Sate Kere Mbah Mardi, sudah jadi jenama sendiri di dunia kuliner Yogyakarta. Sate yang diberi nama oleh mahasiswa ini nyatanya bukan hanya untuk kalangan kere.
***
Sate daging dan gajih sapi
Semerbak aroma gajih atau lemak sapi menusuk, amis-amis sedap di hidung, ketika angin berhembus dari panggangan Sate Kere Mbah Mardi. Tangan lincah mengibaskan kipas bambu menjaga arang agar tetap menyala. Puluhan sate dideretkan, satu dua kendaraan mulai berhenti di tepian Jalan Godean.
Para pelanggan sudah datang. Bahkan sebelum warung ini benar-benar siap menyajikan hidangan. Di Google Maps, memang tampak tulisan buka pukul 16.00. Namun, menjelang setengah lima, puluhan tusuk sate belum mentas dari panggangan.
Dua rombongan datang tepat setelah saya menghempaskan pantat ke kursi. Satu menggunakan mobil Toyota Avanza, satunya lagi dengan Suzuki Baleno. Menambah ramai antrean pembeli sore itu.
Saya sampai warung Sate Kere Mbah Mardi pukul 16.00 lewat sepuluh. Setelah menerabas tujuh koma lima kilometer padatnya lalu lintas Jalan Godean yang sempit di sore hari.
Itu perkara sederhana. Hal lain yang sedikit rumit adalah meyakinkan perempuan yang saya ajak untuk menjajal sate ini, pacar saya. Ia mengaku tak doyan gajih. Eneg, katanya.
Saya yakinkan untuk mencoba dahulu, kalau tak habis, toh saya siap menyantap sisa porsinya sampai tandas. Ia masih enggan. Hingga saya tambahkan penawaran, “Tak bayarin.” Akhirnya ia pun mau menemani saya untuk datang ke sini.
Kami memesan dua porsi sate kere komplit. Isinya lima tusuk sate kere, kupat, dan sayur. Harganya Rp12 ribu rupiah per porsi. Satu es teh dan segelas air putih menemani sajian sate kami berdua.
Di tempat ini memang ada beberapa opsi menu. Mulai dari Rp6 ribu untuk kupat sayur saja hingga Rp12 ribu untuk paket komplit seperti yang saya pesan.
Kami menunggu lima belas menit sampai akhirnya sate yang membuat saya penasaran ini datang. Porsinya lumayan, terutama kupatnya yang memiliki potongan besar-besar. Setiap tusuk sate terdiri dari dua bagian. Satu potong daging dan satu potong gajih.
Kuah santannya terasa gurih dan agak pedas. Tekstur kuah santannya tipis, sehingga tak begitu terasa mengganjal saat numpang lewat di tenggorokan. Saat disantap, perpaduan sate dengan kupat sayur ternyata tak aneh seperti yang saya bayangkan sebelumnya.
Porsi saya habis cepat, tak sampai sepuluh menit. Sedangkan perempuan di hadapan saya, masih berjuang melahap potongan-potongan kupat. Satenya baru termakan sebiji. Terlepas dari suka atau tidaknya pada sebuah hidangan, ia memang lamban urusan menghabiskan makanan.
Sambil menunggunya menghabiskan makanan, saya tertarik untuk berbincang dengan pria paruh baya berambut putih yang sedang mengipas puluhan sate. Kipas di tangan kanan dan sebatang rokok di tangan kiri. Barangkali itulah Mbah Mardi, pemilik warung ini. Saya pun menghampirinya.
Mulai berdiri tahun 1980-an
Ia mempersilahkan saya untuk bertanya-tanya. Namun, ia tetap pada posisinya memanggang sate untuk para pelanggan. Kepulan asap memisahkan kami berdua.
Namun ternyata, ia bukanlah Mbah Mardi. Melainkan Samijo (51), anak ketiga dari pendiri warung ini. Sambil sibuk mengipasi potongan gajih, ia berbagi kisah bagaimana orang tuanya mendirikan warung sederhana di Sidomoyo, Godean, Sleman ini.
“Dulu Bapak berjualan sejak tahun ’80-an, kalau ndak ’84 ya ’85. Saya lupa pasnya,” ucapnya dengan bahasa Jawa yang halus.
Sebelum terjun ke dunia yang penuh tusukan daging, Pak Mardi dulunya merupakan penjual es lilin. “Loper es,” istilah yang disebut Samijo. Ia menitipkan es lilin tersebut ke warung-warung kecil.
Mbah Mardi awal belajar meracik dan berjualan sate dari tetangganya. Ia membantu sang tetangga berjualan sate di sekitar Godean. Jenis sate yang sama seperti dijual sekarang. Sebelum akhirnya mantap membuka usaha sendiri.
“Habis belajar itu, akhirnya bapak kepikiran untuk jualan sendiri. Keliling sendiri. Pamit sama bosnya dulu,” tambah Samijo.
Awal berjualan, Mbah Mardi tak langsung membuka warung seperti yang bisa dikunjungi sekarang ini. Dulu ia berkeliling menggunakan gerobak dorong seperti yang ia lakukan saat dulu ikut jualan bersama tetangganya. Menjajakan sate di jalanan sekitar Gesikan, Kecamatan Godean.
Hal itu berlangsung beberapa tahun. Sampai akhirnya keuntungan terkumpul dan Mbah Mardi bersama istrinya berani sewa ruko untuk berjualan. Samijo berusaha mengingat-ingat kapan orang tuanya mulai berjualan di ruko.
Sampai akhirnya ia menyerah, lupa. Lalu menanyakan kepada seorang perempuan yang nampak lebih tua darinya. Perempuan itu sedang menuang sayur ke piring-piring yang sudah terisi potongan kupat.
“Mulai berjualan di ruko sekitar awal tahun 90-an. Tapi mboten teng mriki (bukan di ruko ini) pindah-pindah, sempat ting ngajeng mriku (di depan situ),” ujar sang wanita sambil menunjuk ruko di seberang yang kini menjadi tempat jualan mie ayam.
Ia bernama Sarilah. Usianya enam puluhan tahun. Ia merupakan kakak dari Samijo yang kini sama-sama mengurus warung Sate Kere Mbah Mardi ini.
Mbah Mardi memiliki tiga orang anak. Ketiganya sekarang meneruskan usaha warisan orang tuanya tersebut. Terlebih setelah Pak Mardi meninggal dunia.
“Pak Mardi mpun mboten wonten (sudah tidak ada), meninggal dulu tahun 2001,” ujar Samijo.
Samijo nampak lelah. Membakar sate sambil saya ajak berbincang panjang. Akhirnya ia mengajak saya untuk duduk saja. Kemudian melanjutkan ceritanya.
Sepeninggal Mbah Mardi, bisnis ini sempat diurus oleh istrinya. Ibu dari Sarilah dan Samijo. Namun seiring waktu, istri Mbah Mardi sudah tak bisa beraktivitas banyak. “Sudah 80 tahunan lebih usianya sekarang, sudah istirahat terus di rumah,” tambah Samijo.
Hal itulah yang kemudian membuat anak-anak dan cucunya belakangan mengambil alih seluruh urusan warung ini. Total ada sembilan orang yang mengurus Sate Kere Mbah Mardi, enam di warung, sedangkan tiga sisanya di rumah.
“Persiapan mulai jam delapan pagi, belanja. Kemudian motong daging sampe jam sebelas. Habis dzuhur mulai ditusuk, sekitar jam tiga sampai empat dibawa ke warung,” papar Samijo.
Warung ini memang buka sampai jam sebelas malam. Tapi sebelum itu, biasanya satenya sudah terjual. “Kalau lagi ramai ya habis isya, jam delapan sudah habis. Tapi biasanya habis jam sepuluhan,” kata Samijo.
Beda dengan sate kere Solo
Sate kere sebenarnya salah satu kuliner yang dikenal berasal dari Solo. Kere berarti miskin. Disebut sate kere karena lahir untuk menyiasati sate daging yang dulu dianggap mewah dan hanya jadi santapan kalangan atas.
Namun, sate kere yang dikenal di Solo kebanyakan bukan seperti yang dijual di warung Pak Mardi. Dalam Jurnal Wisata Terapan (2017) disebutkan bahwa sate kere yang paling terkenal adalah sate yang menggunakan tempe gembus. Tempe gembus terbuat dari ampas tahu.
Ada juga sate kere di Solo yang menggunakan jeroan sapi. Mulai dari kikil, limpa, hati, dan bagian organ dalam sapi lainnya. Namun, yang paling dikenal di Solo tetap sate kere versi gembus.
Hal ini sering membuat orang salah paham ketika datang ke warung Sate Kere Mbah Mardi. Dikiranya, sate yang ada di sana berbahan dasar gembus. Padahal pakainya gajih. “Banyak Mas yang datang ke sini, ngertinya sama kaya yang di Solo. Padahal beda,” kata Samijo.
Dahulu, bapaknya memang tak pernah menamai sate yang ia jual sebagai sate kere. “Ya Sate Pak Mardi aja dulunya itu Mas,” sambungnya.
Julukan ‘kere’ justru datang dari para pelanggan yang sering datang ke Warung Sate Mbah Mardi. Terutama dari kalangan mahasiswa. “Mpun dangu (sudah lama) itu mahasiswa yang namain. Katanya murah meriah, jadinya cocok buat orang kere,” jelasnya, tertawa.
Dalam sehari, warung ini rata-rata menghabiskan 22 kilogram bahan sate dan 180 bungkus kupat. Dari 22 kilogram itu, ternyata dua belas kilogram di antaranya justru daging. Sedangkan gajihnya hanya sepuluh kilogram.
“Memang dari dulu begitu, malah dagingnya yang sebenarnya lebih banyak dikeluarkan dalam sehari,” tambah Samijo.
Tak mau buka cabang
Warung ini, kini menjadi sumber kehidupan keluarga Samijo dan dua saudarinya. Mereka merasa cukup dengan warisan warung dari Mbah Mardi ini. Tak terpikir untuk mencoba melebarkan sayapnya dan membuka cabang di mana-mana.
“Mboten wonten (tidak ada) tenaganya, dan sudah cukup di sini saja,” katanya.
Samijo mengaku walau sempat beberapa kali ada yang menawari, membantu untuk membukakan cabang di beberapa lokasi. Namun, ia memilih menolaknya. Katanya, nama Mbah Mardi di sini sudah cukup dikenal orang dan mendatangkan rezeki.
“Lha nanti kalau buka cabang sama orang, terus yang di sini ditendang. Malah bahaya tho,” tegasnya, semangat.
Di Godean sendiri ada sejumlah warung sate kere serupa dengan tempat ini. Kata Samijo, para penjual itu merupakan tetangga dekat rumah.
“Itu juga mas, itu anaknya yang dulu bapak ikut jualan keliling,” ucap Samijo sambil menunjuk seorang perempuan yang kini membantu mengurus warung. Ia merupakan anak dari tetangga yang dulunya berjualan sate keliling dengan Mbah Mardi.
Sate kere memang tak berarti hanya dikonsumsi orang miskin atau kere. Rasanya bisa digemari kalangan apa saja. Samijo lantas menunjuk rombongan keluarga yang sedang menyantap hidangan di sudut warung ini.
“Itu langganan Mas sejak sama bapak Mas, kalau ke sini ya mobilan terus. Bukan orang kere saja yang ke sini,” ujarnya, kami lantas tertawa bersama.
Banyak pelanggan yang yang terus kembali tak lain karena cita rasa warung ini yang konsisten sejak dulu. Menurut Samijo, tak pernah sekalipun racikan bumbu di sini berubah sejak awal orang tuanya berjualan.
Urusan daging dan gajih juga tetap langganan di tempat yang sama sejak dahulu. “Dulu ibu saya yang belanja, sekarang ini diteruskan anak-anaknya, kalau belanja daging ya ditempat yang sama seperti dulu,” ucapnya.
Asyik berbincang dengan Samijo, saya lantas melirik ke meja tempat pacar saya duduk. Nampak ia sudah menunggu sambil memainkan hapenya. Saya pun kembali ke sana.
Ternyata, seporsi sate kere komplit yang ia makan sudah habis tak tersisa. Saya tertawa melihatnya. Ia juga menyunggingkan senyumnya, sedikit malu. “Enak kok ternyata, doyan aku,” katanya.
Sudah lama, saya direkomendasikan makan ke tempat ini oleh seorang teman. Namun, baru Minggu (31/1/22) sore ini kesampaian. Akbar Alfaris (23), kawan yang memberikan rekomendasi pada saya memang sudah beberapa kali menikmati Sate Kere Mbah Mardi.
Katanya, sate kere di sini bisa membuat orang yang awalnya kurang minat dengan gajih, bisa berubah pikiran.
“Apalagi itu yang paling khas, kalau datang pas sate-satenya lagi dibakar, baunya semerbak tenan,” kisahnya dengan antusias.
Bagi sebagian orang, termasuk Alfaris, awalnya perpaduan sate gajih dengan kupat sayur memang nampak kurang meyakinkan. “Habis nyobain langsung baru sadar, ini emang perfect combo,” ujarnya.
Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Orang-orang Malioboro yang Dipindahkan dan liputan menarik lainnya di Susul.