Sate Kambing Pak Syamsuri berdiri sejak 1991. Tiga belas tahun kemudian, kemunculan Honda Jazz di Indonesia membuat warung sate di kawasan Sambilegi Kidul, Maguwoharjo, Depok, Sleman, Yogyakarta ini makin laris.
****
Ada kalanya kekecewaan harus dilampiaskan. Dan, makanan adalah sebaik-baiknya pelampiasan.
Siang yang hujan di Jumat (29/11/2021) sepertinya akan jadi puncak kesialan saya sejak pagi. Lebih dari sebulan ini saya berkali-kali datang ke restoran yang punya menu andalan pecel lele sambal terasi. Tapi hari ini akhirnya saya menyerah. Sang Pemilik betul-betul enggan untuk diwawancara. “Sudah sering diwawancara Mas, jadi Ibu nggak berkenan,” begitu kata salah seorang pegawai restoran itu.
Sehari sebelumnya, setelah saya menyantap pecel lele sambal terasi di restoran itu saya membuat janji dengan karyawan tersebut untuk bertemu dengan pemilik restoran. Saya datang pagi-pagi sesuai waktu yang dijanjikan.
Saya berusaha meyakinkan bahwa tidak ada biaya yang dikeluarkan oleh warung makan tersebut untuk saya liput. Tapi karyawan itu mantap betul mengatakan bahwa tidak perlu lagi dimuat media.
Aroma sambal terasi sehari sebelumnya di jari saya seperti tak mau pergi. Tapi saya tahu, ini memang waktu yang tepat untuk segera mencari tempat lain.
Jualan sate sudah mendarah daging di keluarga Pak Syamsuri
Sate Kambing Pak Syamsuri akhirnya jadi tempat yang tepat untuk melampiaskan bersamaan dengan hujan yang mulai reda. Saya pesan sate dan tengkleng. Menu yang paling saya suka ditempat ini adalah tengklengnya.
Ibarat kata berkelahi, daging dan balungan di tengkleng Pak Syamsuri mudah ditaklukan. Nggak banyak perlawanan. Tidak sulit untuk melepas daging-daging yang menempel di balungan kambing. Dagingnya nggak pelit dan nggak alot.
Dagingnya empuk. Tulangnya juga enak kalau disesap. Kalau dapat tulang yang ada sumsumnya, bolehlah dicoba keahlian menyedot sumsumg. “Wah njenegan sampai, Pak Syamsurinya baru saja pulang,” kata salah seorang pegawai warung ketika saya tanya, di mana Pak Syamsuri.
Kesempatan berjumpa dengan yang punya warung baru kesampaian seminggu kemudian. Hari itu, Jumat (5/11/2021) saya memesan tongseng dan sate.
“Warung ini saya buat tahun 1991, saya sendiri lahir tahun 1972, 7-7-1972,” kata Pak Syamsuri. Usianya saat itu masih 19 tahun. Tapi kondisi keluarga membuatnya harus mencari nafkah. Saat itu orangtuanya yang juga jualan sate terpaksa berhenti karena tempat ngontraknya habis waktunya dan tidak bisa diperpanjang. Akibatnya Syamsuri bersama kakak-kakaknya ikut membantu mencari nafkah. Saat itu, ia jadi kenek truk.
Suatu saat, ia lewat kawasan Sambilegi dan melihat ada tempat kosong yang menurutnya strategis untuk jualan sate.
“Waktu itu, tempatnya sepi. Oleh yang punya saya diizinkan untuk memakai tempatnya, nggak bayar. Saya kemudian buat warung sate, kecil, masih pakai gedhek,” katanya.
Pak Syamsuri bercerita, jualan sate ibaratnya sudah mendarah daging dalam keluarganya. Kakeknya, dulu dikenal sebagai penjual sate pikulan di area pacuan kuda di tempat yang kini dikenal sebagai kawasan Balapan (sekarang Jalan Balapan, Kelurahan Kliteran, Gondokusuman, Kota Yogya). “Dulu itu cerita bapak saya, simbah dari mulai jualan sampai dagangan habis, itu nggak pernah berhenti melayani pembeli,” kata Pak Syamsuri.
Jualan sate dengan cara dipikul sempat diteruskan oleh ayah Pak Syamsuri sebelum kemudian mengontrak tempat usaha di kawasan, Papringan, Caturtunggal. “Setelah kontrak habis, kami buyar, bapak nggak jualan sate lagi,” kata Pak Syamsuri.
Sekarang dari enam bersaudara, semuanya jualan sate. Lokasinya juga nggak berjauhan. “Paling 2 kilometer dari tempat saya jualan,” kata Pak Syamsuri.
Makin dikenal dan laris setelah Honda Jazz muncul di Indonesia
Pak Syamsuri ingat, titik balik usahanya makin dikenal terjadi tahun 2004. Saat itu, salah satu bos showroom mobil di Yogya kerap membawa pembelinya makan di warung sate milik Pak Syamsuri. Saat itu, Honda Jazz baru masuk ke Indonesia. “Namanya Pak Rudi dari Honda Anugerah, setiap ada yang membeli mobil dari tempatnya, sama dia di traktir makan sate ke tempat saya. Saya masih ingat yang laris itu Honda Jazz. Pokoknya kalau ada yang laku, makan di sini,” kata Pak Syamsuri.
Pak Syamsuri punya prinsip pembeli adalah raja. Sehingga ia selalu mengamati apa yang dimaui pasar. “Misalnya, dulu mbah saya dan orang tua saya kalau membuat gulai, pasti santannya kentel. Tapi sekarang, orang melihat santen yang kentel itu takut kolesterolnya naik. Ya, saya bikin yang encer dan seger,” katanya.
Soal tengklengnya yang dibilang orang enak, itu juga hasil pengamatannya. Ia mengamati, setiap ada yang pesen tengkleng ternyata, banyak yang sisa. Setelah ia cek, ternyata dagingnya sedikit alot. Begitu juga dengan menu jeroan, yang pesan makin sedikit. Lebih banyak tengklengnya. “Mungin banyak yang khawatir setelah makan jeroan, akan berakibat pada kesehatannya. Jadi mereka lebih banyak pesen tengkleng,” kata Pak Syamsuri.
Dari hasil amatannya itu, ia kemudian memperbaiki bahan baku dengan hanya menggunakan kambing-kambing muda, usia 3-6 bulan agar dagingnya empuk. “Prinsip saya itu pertama bersih, enak, murah tapi tidak murahan,” katanya.
Soal kualitas, ia selalu diingatkan oleh salah satu pelanggannya. Almarhum Adnan Buyung Nasution. Pengacara kondang itu, setiap datang ke Yogya, pasti mampir ke satenya dan setiap mau pulang selalu bilang, “Syamsuri ingat, jaga kualitas!!”
Menurut Syamsuri, pendekar hukum lain yang kerap datang ke tempatnya sebelum pandemi adalah Todung Mulya Lubis. “Tapi sejak jadi dubes, belum pernah ke sini lagi,” kata Pak Syamsuri menunjukkan fotonya bersama Todung Mulya Lubis yang tertempel di dinding warungnya.
Ia juga berusaha mengenali setiap pelanggannya, termasuk seleranya. Misalnya, ada pelanggan orang-orang yang kerap main golf bersama. Begitu melihat rombongan itu datang, Syamsuri langsung tahu, menu apa yang akan mereka pesan, sehingga pelanggan itu tak perlu menunggu lama. Lain kali yang datang adalah orang yang nggak suka kalau banyak garam, maka ia akan mengurangi.
Rezeki sudah ada, tugas manusia hanya berusaha
Saat ini, Sate Kambing Pak Syamsuri rata-rata setiap harinya membutuhkan 4-6 ekor kambing setiap harinya. Jumlah tersebut menurun dibandingkan hari-hari biasa sebelum pandemi. “Sebulan bisa sekitar 250 ekor kambing,” kata Pak Syamsuri.
Pak Syamsuri mengatakan, meski ia dan saudara masing-masing membuka warung sate kambing, tidak ada persaingan. Pun begitu dengan warung-warung sate yang lain. “Kalau saya, prinsipnya itu rezeki sudah ada, tugas manusia hanya berusaha. Jadi kalau ada yang mau jual sate lebih murah ya monggo, mau jual mahal juga monggo,” katanya.
Pak Syamsuri mengatakan, tidak ada menu unggulan di warung sate miliknya. Pelanggan punya kesukaan masing-masing. Boleh dikatakan saat ini, semua menu punya peminatnya masin-masing, apakah itu sate, tengkleng, gulai, dan tongseng.
Soal anak-anaknya apakah akan meneruskan usahanya atau tidak. Ia menyerahkan sepenuhnya pada anak-anaknya.
“Anak saya yang mbarep sekarang S2 di UNY Jurusan Tata Boga. Yang kedua, kuliah kedokteran di UKDW dan ketiga masih SD. Saya sih terserah mereka mau meneruskan atau tidak, kalau yang nomer pertama sejak kecil suka sekali bantu di sini. Biasanya kalau nggak ada kesibukan di kampus juga bantu-bantu di sini,” ujar Pak Syamsuri.
Salah satu pengunjung, Asrobani (61) mengaku menjadi pelanggan di Sate Kambing Pak Syamsuri lebih dari sepuluh tahun silam. Menurutnya, potongan sate yang nggak terlalu kecil juga tak terlalu kecil pas untuk seleranya. “Satenya empuk, tengklengnya juga enak, dagingnya gampang digigit,” katanya. Saya melihat, selain pesan sate, warga Kalasan, Sleman ini memang membeli seporsi tengkleng. Menurutnya, lapar memang harus dituntaskan.
BACA JUGA Nikmatnya Nasi Megono, Mertua Lewat Sampai Nggak Kelihatan karena Skripsi dan liputan menarik lainnya di Susul.