaikan transaksi, juga wajib melayani pembeli dengan segala jenis tabiatnya. Kalau mereka memang belum familiar dengan tingwe, pegawai Tobeko dengan sabar menjelaskan dan mengajari calon pembeli itu cara melinting tembakau.

“Waktu awal-awal Tobeko berdiri, satu tahun pertama, kami malah lebih mirip komunitas,” kata Anang. “Pelan-pelan setelah itu, jadi banyak pelanggan. Kita kenalkan juga bahwa melinting itu nggak cuma tradisi orang tua. Melinting juga bisa jadi gaya hidup anak muda, dengan tembakau premium, kertas premium, alat linting premium.”

Pilihan buat perokok

Tren tingwe, kendati semakin populer, bukan berarti tak mengalami pasang-surut. Menurut Anang, tren tingwe berbanding lurus dengan daya beli masyarakat. Semisal, ketika pandemi, tingwe menjadi populer. Namun, bila daya beli masyarakat membaik, toko tembakau, tidak menutup kemungkinan, akan kembali sepi.

“Saya sudah hafal betul,” pendek Anang, meyakinkan.

Namun, di tengah pasang surut tren tingwe, tentu ada pelanggan setia seperti Giyaz dan Adam. Ada pula pembeli yang silih berganti mendatangi Tobeko dan mengeksplorasi berbagai jenis tembakau.

Di tengah ragam tipe pembeli itu juga, Anang berkata tembakau rasa pabrikan seperti Djarum, Dji Sam Soe, atau Sampoerna Mild, konsisten memuncaki klasemen pasar Tobeko.

Ini mungkin bisa jadi semacam tips. Pegiat dunia kebal-kebul yang kerap mengonsumsi rokok pabrikan tentu cenderung pengin mencicip tembakau dengan rasa yang tak jauh beda. Karena itu, tembakau rasa pabrikan seperti di atas dapat menjadi pilihan.

Sampel tembakau untuk pembeli di Tobeko. (Sidra Muntaha/Mojok.co)

Meskipun, rasa rokok pabrikan dengan tembakau rasa pabrikan yang dilinting sendiri tak bakal sama persis. Sebab, komposisi dan cara melintingnya tak serupa.

Tembakau pabrikan dengan merek khusus juga tak kalah laris. Anang menyatakan tembakau ini berada di urutan kedua terlaris di Tobeko, sambil menyebut beberapa merek yang populer seperti, “Violin, Rhino dan semacamnya.”

Di urutan ketiga, ada tembakau origin yang dinamai berdasarkan nama daerah asalnya. Sebut saja, Gayo, Darmawangi, atau Kasturi.

Selain ketiga itu, ada tembakau jenis lain, yaitu tembakau yang diberi saus atau perasa semisal cappuccino, madu, dan lain sebagainya. Kendati demikian, tembakau jenis ini tak terlalu laris.

“Soalnya tembakau rasa itu pilihannya terlalu banyak. Pelanggan digempur banyak pilihan jadi jenuh juga,” terang Anang.

Sementara, saya sendiri sudah hampir menghabiskan empat ons Darmawangi Super seharga Rp100.000 selama sebulan. Nyaris konsisten bila tak diselingi lima pak rokok lain: dua bungkus Gudang Garam Filter, dua Gudang Baru, dan sebungkus Sampoerna Mild isi 16.

Lima pak itu, kalau dikonversi jadi rupiah sebesar Rp91.000—hampir sama dengan empat ons Darmawangi Super. Semua rokok pabrikan ini saya beli karena saya lupa membawa tembakau ketika bepergian.

Memang, sih, rokok pabrikan lebih enak—paling tidak menurut saya. Tapi apapun rokoknya, itu semua pilihan. Perokok punya selera, biar tarif cukai yang mengatur.

Reporter : Sidratul Muntaha
Editor : Purnawan Setyo Adi

BACA JUGA Satu Tingwe, Banyak Mbakonya dan liputan menarik lainnya di Susul.

Exit mobile version