Tangis Buruh Gendong Pasar Giwangan di Antara Berat Pikulan Keranjang

Ilustrasi buruh gendong yang kuat meski memikul beban berat (Ega Fansuri/Mojok.co)

Buruh gendong di Pasar Giwangan hidup di tengah keterbatasan. Seorang buruh sampai menitikan air mata saat mengingat beban yang harus dipikul setiap hari demi keluarga.

***

Seorang perempuan paruh baya berjalan sambil memanggul keranjang di punggungnya. Keranjang dengan muatan buah semangka dengan ukuran cukup besar. Ia melangkah pelan dari dalam bangunan pasar menuju sebuah mobil bak terbuka di parkiran.

Usai meletakkan keranjang berisi semangka tersebut. Perempuan buruh gendong segera kembali ke dalam. Lalu dalam sekejap sudah kembali mengangkat kardus berisi mangga menuju mobil yang sama.

Selepas itu, seorang lelaki menyerahkan beberapa lembar uang. Buruh gendong itu lalu sedikit mengangguk, mulutnya tampak mengucap terima kasih lalu kembali melenggang ke dalam los pasar.

Pemandangan itu terlihat saat saya sedang duduk di sebuah angkringan di Pasar Giwangan, Umbulharjo, Kota Yogyakarta. Di tempat buah dan sayur dari berbagai daerah terdistribusi ke segala penjuru Jogja ini para buruh gendong mencari rezeki. Sebagian dari mereka merupakan perempuan paruh baya yang sudah punya cucu. Sehingga di tempat ini mereka biasa disapa “Mbok Gendong”.

Dari angkringan saya lalu melangkah ke dalam melihat kesibukan para buruh gendong yang sedang menunggu panggilan dari para pemborong buah-buahan. Jumlah mereka dari amatan saya sekitar belasan orang. Namun, data dari Dinas Perdagangan DIY menyebut jumlah buruh gendong di Pasar Giwangan mencapai 134 orang.

Mereka tampak akrab dengan juragan buah di pasar. Bagaimana tidak, puluhan tahun mereka telah hidup saling berdampingan.

Tangis buruh gendong sembari tersandar di peti buah

Di antara para buruh itu, saya kemudian berbincang dengan sosok Ruminem (55) dan Ngatini (50). Keduanya sama-sama berasal dari Lendah, Kulon Progo.

Ruminem pulang ke Kulon Progo tiga hari sekali. Menaiki Bus Mulyo Jurusan Jogja-Purworejo yang melewati daerahnya. Saat tidak pulang ia tidur di sekitar pasar.

“Di sana alasnya pakai peti buah ini dijejer seperti dipan,” ujarnya seraya menunjuk sudut los pasar.

Ada beberapa buruh gendong yang kerap bermalam di emperan los pasar. Selain itu, ada yang memutuskan mengontrak rumah bersama-sama agar biayanya ringan. Kebanyakan di antara mereka berasal dari Kulon Progo.

Pasar sudah jadi bagian tak terpisahkan dari ibu lima anak ini. Dulu, sebelum Pasar Giwangan resmi beroperasi pada 2005, ia sudah menjadi buruh di pasar buah dekat Pasar Beringharjo. Ruminem hijrah setelah pasar itu mengalami relokasi ke tempat ia berdiri saat ini.

Ada kisah pilu tentang awal mula ia mulai menjadi buruh gendong di pasar. Ruminem, mulanya seorang ibu rumah tangga yang merawat anak-anaknya. Sekitar tahun 2000, saat anak kelimanya berusia setahun ia harus ikut bekerja.

Ia masih ingat momen-momen itu. Suatu hari, uang Rp20 ribu yang suaminya beri tidak cukup untuk membeli kebutuhan rumah tangga.

“Uangnya sudah habis, sabun untuk cuci baju belum terbeli,” kenangnya.

Ruminem lantas bercerita kepada suaminya bahwa uang itu belum mencukupi. Suaminya hanya buruh serabutan di desa. Namun, bentakan justru ia dapat dari lelaki itu.

buruh gendong.MOJOK.CO
Sosok Ruminem, buruh gendong di Pasar Giwangan (Hammam Izzuddin/Mojok.co)

Nada suara Ruminem jadi berat saat menceritakan penggalan kisah hidupnya itu. Matanya memerah menyiratkan berat kenangan yang sudah terlewati lebih dari dua dekade silam.

“Saat itu saya nggak kuat dengan bentakan dan omongan kasar suami. Saya ingin buktikan bisa cari uang sendiri,” ujarnya bergetar. Air menetes dari pelupuk matanya. Ia menunduk, mengusap wajah, tak ingin terlihat lemah.

Jalani beratnya hidup demi anak

Akhirnya, ia memutuskan berangkat ke Pasar Shoping samping Beringharjo untuk mengadu nasib menjadi buruh gendong. Keputusan yang berat. Sebab, ia harus meninggalkan anaknya yang belum bisa bicara.

“Di Shoping saya tiga hari nggak makan. Saya saat itu juga sedang masa menyusui, di pasar ASI mengucur terus,” ungkapnya.

Masa awal menjadi buruh terbilang berat. Setiap pulang ke rumah, Ruminem tak ingin berhenti memeluk dan menimang anak yang kemudian ia titipkan di rumah orang tuanya.

Saat anaknya beranjak tumbuh, saat pulang sesekali ia membawakan baju baru. Riang sang anak saat Ruminem sampai rumah jadi pelipur berat setelah berhari-hari berpisah dan menghadapi lelahnya pekerjaan fisik di pasar.

Setiap hari, sejak subuh hingga jelang sore hari Ruminem bersama para buruh gendong lain siap sedia di sekitar los-los buah. Menanti panggilan untuk membantu memikul belanjaan dari para pembeli.

Saat ini, sekali membantu menggendong belanjaan ia mendapat upah Rp5 ribu. Terkadang, ada yang memberi upah di bawah itu, tapi para buruh tetap mencoba bernegosiasi.

Deretan penjual buah di Pasar Giwangan (Hammam Izzuddin/Mojok.co)

Orang yang berbelanja di pasar mungkin banyak. Namun, barang bawaan harus dibagi kepada para buruh yang jumlahnya juga tidak sedikit.

Bersyukur buruh gendong bisa sekolahkan anak hingga SMA

Sehari Ruminem mengaku bisa mengantongi Rp30-50 ribu. Terkadang lebih tapi tak jarang juga kurang dari itu.

“Nggak menentu. Apalagi pas corona dulu. Sepi sekali,” keluhnya.

Namun, Ruminem bersyukur karena pekerjaan ini bisa membuatnya menyekolahkan anak ketiga, keempat, dan kelima sampai jenjang SMA. Dua anak pertamanya, tidak sampai lulus SD karena keterbatasan.

Sekarang perempuan ini juga sudah punya cucu. Usianya sudah semakin tua. Namun, ia belum ingin berhenti bekerja.

Ngatini, perempuan lain yang sedari tadi menyimak, akhirnya ikut bercerita. Kedua buruh gendong ini masih terbilang kerabat di kampung. Sering pulang bersama menaiki bus.

Sebelumnya, Ruminem mengaku beruntung karena selama menjadi buruh gendong tidak pernah mengalami cedera serius. Lain cerita dengan Ngatini yang pernah keseleo saat memikul peti berisi jambu.

“Dulu mikul jambu, saat mau menaikkan ke atas mobil saya malah menggelimpang. Boyoke ora kuat,” ujarnya.

Punggungnya seperti terkilir. Namun, Ngatini memutuskan tetap bekerja keesokan harinya. Alhasil kondisinya semakin parah dan ia memutuskan pulang. Saat pulang ke rumah ia baru memijatkan punggungnya ke tukang urut.

Pada waktu itu ia harus beristirahat selama sepekan sebelum akhirnya berangkat lagi ke Pasar Giwangan. Saat mulai bekerja, punggungnya belum pulih sepenuhnya.

“Ya tapi syukur lama-lama jadi mendingan,” tuturnya.

Dapat layanan kesehatan rutin

Selain terkilir, para buruh gendong sering mengalami sakit di kaki. Ngatini mengaku kakinya kerap kaku hingga sulit menekuk. Baginya hal itu sudah jadi risiko dari pekerjaan yang harus ia rasakan.

“Kakinya yang sakit tapi rasanya badan jadi nggak enak semua kalau lagi seperti itu,” keluhnya.

Beruntungnya, para buruh gendong mendapat layanan kesehatan rutin setiap bulan dari beberapa lembaga. Saat ada petugas yang datang Ruminen, Ngatini, dan rekan-rekannya bisa menyampaikan keluhan seputar kesehatan. Mulai dari pengecekan gula darah hingga asam urat.

Ngatinini sedang memindahkan peti dari pikulannya ke mobil (Hammam Izzuddin/Mojok.co)

 

Kami tidak bisa berlama-lama berbincang, sebab para buruh gendong kembali mendapat panggilan untuk memikul belanjaan. Ngatini bergegegas mengangkat sebuah peti berisi jeruk menuju mobil bak terbuka. Buah itu hendak dibawa ke Imogiri, Bantul.

Sudah berat-berat membawa, setibanya di mobil, sopir tidak tampak batang hidungnya. Ngatini pun mengeluh sambil membungkuk, “Walah.. ndi ki sopire.”

Orang-orang di sekitarnya lalu berteriak memanggil sopir tersebut. Tak berselang lama, sopir itu keluar dari toilet. Berlari sambil membenakkan resleting celana yang belum tertutup sempurna. Ia langsung melompat ke bak mobil dan menerima memindahkan peti dari punggung Ngatini.

Selepas mendapat upah, Ngatini langsung menyusul Ruminem yang sudah berada di pojok los. Di sekitar peti yang tertata dan bertumpuk mengelilingi. Seperti bilik kamar namun jauh dari kata layak. Di sanalah mereka beristirahat.

Penulis : Hammam Izzuddin
Editor  : Agung Purwandono

BACA JUGA Buruh Gendong, Kartini Pasar Beringharjo yang Jariknya Sobek Setiap 5 Bulan

Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News

 

Exit mobile version