Menyambut Prapaskah, bulan Maret hingga April 2022, Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus (HKTY), Ganjuran, Bantul lebih ramai dari biasanya. Di tempat ini, terdapat tempat ziarah bagi umat Katolik, berupa sebuah candi yang di dalamnya terdapat arca Yesus dalam balutan busana dan mahkota sebagai Raja Jawa.
***
Minggu (06/03/2022), setelah selesai melaksanakan ibadah pagi, saya bertandang ke selatan Yogyakarta. Tepatnya sekitar 20 kilometer dari pusat Kota Yogya di di Dusun Ganjuran, Desa Sumbermulyo, Bambanglipuro, Bantul.
Tujuan berkunjung ke Ganjuran adalah untuk berziarah di gereja dan Candi HKTY. Pasalnya, sejak 2 Maret 2022 hingga 14 April 2022, umat Kristiani memasuki masa Prapaskah atau masa tirakat menjelang Paskah. Dilansir dari Katolisitas.org, Paskah merupakan peringatan kebangkitan Yesus Kristus yang sudah dirayakan gereja sejak abad awal.
Karena itu, di masa menjelang Paskah ini, orang berusaha mempersiapkan diri melalui doa, matiraga, pertobatan, amal kasih, hidup sederhana, dan penyangkalan diri. Biasanya, wujud nyata umat Kristiani dilakukan dengan berderma, retret, puasa, dan berziarah.
Ciri khas dari masa Prapaskah adalah prosesi jalan salib yang muncul dan diperkenalkan Biarawan Ordo Fransiskan pada abad ke-14. Melalui Jalan Salib, umat Kristiani diajak merenungkan kisah sengsara Yesus. “Biasanya setiap hari Jumat selama masa Prapaskah, di Gereja dan Candi Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran dilaksanakan jalan salib dan ditutup dengan drama visualisasi,” ungkap Mardi (68), salah seorang pedagang yang ada di depan geraja. Namun, setelah dikonfirmasi, selama Pandemi Covid-19 digantikan renungan Aksi Puasa Pembangunan untuk Orang Muda Katolik.
Melihat Yesus dalam balutan busana Raja Jawa
Saya melangkahkan kaki membaur dengan para peziarah lain. Suasana hening dan tenang menyergap. Pun dengan kesan sejuk dan rindang dari tajuk pohon pinus. Membawa suasana magis di lingkungan gereja dan candi sangat terasa.
Sembari duduk di sebuah pendopo, saya berbincang dengan seorang Abdi Tyas Dalem HKTY, beliau adalah Mbah Gito (71). Menurutnya, candi ini dibangun dengan tinggi 9 meter dan menghadap laut selatan.
Dari filosofi Jawa, Candi HKTY Ganjuran ini memiliki tiga bagian. Paling bawah adalah Burloka (Dunia dosa), merupakan tempat manusia di dunia yang setiap langkahnya dapat bersinggungan dengan dosa. Bagian kedua adalah Buarloka (Dunia penyucian), merupakan tempat untuk menyucikan diri. Paling atas adalah Suarloka (Surga), merupakan tempat Tuhan bertahta.
“Jika akan menuju Suarloka, harus menaiki sembilan anak tangga, nutup babahan hawa sanga, yang berarti ketika sembilan lubang manusia ditutup maka ia akan suci dan mati,” ungkap Gito yang sehari-hari bertugas menceritakan sejarah kepada para peziarah.
Setelah melepas alas kaki, saya mencoba masuk ke bagian paling atas candi. Di dalam Candi HKTY inilah, mata saya terpaku melihat sebuah arca Yesus dalam balutan busana adat Raja Jawa sedang duduk di singgasana. Di kepala, terpasang mahkota raja. Rambut yang panjang ditata rapi serupa pendeta Hindu Kuno.
Tangan kiri menyibakkan jubah, sedangkan tangan kanan menunjuk hati yang kudus. Kedua telapak kaki menginjak sekuntum bunga teratai yang sedang mekar utuh sebagai tanda kemurnian, kesucian, kebijaksanaan, cinta, dan keilahian Yesus Kristus. Tak luput saya melihat sebuah tulisan dalam aksara Jawa berbunyi Sampeyan Dalem Sang Maha Prabhu Yesus Kristus Pangeraning Para Bangsa.
Saya pun turun dari candi. Gito pun sepintas menjelaskan tentang arti slogan dalam aksara Jawa itu. “Gelar Sampeyan Dalem itu gelar Raja Jawa Mataram. Bukan sekadar Yesus Kristus sebagai Raja Jawa. Tapi sebagai Maha Raja atau Pangeran segala bangsa,” ungkapnya.
Bagi Gito, makna tulisan itu adalah Yesus bukan hanya raja bagi orang Ganjuran dan orang Katolik saja, melainkan bagi seluruh ciptaan Tuhan. Siapa boleh datang dan berserah diri untuk beribadah sesuai agama dan kepercayaan yang diyakini. Itu mengapa, banyak peziarah yang datang tidak hanya beragama Katolik.
Keberadaan gereja dan hubungannya dengan pabrik gula Gondang Lipuro
Keingintahuan yang besar tentang Candi Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran, membawa saya menuju sekretariat paroki. Disambut oleh Aris Dwiyanto (50), yang sudah lebih dari sepuluh tahun bekerja dan mengabdikan diri pada tempat ziarah ini.
Kata Aris, cerita dimulai pada tahun 1862, saat pasangan suami-istri kristiani dari Belanda, Stefanus Barends dan Elise Fransisca Wilhelmina Karthaus, datang ke Dusun Ganjuran dan merintis pabrik gula yang diberi nama Gondang Lipuro. Namun, pada tahun 1876, Barends meninggal dan mewariskan pabrik gula pada istrinya.
Selama berdiri, Pabrik Gula Gondang Lipuro tidak mengalami kemajuan. Bahkan pada tahun 1882 terancam bangkrut akibat gagal panen. Empat tahun, Elise Kartahus pergi ke Surabaya meninggalkan pabrik gula, ia pun menikah lagi dengan Gottfried Schmutzer dan dikaruniai empat orang anak.
Kebetulan, dua anaknya, Joseph Ignaz Julius Maria Schmutzer dan Julius Robert Anton Maria Schmutzer, tertarik pada bidang teknik dan menempuh pendidikan di Politeknik Delft, Belanda. Mereka mempelajari Rerum Novarum untuk memperjuangkan keadilan pada kaum buruh. Pasca-meninggalnya Gottfried Schmutzer dan Elise Karthaus, pada tahun 1912, mereka membeli lagi Pabrik Gula Gondang Lipuro.
Kakak beradik pemerhati kehidupan di masyarakat ini ingin menunjukkan tidak semua orang Belanda adalah penjajah, dengan cara menerapkan Rerum Novarum dan memberi perhatian kepada buruh. “Dahulu ada serikat buruh Pabrik Gula Gondang Lipuro, diberi nama Tjipto Utomo,” ungkap Aris. Mereka memutuskan untuk mengurangi jam kerja, menaikkan upah, memberi pensiun, asuransi kesehatan, dan perumahan layak.
Joseph dan Julius, biasa dipanggil, menjadikan Dusun Ganjuran dan tempat-tempat di sekitarnya terbebas dari kekeringan. Pasalnya mereka membuat saluran irigasi dari Sungai Progo sampai ke Pegunungan Kretek untuk mengairi kebun tebu dan sawah milik masyarakat.
Bahkan keuntungan Pabrik Gula Gondang Lipuro dipersembahkan untuk membangun 12 sekolah agar pendidikan masyarakat meningkat dan memiliki 2 klinik kesehatan. “Hal itu bisa dilihat dari beberapa sekolah Kanisius di radius 10 km dari Dusun Ganjuran, Rumah Sakit Santa Elisabeth, dan Rumah Sakit Panti Rapih,” ungkapnya.
Tradisi kehidupan masyarakat Jawa di Dusun Ganjuran, membuat Joseph dan Julius ingin mengembangkan iman Katolik. Mereka melihat masyarakat hormat dan patuh pada pemimpin Kerajaan Mataram, Sri Sultan. “Muncul sebuah ide untuk menghadirkan Yesus dalam wajah Jawa yang penuh wibawa dan kharisma,” ungkap Aris. Kakak beradik itu meminta izin pada Paus di Vatikan dan Kerajaan Mataram.
Pada 16 April 1924, dibangun Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran. Sebagai awam, Joseph dan Julius mendatangkan misionaris dari Pusat Misi Katolik, Muntilan. “Meskipun ada keinginan untuk membangun gereja dengan ciri Khas Jawa, namun akhirnya dengan gaya arsitektur Belanda dan lonceng dari Belgia,” ungkapnya.
Disusul pada 11 Februari 1927, dilakukan pembangunan Candi Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran sebagai ungkapan syukur lolos dari krisis keuangan yang melanda dunia. Pemilihan candi didasarkan pada kebiasaan orang Jawa menjadikan stupa sebagai tempat doa dan pemujaan yang dipengaruhi budaya Hindu. Keduanya berharap candi ini dapat menjadi tempat doa sekaligus devosi keluarga.
Tujuh tahun berselang, Julius sudah menikah dengan perawat keturunan Belanda, harus kembali ke negara asal akibat sakit keras. Selama tinggal di Arnheim, pengelolaan pabrik gula diserahkan pada orang kepercayaan. Namun, pada tahun 1948, Pabrik Gula Godang Lipuro, Perumahan Buruh, dan rumah keluarga Julius dibumihanguskan. Hanya menyisakan sekolah, rumah sakit, gereja, dan candi Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran.
Setelah tahun 1945, Julius datang ke Dusun Ganjuran, ia tidak bisa membangun pabrik gula. “Situasinya sudah tidak memungkinkan,” ungkap Aris yang pernah melihat puing-puing peninggalan Pabrik Gula Gondang Lipuro seluas 600 hektar. Akhirnya peninggalan itu dialihkan. Sekolah diberikan kepada Yayasan Kanisius. Rumah sakit diberikan pada Suster Carolus Borromeus. Gereja dan candi seluas 2,5 hektar diberikan pada Keuskupan Agung Semarang.
Penemuan Mata Air Tirta Perwitasari
Saya diajak berkeliling Gereja dan Candi HKTY. “Tahun 1997, seorang pendoa bernama Pak Parto, guru SMA Kolese De Britto Yogya, ketika meditasi mendapatkan bisikan ada mata air di bawah candi,” ungkap Aris. Kemudian diberitahukan pada romo paroki, Romo Gregorius Utomo.
Setelah dilakukan penelitian, air di bawah candi mengandung mineral. Air tersebut dinaikkan, dibagi pada 9 keran dan pemandian rohani. Orang pertama yang merasakan disembuhkan adalah laki-laki bernama Perwita. Air itu kemudian diberi nama Tirta Perwitasari yang dalam pewayangan dicari oleh Wijasena sebagai air kehidupan.
“Ada kepercayaan, ketika mencuci muka dan mengambil air di botol maka harus diurutkan dari 9 keran. Nanti, botol diletakkan pada tingkat kedua candi. Sedangkan kalau pemandian, tidak boleh menggunakan handuk karena air dipercaya meresap ke tubuh,” ungkap Aris.
Gereja dan Candi HKTY pernah mengalami masa hanya dibuka untuk prosesi agung dan puncak syukur melalui tradisi Gunungan. “Dilaksanakan pada minggu terakhir Bulan Juni, bertepatan dengan penghormatan Hati Kudus Tuhan Yesus. Umat membawa hasil karya mereka, dan dibagikan kembali,” ungkap Aris. Namun, sejak 1998, sudah dibuka untuk peziarah.
***
Sisa-sisa Pabrik Gula Gondang Lipuro awalnya tersisa berupa tembok besar, bekas gudang dan cerobong asap. Namun, semua itu sepenuhnya hilang saat gempa mengguncang Yogya pada 27 Mei 2006. Saat itu, seluruh bangunan di Dusun Ganjuran rata dengan tanah. Tersisa Candi HKTY yang masih berdiri. “Saya ingat, saat jam ibadah pagi, gempa menyebabkan tembok gedung dan menara lonceng gereja runtuh. Kursi kayu berantakan. Dari data, 4 orang yang ikut ibadah meninggal,” kenang Aris. Secara keseluruhan Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus berduka karena sebanyak 80 orang meninggal, 105 luka parah, dan 306 luka ringan.
Selama satu tahun, donasi diberikan pada warga untuk membangun rumah. Barulah, tahun 2008, gereja dibangun dengan bentuk Joglo Jawa di lahan 600 meter persegi. Mengadopsi peninggalan Belanda, pada altarnya dihiasi dua malaikat dengan busana wayang orang dan digambar relief pepohonan, bunga, tiga burung pemakan bangkai, dan dua rusa yang sedang minum dari tujuh mata air.
Saya melihat Jalan Salib dan Rumah Doa Maria yang didesain dengan busana adat Jawa. “Maria, digambarkan sebagai Ratu Jawa sedang menggendong bayi Yesus,” pungkas Aris. Selepas berkeliling, saya lantas meletakkan dupa dan berdoa singkat, sebelum mengakhiri peziarahan tepat di pukul tiga sore.
Reporter: Brigitta Adelia
Editor: Agung Purwandono